Chapter 12

1358 Words
"Pistol!" Sret Sreeeett Plak! "Akh!" Dor Dor Dor Sret Wush "Aaaaakhhhh!" Sedetik setelah Naufal berseru kata 'pistol', dia melempari wajah orang yang memegang pistol dengan senter yang dia pegang. "Lari dari sini!" Naufal berseru, Jonathan dan yang lainnya berteriak sambil berlari menjauh dari bukit. "Jangan ke sungai!" seru Naufal. Jonathan dan yang lainnya kembali memutar badan dan berlari di sepanjang lereng bukit kecil itu. Tak Tak Tak "Kejar dia!" "Sialan!" pria yang wajahnya dilempari senter oleh Naufal mengumpat kesal. Hidungnya berdarah akibat terkena lemparan senter itu. "Bocah tujuh tahun sialan!" umpat lelaki itu. Tak Tak Tak Bunyi langkah kaki keluar dari semak-semak, terlihat beberapa siluet orang dari semak-semak. Gelap namun Naufal bisa melihat siluet itu. "Cepat! Mereka orang jahat! Ada senjata!" seru Naufal. Sret "Huh! Huh! Huh!" Marwa berhenti berlari, dia kelelahan. "Naufal, mbak nggak kuat lari..." ujar Marwa ngos-ngosan. Tak Tak Tak Bunyi langkah kaki semakin dekat ke arah mereka. Jonathan juga ikut berhenti ketika mendengar suara Marwa yang bergetar. Sret Naufal memegang erat tangan saudara sepupunya. "Tidak lari kita akan mati!" "Hak!" Marwa dan yang lainnya menjerit takut. "Sst!" "Jangan bersuara, nanti mereka menemukan kita." Ujar Naufal. Jonathan dan yang lainnya mengerti, mereka melanjutkan lari mereka. Sehat merasa bahwa kakinya akan patah jika dia berlari lagi, namun Marwa menarik dan menahan kuat tangannya. Marwa mengaitkan erat jemari mereka berdua. Sedangkan Naufal menarik tangan Marwa dan berlari di sisi bukit itu. Tak Tak Tak "Sial! Mereka kabur sangat cepat!" terdengar suara umpatan kesal dari seorang pria. "Dia tidak mungkin jauh! Kakinya kecil! Langkah kita lebih besar! Cari lagi!" instruksi seorang pria berbaju hitam. "Anak itu baru berumur tujuh tahun! Baru kemarin sore! Kejar dia!" "Pastikan dia mati!" perintah pria itu. "Baik." Tak Tak Tak Sahut beberapa orang pria berpakaian hitam, mereka berlari mengejar Naufal dan yang lainnya. °°° Waktu yang sama. Cici terlihat berjalan ke arah area tiga yang diberikan tanda oleh instruktur mereka, tangan kanannya memegang senter dan tangan kirinya dia masukan ke dalam saku jaket yang dia pakai. "Huumm dingin brrr!" Cici menggigil kedinginan. "Seharusnya aku tadi minta ibu Widya atau ibu Rasmi untuk menemaniku menyusul mereka." Ujar Cici menyesali waktu dia datang sendiri menyusul anak yang dia awasi, Naufal dan yang lainnya. "Atau mungkin saja anak mahasiswa pencinta alam," sambung dia lagi. "Huuuh! Udaranya sejuk, tapi gelap sekali," ujar Cici ketika melihat disekelilingnya. Sunyi. Itu yang dia rasakan. "Sebenarnya enak juga kalau pagi atau siang berjalan-jalan disekitar PLTA Saguling disini, bisa melihat pemandangan..." ujar Cici sambil berjalan. Dor Dor Dor "Hak! Bunyi apa itu?" Cici terkaget. Dia menajamkan penglihatannya ke depan, namun tidak terjangkau. Tak Tak Tak Cici maju berjalan cepat ke arah dimana dia mendengar bunyi seperti petasan. "Apakah itu bunyi petasan ataukan ada sesuatu yang rusak di pembangkit listrik?" gumam Cici khawatir. Tak Tak Tak Sret Langkah kaki Cici berhenti, dia melihat sekelilingnya. "Ini adalah area tiga yang dikatakan oleh instruktur Kara..." gumam Cici. Dia melihat lagi disekelilingnya, namun tidak ada tanda-tanda manusia atau orang disitu. "Sshh...huuuh..." Cici menghirup dan menghembuskan napas. Dia melihat ke kiri dan kanan, cahaya senter di arahkan ke segala arah. Setelah beberapa menit dia memeriksa disekelilingnya, tidak ada apa-apa. "Apa mereka