Chapter 16

1575 Words
"Akh!" Naufal membulatkan matanya ketika lubang pistol yang dingin itu menyentuh dahinya. "Mati kau!" Dor Sriik "Nenek Momok!" mata Naufal melotot dan tubuhnya kaku. Wajahnya penuh dengan bercak darah. Bruk! "Singkirkan tangan kotormu dari cucuku." Kalimat dingin terdengar, seorang pria paruh baya berusia 66 tahun berjalan mendekat ke arah tubuh kaku pria yang meremas rahang Naufal tadi, kini pria itu hanya terlentang dengan mata yang melotot, darah mengalir deras keluar dari telinga kirinya menembus telinga kanan. Wajah kaku Naufal memandang ke depan, sedetik sebelum pandanganya buram dan gelap, dia sempat menyuarakan suara terakhirnya dengan suara bergetar, "kakek...Ran..." Bruk Hap Randra memeluk tubuh cucunya yang tak sadarkan diri. "Kakek Ran-mu disini," sahut Randra. Tangan kanannya memegang sebuah pistol berwarna silver, pistol itulah yang baru saja membuat pria yang akan menembak Naufal mati seketika. Peluru itu datang dari arah telinga kiri menembus ke telinga kanan pria itu. Sret Sebuah moncong pistol diarahkan tepat di belakang kepala Randra. Randra yang memeluk Naufal terdiam dan melirik ke kiri dengan ekor matanya. "Kesalahan tuan Basri..." suara bas seorang pria terdengar mengejek. Ketika pelatuk ditarik dan... Dor "Bsuuuk!" Bruk Seketika pria yang menodongkan pistol ke arah kepala Randra itu melotot sambil memuntahkan darah segar. Dia ambruk tiarap dengan kaku. "Kesalahanmu meremehkan aku." Terdengar suara dingin di pendengaran Randra. Sret Randra berbalik ke arah menantunya. Sret Randra menggendong tubuh Naufal yang tidak sadarkan diri berjalan melewati Ben. "Habisi mereka jika tidak buka mulut." Hanya kalimat dingin yang didengar oleh Ben. "Dengan senang hati, ayah." Ben tersenyum dingin melihat beberapa pria berbaju hitam terlihat melarikan diri menjauh darinya. Randra berjalan menjauh dari Ben sambil menggendong Naufal, sudah ada puluhan orang-orang Basri berkeliaran mencari para pemburu yang memburu Naufal. Gantian mereka yang diburu oleh orang-orang Basri. Sedetik sebelum Randra melewati Sandra, ketua bodyguard dari Basri, suara dinginnya terdengar. "Jangan sisakan satupun dari mereka jika mereka bungkam, jangan buang-buang waktu." "Baik, tuan." Sandra menunduk mengerti. Tak Tak Tak Sandra berlari cepat mencari para pemburu yang memburu Naufal. "Kesalahan besar." Dor Dor Dor Bruk Bruk Bruk Tiga orang pemburu yang menodongkan pistol ke arahnya, mati dengan mata melotot. Lubang terlihat di dahi mereka. "Heum! Menyusahkan." Dengus Sandra. Wanita 30 tahun itu melanjutkan perburuannya. "Aku tidak sabar menemukan mangsa selanjutnya." Sandra tersenyum dingin. °°° Tak Tak Tak Sret "Kau!" seorang pria yang mengejar Naufal jatuh terduduk kaku di atas tanah. Dia melotot ke arah wanita berbaju merah dengan lipstik merah tebal di depannya. "Siapa yang menyuruhmu?" kalimat dingin itu keluar. Glik Pria itu menelan susah air ludahnya. "Sial, aku tidak bisa selamat." Batinnya. "Aku tidak mengulangi pertanyaanku dua kali." Ujar wanita berbaju merah itu dingin. Sret Sret Pria itu mundur sambil menggeleng kuat. "Oh..." wanita