Indah tidak melihat Lukman dikeluarkan dari mobil. Andai ia melihat, barangkali cerita akan berubah.
Indah melihat rombongan mobil yang membawa Sana Mafia menuju ke polda. Tapi karena siang hari, mereka terjebak macet akibat buruh yang tumpah ke jalan dan mencari makan siang dan istirahat sejenak.
Indah gatal ingin menculik saja Raga dan menjatuhkannya ke Sana. Tapi Ia tahu Sana tidak bisa diajak bicara. Pun, ia juga tidak mau berhadapan dengan sergapan dari kepolisian.
Indah tidak paham mengapa polisi mau berbuat sedemikian rupa. Terbaik yang bisa ia simpulkan adalah bahwa pemimpin atau polda setempat sedang merasa dirinya di atas angin untuk menghadapi Sana. Itupun hanya dugaan saja. Berpikir seperti ini bukan kekuatan utama Indah.
Indah juga mencoba mengingat kembali beberapa percakapan dengan suaminya sebelum segala kejadian ini. Keluh kesah suaminya yang seringkali disuruh berjaga malam tiba-tiba juga tergabung dengan memasukkan beberapa peti ke gudang polda.
Apakah mereka juga sedang menyiapkan s*****a khusus?
Indah tergoda untuk mencari tahu. Apalagi sepertinya Sana enggan untuk keluar dari mobil, entah karena alasan apa.
Akhirnya Indah memutuskan untuk pergi mendahului ke polda. Ia berhenti di sebuah gedung tinggi tak jauh dari lokasi.
“Lalat-lalat pengganggu itu baiknya dijatuhkan.”
Indah tidak membalas.
“Saran yang bagus.”
“Oh, akhirnya kau tidak ngeyel.”
“Aku tidak ingin Sana mati juga. Aku hanya ingin membuktikan kalau suaminya brengsek.”
“Padahal Raga tidak penting bagimu, tidak penting juga bagi suamimu. Kau bisa saja membuang semuanya.”
“...Mungkin aku bisa mengerti kemarahan Sana,” Ujar Indah seraya turun perlahan ke dekat seorang pedagang baso yang mangkal di dekat g**g masuk komplek dekat polda. “Frustasi mencari suaminya yang tidak kembali atau diduga dizalimi,” Indah memingsankan si pedagang dengan satu tepukan ringan di pangkal leher belakang. “Begitu ia melihatku di pelabuhan, bisa jadi pikirannya kalut,” Ia kemudian mengangkat baju si pedagang dan mengeluarkan pistol berkaliber kecil. Semua pelurunya diambil dan pistol itu dikembalikan ke bajunya. “Sehingga ia menyerang dengan seluruh kekuatan.”
“Maksudmu itu semua salah paham?”
“Inginnya aku berkata begitu,” ujar Indah sembari melompat ke gedung lain.
Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, ia berhasil melumpuhkan belasan polisi yang menyamar dan melucuti s*****a mereka. Indah mengernyitkan alis.
“Tapi ada satu yang sedari kemarin membuatku penasaran.”
“Apa itu?”
“Mengapa rasanya ini semua harus dibereskan dengan k*******n?”
“Bukankah memang itu cara main Sana?”
“Tidak. Seperti ada sesuatu yang memaksa semua kekacauan ini harus seperti kembang api. Meledak. Aku pikir kau sebagai makhluk di seberang tahu soal ini.”
“...aku tahu.”
Indah terkejut. “Semenjak di pelabuhan. Sudah ada sesuatu yang membuat kalian saling beradu jotos. Aku membiarkan karena akhirnya kau melanggar kontrak. Tapi kau hampir mati. s****l itu terlalu kuat sebagai manusia.”
“Apakah, bukan tidak mungkin sesuatu tersebut juga akan menguasai Sana, aku, dan siapapun di sekitar sini?”
Indah menengok ke halaman polda. Ia melihat seorang pria dengan topi jerami menengok ke arahnya. Sungguh, Ia yakin kalau orang tersebut tersenyum padanya.
“Nah orang itu,” suara di kepalanya tiba-tiba berbicara. “Apa kau percaya kalau orang itu hadir di pelabuhan? Menyamar sebagai salah satu pemuda yang memegang bedil?”
Indah mengabaikan saja informasi itu. Fokusnya terlalu ketat pada Sana yang mengamuk.
“...Tunggu, apa kau bermaksud mengatakan kalau dia itu adalah entitas berbahaya yang bisa mengacaukan persepsi?”
“Aku tidak membenarkan ya,” kekeh suara di kepala Indah
“Tapi juga tidak menyalahkan,” balas Indah.
Dan akhirnya Indah menyadari sesuatu. Selama ia melucuti, tidak ada perlawanan sama sekali. Bahkan tidak ada radio yang menanyakan kondisi mereka. Indah keringat dingin. Ia terlanjur masuk dalam pusaran jebakan.