"Jadi dia sudah ke sana?"
"Benar," ujar suara berat di seberang kabel. Hati Sana retak. Ia adalah gadis muda yang baru saja menikah lima hari lalu. Kebahagiaannya bersama Raga luntur seperti cat dilumur thinner.
"Buktinya! Berikan padaku buktinya!"
Ia terdiam. "Tentu," lalu terdengar suara telepon tertutup.
Ping!
Sana membuka ponselnya dengan segera dan melihat kumpulan foto-foto yang dikirim. Didapatinya foto-foto tak senonoh Raga dengan gadis yang tidak dikenalnya.
"Siapa dia?" tanya Sana sambil mengambil jaketnya. Tidak dijawab.
"Di mana alamatnya?" Tidak dijawab lagi
"Bagaimana dia bisa ada di sana bersama suami saya?" Tidak dijawab lagi.
"Jawab dong, b***k!" tanya Sana saat duduk di kursi supir.
Ping!
"Kami sudah kirimkan segala informasi terkait permintaan nona Sana. Semoga konflik anda terselesaikan dengan bijaksana."
"Bijaksana? Apanya yang bijaksana dari selingkuh? Yang selingkuh sudah bertindak tidak bijak!" maki Sana sambil menginjak pedal gas lalu menjalankan fitur auto pilot pada Mobil Otomatis-nya.
Apa yang dibaca Sana memanaskan hatinya. "Tidak bisa memuaskan suami, tidak bisa masak, dan tidak bisa bercanda," Sana memonyongkan bibirnya dan mendebat semuanya dengan segera. "Aku bisa kok yang pertama, masak mie ayo, bisa bercanda? hoho tunggu saja nanti kalau aku berhasil menemukan si Raga konyol!"
Mobil Otomatis itu berhenti di depan sebuah rumah tipe 45 dua lantai. Rumahnya dipagar kayu setinggi satu meter. Cukup mudah untuk dilompati. Di depan halaman rumah terdapat pohon setinggi dua lantai; sesuai dengan foto yang baru saja dikirim. Setidaknya Sana tidak mau salah melabrak.
Sana tidak turun. Ia mengamati dari jendela sembari tangannya menekan tombol di ponsel. Kalau melabrak, ia butuh bantuan atau minimal saksi mata.
Tak lama dua puluh Mobil Otomatis mendatangi lokasi dan mengepung rumah selayaknya antrian pesta nikahan. Warga mulai penasaran. Apalagi saat tahu kalau yang datang adalah mobil keluarga Mafia Sana.
"Mundur!" ujar Sana sebelum membuka pintu pagar yang tak terkunci. Para pemuda berkacamata hitam dan jas merah mundur teratur dan patuh berdiri di tengah teriknya siang hari.
Sana membuka pagar. Ia teringat akan pertemuan pertamanya dengan Raga. Raga yang pertama kali memasuki hatinya yang kadung beku menilai manusia. Raga hanya menyapa "Salam," saat perjumpaan pertama mereka saat ia babak belur digebuki preman kampung.
Sana berjalan menyusuri halaman yang rumputnya rimbun. Ia teringat kembali beberapa pertemuan mereka yang selalu berlatar belakang taman. Pada tiap pertemuan itu ia selalu memberikan makanan pada Raga yang bersembunyi di bawah rumah kardus. Tiap pertemuan itu ia selalu merasakan kehangatan dalam dadanya -yang sempat didiagnosis sebagai penyakit hati.
Sana sampai di depan pintu. Sekarang ia mulai takut padahal kata itu tak pernah ada di kamusnya. Ia takut menghadapi kebenaran. Melihat Raga bersama perempuan lain membuatnya ingin meremas hancur ponselnya.
Sana mendobrak pintu. Terdengar jerit kaget dari dalam ruangan; tiga meter dari pintu depan.
Sana segera berlari. Bibirnya tersenyum lebar membayangkan adegan k*******n yang akan ia lakukan pada pelakor. Ia siap melihat merah.
Meski begitu, Sana juga sebenarnya tidak siap dikhianati. Matanya mulai berair setiap kali melangkah. Ia berharap informasi itu salah. Lebih baik ada jebakan granat daripada harus menghadapi kenyataan Raga tidur dan menghamili perempuan lain.
Sana menendang pintu. Remuklah pintu itu selayaknya diterjang Genta 100 kati. Tapi yang dilihat oleh Sana jauh lebih meremukkan hatinya.