berbaju merah itu menaikan sebelah alisnya. Dor "Buang-buang waktu." Sambungnya dingin. Dor Dor Bruk Bruk Sret Wanita itu menoleh cepat ke arah belakangnya, terlihat seorang pria baru saja menarik pelatuknya melumpuhkan dua orang pria berbaju hitam. "Nona Casandra Roza, mohon perhatikan di sekelilingmu," suara datar pria itu terdengar. "Tuan," wanita berbaju merah itu menunduk hormat ke arah Ben, yang merupakan menantu dari tuannya, Randra. Ben melanjutkan pencariannya. "Berani menyentuh putraku, tidak akan selamat." Casandra melihat ke arah Ben yang berjalan cepat dengan ekspresi dingin bagaikan balok es. °°° Hap "Aaammmmppp!" Popy berusaha membungkam mulutnya ketika dia merasakan tubuh putranya di pelukannya. Tes Tes Tes Air mata jatuh tak henti dari sudut-sudut matanya. Matanya bertambah bengkak dan merah. "Mmmmppp! Hiks! Hiks! Hiks!" perempuan 38 tahun itu tidak bisa menahan tangis. "Naufal! Hiks! Hiks! Aarrrrgghmmpp!" dia berusaha menahan tangis, namun tetap saja tidak bisa. Suara itu keluar sendiri tanpa bisa dia kontrol. "Mmmpp! Aarrghppp!" "Hiks! Hiks! Hiks!" Popy kesal karena dia tidak bisa berhenti menangis. "Keluarkan saja suaramu, jangan ditahan." "Aaaaaaaaaaaahh! Hiks! Hik! Hik! Aaaaaaa!" Sedetik setelah dia mendengar suara suaminya, Popy memecahkan ruangan dengan suara tangis histerisnya. Cup Cup Cup Dia mengecup seluruh wajah putranya sambil menangis. Hampir saja, hampir saja dia kehilangan putranya. "Aaaaaaaaarrrrggg! Hiks! Hik! Hik!" Popy tidak bisa membayangkan jika anak-anaknya pergi meninggalkannya. Hap Randra memeluk putrinya. "Untuk sementara tidak ada anggota keluarga Basri untuk melakukan perjalanan kemanapun." Ujar Randra. Sret Dia merangkul erat telapak tangan ayahnya meskipun dia sedang memeluk putranya. "Ay-yah...R-ran... hiks! Hiks! Hiks! P-pokko...hiks! Hiks! Hiks! T-takkut...hiks! Hiks..hiks!" Sret Randra memeluk erat putrinya. "Ayah Ran berjanji, selama ayah Ran masih hidup, tidak ada seorang pun yang bisa menyentuh keturunanku." Cup Randra mengecup dahi putrinya. "Mmmmppp! Aarggmmm!" Popy membungkam tangisannya. Ben tidak mempedulikan air yang turun dari sudut matanya. Biarkan saja orang-orang melihat, dia tidak peduli. °°° Sret Ben menoleh ke kanan, tangan seseorang menyentuh bahu kanannya. "Perburuan belum selesai." Ben mengangguk membenarkan. "Terima kasih tuan Seander." Ujar Ben. Pria yang bernama tuan Seander itu tersenyum. "Sahabat tidak perlu terima kasih." Ujar pria itu. Ben hanya tersenyum tipis dengan salah satu sudut bibirnya. "Bagaimana kabar mantan sekretaris ku?" tanya Ben. "Oh, baru saja melahirkan dua minggu ini." Jawab pria itu sambil tersenyum. Ben mengangguk mengerti. "Maaf jika aku tidak bisa datang ke baptisan anak keduamu," ujar Ben. Pria itu mengangguk. "Sasha dan aku mengerti keadaan dan situasimu." Ben mengangguk singkat. "Sampaikan salam dan terima kasihku pada istrimu." "Baik." Pria itu mengangguk, lalu dia berjalan menjauh dari Ben. Tak Tak Tak "Stevano Seander, aku tidak heran kamu bisa dengan mudah memegang pistol dan meledakan kepala yang memburu putramu." Gaishan yang memang sudah ada di ruangan itu bersuara. Ben mengangguk. "Huh! Manusia siapa lagi yang mencari mati kali ini?" Gaishan terlihat berpikir. "Sayang sekali dia tidak sayang nyawanya," gumam Gaishan. Ben tersenyum dingin. "Cari mati." °°° "Jadi adik Jon tidak melihat wajah orang-orang yang mengejarmu secara jelas?" seorang penyidik bertanya ke arah Jonathan dengan suara lembut. Gleng gleng "Malam dan gelap...aku tidak bisa melihat...kami juga tidak punya kesempatan untuk...untuk melihat wajah mereka...karena...karena temanku Naufal berteriak bahwa kami harus lari dari mereka..." jawab Jonathan memberanikan dirinya untuk menjawab pertanyaan dari polisi yang dihadapannya. Meskipun penyidik itu tidak memakai baju kepolisian, tapi Jonathan tahu bahwa pria kekar di depannya ini adalah teman polisi dari ayah Marwa, Alamsyah. Polisi itu mengangguk. "Apakah adik Jon mendengar apa yang mereka katakan?" Jonathan mengangguk. "Aku tidak akan pernah lupa apa yang mereka katakan." Polisi itu mengangguk. "Apa itu?" "Mereka ingin temanku Naufal mati." Sret Polisi itu terlihat diam kaku, dia melirik ke arah belakang Jonathan, disana ada Randra yang duduk tak jauh. Glik "Terlalu menakutkan paman Alamsyah ini." Batin polisi itu takut. "Ehem..." polisi itu menetralkan suasana yang menurutnya mencekam. "Nah, adik Jonathan, bisakah adik Jonathan menceritakan kronologis kejadiannya? Maksud om, ceritakan dari awal mula sampai akhir yang adik Jonathan tahu." Ujar polisi itu. Jonathan mengangguk. "Bisa." "Kemarin sore...um...aku pikir malam, um...itu seharusnya sekitar jam setengah tujuh atau jam tujuh...kami sebenarnya ingin makan malam bersama di tenda kami, aku, Naufal, Amar, Christian, Awa dan Sehat. Kami sudah membuka menu makan malam kami, aku memberikan titipan keripik ubi jalar mama pada Awa dan Naufal...kami akan makan bersama... tapi...seorang kakak kelas mendatangi kami..." "Siapa nama kakak kelas itu?" polisi itu bertanya. "Namanya kakak Robi, dia kelas empat..." Polisi itu mengangguk. "Lanjutkan lagi adik Jon ceritamu." Jonathan mengangguk. "Kak Robi datang ke arah kita...um maksudku dia mendekat ke arah Naufal dan mengatakan bahwa...katanya kakak Instruktur Kara memanggil nya untuk ke area tiga...area tiga itu di sekitar sungai...katanya itu penting sekali...kak Robi bilang pada Naufal...dia juga disuruh oleh kak Sandi...kak Sandi dia kelas lima..." Jonathan memberi jeda. Polisi itu mengangguk, dia melirik ke arah asistennya yang menulis catatan yang dia anggap penting. "Lalu aku mengatakan ke Naufal kalau kita akan menemaninya untuk menemui kakak Instruktur Kara bersama-sama saja...." Cerita itu mengalir keluar dari mulut Jonathan seperti yang dia alami. °°° "Dari semua kesaksian yang diberikan saksi mata dan korban, kejadian ini terjadi tanpa adanya orang dalam, korban yang bernama Kara itu hanya sebuah pancingan agar Naufal pergi menemuinya di area tiga, di pinggir sungai. Kami juga menemukan tanda-tanda perlawanan dari korban sebelum dia meninggal dari hasil otopsi. Saksi yang bernama Sandi itu tidak tahu bahwa instruktur Kara di ancam, jadi dia tanpa mengetahui apapun