sudah balik dengan instruktur Kara?" Cici bertanya bingung sendiri. "Tapi aku tidak menemui mereka dijalan, dan...sepertinya terdengar bunyi petasan disini...kalau tidak salah..." ujar Cici. Tak Tak Tak Dia berjalan memeriksa sekelilingnya lagi. Namun tidak ada siapa-siapa. Krik krik krik Hanya bunyi suara jangkrik dan aliran sungai yang dia dengar. Cici mencari sekelilingnya sekitar beberapa menit lagi, Cici duduk di sebuah batu di pinggir sungai. Sret "Mereka ke mana?" Cici mengerutkan keningnya bingung. Sudah lelah dia mencari-cari keberadaan Naufal dan yang lainnya disekitar situ. "Huuuh!" Cici membuang napas kasar. "Seharusnya aku meminta bantuan dari ibu Widya atau yang lainnya, bagaimana mencari mereka kalau gelap begini?" Cici merutuki kesalahannya, dia terlihat kesal pada dirinya sendiri. Sret Dia berdiri dari duduknya, Cici memutuskan akan balik saja ke perkemahan mengingat sudah lama dia mencari dan menunggu Naufal dan yang lainnya namun tidak ada. Tak Tak Tak Ketika dia berjalan dan cahaya senter menyinari salah satu batu di sungai, Cici berhenti berjalan. Sret Dia menyinari baik-baik batu itu. Cairan kental di atas batu itu. Karena penasaran, gadis 24 tahun itu mendekat, gadis yang dua tahun magang di sekolah Yayasan Basri itu berjalan mendekat. Sret Cahaya senter dia arahkan ke arah cairan kental dan gelap itu. Ketika dia melihat baik-baik, dia mengerutkan keningnya. "Darah..." gumam Cici pelan. "Darah siapa..." Cici menyinari cairan yang berupa darah itu di sepanjang jejaknya. Ketika jejak darahnya berhenti, tangannya gemetar hebat. Bruk Senter yang dia pegang jatuh tanpa dia sadari. "Instruktur Kara..." Bruk Cici jatuh terduduk kaku di tanah, wajahnya pusat pasi meskipun di gelapnya malam. Tangannya dingin sedingin es, Cici tidak mampu berdiri lagi, dia menelan susah air ludahnya, ketika beberapa saat, dia cepat-cepat tersadar bahwa apa yang dia lihat ini adalah kepala dari sang instrukturnya yang sekarang sudah tidak bernyawa lagi. Sret Cici memaksakan tubuhnya berdiri dan dia berlari ke arah perkemahan. Tak Tak Tak Tak °°° "Hiks...hiks...hiks..." terdengar jeritan dan tangisan dari murid-murid. Tak hanya itu, guru-guru yang mengikuti kegiatan perkemahan menangis menggigil ketakutan. Kegiatan perkemahan mereka hancur berantakan karena sang instruktur mereka ditemukan mati tidak bernyawa di pinggir sungai. Bukan hanya itu, diketahui bahwa enam orang siswa menghilang tidak diketahui jejaknya. Banyak polisi yang berdatangan. Warga disekitar daerah PLTA disitu ikut membantu mengevakuasi anak-anak yang menangis menjerit takut. Cici menggigil ketakutan, dia lari tanpa henti sedikitpun, jarak yang ditempuh hanya sekitar lima menit itu menjadi satu menit karena dia berlari bagaikan kesetanan. Cici sadar, dia sangat dekat dengan kematian, dia tidak mau keluar dari dalam mobil polisi yang dia naiki, takut jika ada seseorang yang mencari dirinya atau ingin melukai dirinya. Setelah memberikan informasi yang dia lihat, guru-guru mulai syok, enam guru laki-laki dan delapan orang mahasiswa laki-laki dengan cepat mengambil tindakan dan membagi tugas, ada yang mencari bantuan di sekitar pemukiman, dan ada yang berusaha mengumpulkan anak-anak menjadi satu area, ada juga yang langsung berlari ke kantor polisi terdekat. "Mama!" "Aaaaaa! Mama! Takut!" "Pulang! Shela mau pulang!" "Hiks! Hiks! Hiks!" "Andri mau pulang! Pulang!" Tempat perkemahan itu penuh dengan jeritan tangis °°° "Huh! Huh! Huh!" Sret "Sehat!" Marwa melihat khawatir ke arah Sehat yang tiba-tiba ambruk. Sret Naufal melepaskan tangan Marwa dan mengangkat tubuh Sehat yang jatuh. "Dia pingsan." Ujar Naufal setelah dia memeriksa tubuh Sehat. "Hmpp!" Marwa membungkam mulutnya agar tidak berteriak. "Huh! Huh! Huh!" napas Jonathan memburu cepat. Dia juga merasa kewalahan, dadanya terasa panas karena lari terus-menerus selama sepuluh menit tanpa berhenti. Entah sekarang mereka berada dimana, dia tidak tahu, yang pastinya mereka berada sudah jauh dari area perkemahan mereka. Sekelilingnya gelap dan sudah masuk hutan yang lebat menurutnya. Sret Naufal terpaksa membopong tubuh Sehat yang tidak sadarkan diri. "Ayo lari lagi," ujar Naufal. "Mbak nggak kuat lari lagi hiks...hiks..." Marwa terisak takut. "Disini gelap...hiks...hiks...mbak pengen pulang saja..." suara Marwa bergetar takut sambil menangis. Sret Naufal memegang telapak tangan Marwa yang dingin bagaikan es batu. "Jika kita berbalik, orang-orang itu akan menangkap dan menembak kita, berdasarkan perkiraan ku, mereka tidak segan-segan menembakan pistol ke arah Jonathan dan aku, kemungkinan kita selamat akan sedikit." Ujar Naufal. "Hmpph!" Marwa menahan tangisannya yang akan keluar. Air mata sudah memenuhi wajahnya. Dia baru pertama kali mengalami situasi seperti ini. "Aku tidak tahu apa maksud mereka, tapi yang pastinya mereka orang jahat, jangan tertangkap." Ujar Jonathan. Amar dan Christian mengangguk ketakutan. Tak Tak Tak Terdengar langkah kaki lagi ke arah mereka. "Ayo," ujar Naufal pelan. Tak Tak Tak Naufal dan yang lainnya berlari menjauh dari arah datangnya beberapa orang pria berbaju hitam. Setelah sekitar empat puluh menit Naufal dan yang lainnya  berlari tiada henti, terperangkap di hutan. Mereka telah memasuki perbatasan Bandung barat dan Bandung Selatan. "Huh! Huh! Huh!" napas dari mereka berlima ngos-ngosan. Bruk Tubuh Marwa gemetar dan jatuh berlutut di tanah. "Mbak nggak kuat...hiks...ayah...mas Mail...bunda...Awa takut..." gadis sembilan tahun itu menangis lirih, tubuhnya gementar takut luar biasa. Jonathan dan yang lainnya juga terduduk di atas tanah. "Dimana ini?" Amar melihat di sekelilingnya, namun dia tidak dapat menemukan cahaya apapun selain cahaya bulan sabit di atas langit. Naufal beristirahat sambil mempertahankan tubuh Sehat yang tak sadarkan diri agar tidak jatuh ke tanah. Mereka berlari sangat lambat karena dia harus menggendong tubuh Sehat yang besar lebih dari tubuhnya. Untung saja dia sering berlatih beladiri dengan kakeknya dimasa lalu, kalau tidak bisa dipastikan bahwa dia akan mati kelelahan dan kehabisan napas. Gelap di daerah hutan membantu pelarian mereka dari orang-orang yang mengejar mereka. Flashback "Dia tidak mungkin jauh! Kakinya kecil! Langkah kita lebih besar! Cari lagi!" instruksi seorang pria berbaju hitam. "Anak itu baru berumur tujuh tahun! Baru kemarin sore! Kejar dia!" "Pastikan dia mati!" "Baik." Flashback end Naufal mengingat lagi kata-kata kasar dari orang-orang yang mengejar mereka. "Anak umur tujuh tahun..." gumam Naufal pelan, dia melihat ke arah Jonathan, Amar dan Christian, lalu dia melirik ke arah Marwa dan Sehat. Naufal menunduk dan melihat ke arah tubuhnya sendiri. "Aku..." gumam Naufal. "Anak tujuh tahun disini adalah aku sendiri, jadi target mereka adalah aku." Naufal memandang ke arah Jonathan. °°° Saya menulis cerita ini di platform D.R.E.A.M.E dan I.N.N.O.V.E.L milik S.T.A.R.Y PTE. LDT Jika anda menemukan cerita ini di platform lain, mohon jangan dibaca, itu bajakan.  Mohon dukungannya. IG Jimmywall Terima kasih atas kerja samanya.  Salam Jimmywall.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD