Sana sebenarnya ragu membawa Lukman. Ia tidak jago berfirasat atau menujum seperti Yuli. Awalnya ia berargumen karena Lukman, dengan kemampuannya sekarang, bukanlah bagian dari kekuatan tempur Jas Merah.
Maka saat ia mendapat kabar kalau Raga dibawa ke Polda, saat itu pula ia berpikir untuk bernegosiasi dengan kepolisian untuk memberi keamanan pada Lukman. Sehingga ia bisa mengurai ancaman (bila ada) dan fokus untuk bertahan sendiri.
Akan tetapi pikiran itu berubah tatkala ia melihat sesosok manusia melompat-lompat dari gedung ke gedung.
"Yang di atas gedung itu, siapa?"
Lukman menengok ke arah gedung. Ia tercekat. Pertama kalinya Sana melihat Lukman menutup mata dan membuang pandangan ke kursi mobil. Bahkan terlihat jelas badan pria itu gemetar dan berkeringat padahal pendingin udara mobil cukup kencang.
"Aku akan turun dan ikut," adalah respon yang mengagetkan Sana. Tambah lagi, ia melihat mata pria itu berkilat marah. Jantung Sana berdebar melihatnya. Ia seperti melihat Raga dalam raga Lukman.
Sana menggeram. "Tidak boleh," ujarnya keras. Dalam hati ia jadi khawatir nasib Lukman sama seperti Raga. Si Wakil, yang berada satu mobil mengernyitkan alisnya.
"Kau kenal yang di atas gedung?"
Lukman terdiam lalu perlahan mengangguk. "Aku harus bertemu dengannya. Aku melihat bencana."
"Kau mau turun di sini atau di lokasi yang disebut?" tanya si Wakil lagi.
Lukman tiba-tiba muntah. Sana tidak bisa melihat kalau di sekeliling Lukman tertera ragam kalimat yang menjelaskan berbagai kemungkinan. Tapi Sana bisa melihat mata Lukman yang membaca sesuatu di udara dari kiri ke kanan.
Makin dibaca, makin terlihat pucat di wajah Lukman.
"Turunkan aku di sini."
Adalah ucapan Lukman yang juga mengagetkan Sana. "Aku akan mengejar dan mencegah orang itu. Dan kumohon, kau jangan ke Polda dahulu. Tunggulah sampai aku bisa bicara dengannya."
Sana terdiam. Tidak biasa baginya untuk menerima permintaan dari orang luar. Apalagi itu sesuatu yang kelihatannya tidak progresif. Posisi Raga kurang lebih dalam jangkauan mobilnya. Mungkin tidak sampai setengah jam bila mobilnya ngebut.
Sana menggeleng "Aku tidak bisa mengabulkan itu."
Lukman menutup mata seolah sudah tahu jawaban Sana "Kalau begitu bisakah turunkan aku di sini saja?"
"Aku akan melapor ke atasan. Mungkin dengan begitu perhatian mereka bisa teralihkan padaku," tambah Lukman.
Sana setidaknya bisa menduga kalau Lukman akan jadi korban bila ia melakukan.
"Kau menyandera dirimu sendiri?"
Lukman mengangguk. "Hasil yang jauh lebih baik," ujarnya.
"Daripada?" Tanya si Wakil yang berwajah serius.
"Daripada melihat sesuatu yang tak diinginkan."
Si wakil mengangkat alisnya. "Tak diinginkan oleh siapa? Aku tidak suka cara bicaramu yang menyimpan rahasia atau bermakna ganda," jemari dengan kuku tajamnya ditempelkan di leher Lukman.
"...Olehku."
Lukman menatap tajam pada si Wakil. "Kau tahu jawabanmu bisa membuatmu terbunuh," seru si Wakil gusar.
"...Aku sudah diperingatkan. Aku tidak suka tapi aku punya pilihan. Ini bukan akhir buruk untukku," tambah Lukman seraya mendekatkan lehernya ke jemari yang sudah menempel. Kuku si wakil perlahan masuk ke leher tapi tidak ada rasa sakit terpancar dari wajah Lukman.
"Apa kau juga sudah mengetahui apa yang kulakukan?" tanya Sana tiba-tiba.
Lukman berkata tegas "Ya."
"Kau siap mati?"
Lukman kembali berkata tegas "Ya."
"Mengapa?"
Lukman tidak menjawab.
"Kalau begitu jawab pertanyaan dariku. Kau menjawab sebagai Lukman si polisi atau Lukman si suami?"
Lukman menghela napas panjang. Mual dan pusingnya yang bertumpuk justru tampak seperti pembebasan di matanya. Sana tidak suka dengan helaan ini.
Lukman sebagai polisi artinya ia memikirkan rakyat dan negara. Kejujurannya berarti ia tahu kehancuran akan tiba bila ia tidak berhasil mencegah. Sementara Lukman sebagai suami artinya pola hubungan dengan orang tersebut sangatlah penting dan personal tapi didahulukan lebih dari masyarakat. Orang tersebut bisa jadi orang tua, mertua, atau istri, atau bahkan bisa jadi selingkuhan.
"Lukman si suami."
Jawaban itu cukup bagi si Wakil untuk membenamkan jarinya ke leher Lukman. Sana tercekat, tidak menyangka kalau wakilnya akan merespon dengan cepat dan k**i. Apalagi, si wakil yang, dengan kelakar, ingin agar Lukman bersama dengan Sana.
si Wakil lantas menendang Lukman keluar dari mobil. Sana masih tertegun tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Kita gas pergi. Sana, dia sudah memilih posisinya."