hanya menyampaikan saja panggilan dari instruktur Kara ke Robi, ini dimaksudkan oleh para pelaku supaya mengulur waktu agar mereka dapat menyekap instruktur Kara." Jawab seorang polisi ke arah Alamsyah. Alamsyah mengangguk mengerti. "Targetnya adalah keponakanmu, Alam." Ujar polisi itu. Alamsyah mengangguk. "Aku tahu, dari awal aku juga sudah curiga mengenai kejadian ini, sebab keponakanku yang lainnya juga menjadi korban ledakan granat, dan dia adalah saudara perempuan dari keponakanku Naufal." Polisi itu mengangguk. Dia juga terlihat kaget dengan berita yang dia dengar. "Aku akan bantu apapun yang aku bisa, aku juga tidak menyangka bahwa yang menjadi target adalah Naufal, anak manis dan lucu itu, anak yang senang memanggilku ketika dia menemukan situasi dan kasus lucu, yah...salah satunya mengenai peristiwa absurd empat tahun yang lalu..." "Om Jamil! Om Jamil! Naufal mau lapor! Papa Ben jahat! Papa Ben makan bibir mama Poko! Tolong tangkap papa Ben dan urus kasusnya!" Polisi yang bernama Jamil itu menggeleng-gelengkan kepalanya lucu. Alamsyah tersenyum lucu. Anak kecil seperti Naufal yang waktu itu berusia tiga tahun, mana mengerti urusan orang dewasa? Dia hanya mengerti apa yang dia lihat sesuai kenyataan tanpa memikirkan kebenaran. "Apakah dia sudah bangun? Aku ingin menjenguknya sebelum balik ke Bandung," tanya Jamil. Alamsyah mengangguk. "Sudah, jenguk dia sebelum kau pergi." Jamil mengangguk, pria yang sekarang juga telah menjadi Kapolresta Bandung itu berjalan mendekat ke arah ruang rawat dimana Naufal dirawat. °°° "Om Jamil akan balik ke Bandung, istirahat yang cukup." Sret Sret Jamil mengusap kepala Naufal. "Ok, om Jamil." Naufal mengedipkan sebelah matanya. Jamil tertawa geli dengan tingkah Naufal. Dari korban kejadian ini, hanya Naufal yang tidak terganggu psikologisnya, beberapa anak lain harus di rehabilitas dan di bawa ke psikiater atau psikolog, termasuk Marwa dan Sehat yang masih menjerit ketakutan. Berbicara tentang Sehat, hingga sekarang orang tua dari gadis itu belum juga datang menjenguknya di rumah sakit, bahkan setelah rumahnya didatangi oleh kepolisian, rumah itu kosong dan sunyi, tidak ada penghuni di rumah itu. Jadi, Sehat untuk sementara ini menjadi tanggung jawab Alamsyah. °°° "Semua dari mereka memilih tutup mulut, jadi..." Casandra tidak melanjutkan kalimatnya lagi, karena dia tahu tuan-nya sudah tahu kelanjutkan kalimatnya. "Cari tahu identitas mereka dan konfirmasi padaku dalam waktu dua puluh empat jam." "Baik, tuan." Tak Tak Tak Casandra berbalik menjauh dari tuan-nya. Sepeninggal Casandra, pria itu terlihat mengepalkan kuat kepalan tangannya. Sret "Tidak ingin hidup." Suara dingin itu terdengar. Sret Sret Sret Sebuah suara mendekat ke arahnya. "Ran..." suara itu bergetar. Sret Pria itu berbalik. "Moti." °°° Saya menulis cerita ini di platform D.R.E.A.M.E dan I.N.N.O.V.E.L milik S.T.A.R.Y PTE. LDT Jika anda menemukan cerita ini di platform lain, mohon jangan dibaca, itu bajakan.  Mohon dukungannya. IG Jimmywall Terima kasih atas kerja samanya.  Salam Jimmywall.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD