Indah Hatibaja tidak ingat bagaimana bisa kabur dari amukan seorang gadis berambut pendek dengan kepalan merah darah. Ia bahkan tidak ingat bagaimana ia bisa sampai membawa seorang pria bernama Raga ke rumahnya.
Sekarang ia pusing. Indah adalah ibu rumah tangga yang menikah dengan seorang polisi dan mengadopsi anak laki-laki. Tapi ia seringkali terjun untuk memberantas kejahatan bersenjatakan sang anak.
Apa alasan yang tepat agar suaminya percaya? Saudara jauh? Atau orang yang harus ditolong?
"Bilang saja aku diadopsi," saran Raga sangat tidak membantu.
"Bodoh," Komentar sang anak.
Masakan Indah gosong. Indah tidak fokus. Ia baru saja sadar waktunya habis begitu mendengar salam di depan pintu. Maka yang terbaik yang bisa ia lakukan adalah mengatur meja makan.
Empat orang duduk di meja makan bundar. Sang suami di samping Indah, anak di samping suami, dan Raga di antara Indah dan anak. Posisi di samping Indah jelas bukan posisi menyenangkan tapi setidaknya aman.
"Maaf gosong," Indah enggan mengambil ikan goreng ke piring suaminya. Tapi ia tetap memberikannya.
"Tidak apa-apa, dek. Abang suka kok," Ahmad terlalu baik padahal ia polisi. Begitulah pikir Indah.
Sampai sekarang Indah masih bersyukur mendapat suami yang ganteng, gagah, lagi baik. Hampir-hampir ia merasa dirinya tidak berhak. Karenanya, mempertahankan segala kebaikan ini di tengah aksi vigilantenya benar-benar menyakiti hatinya.
Ia bisa beralasan tapi mencari yang tidak menyakiti atau mencurigakan sangatlah sulit.
Baik hati pun ada batasnya. Pengalamannya menghadapi lelaki hidung belang kaya menorehkan pelajaran panjang di wajahnya.
"Mas itu siapa?"
Indah siap tak siap menghadapi pertanyaan itu.
"Dia–"
"Saya diselamatkan mbak Indah!"
Kalimat Raga sangat tidak membantu.
"Oh ya? Diselamatkan dari apa?"
Raga menunjuk televisi yang sedang menayangkan berita hotel yang terbakar. Dengan senyum menawan ia menambahkan "Kalau tidak dibawa keluar dari situ, aku pasti mati."
"Oh," sang suami hanya membalas singkat. Indah justru ketar-ketir. Akan segera ada pencocokan alibi. "Apa ini acara yang kamu bilang kemarin?"
Indah mengangguk saja sambil mengambil makanan dari meja. Pahitnya gosong lebih baik daripada bohong ringan yang dilemparkan.
"Seru?"
Raga menahan diri untuk tidak membalas. Ia tahu kalau kekacauan siap bergulir kapanpun.
"Pastilah. Namanya juga gosip ibu-ibu. Kamu mau ikutan."
"Nggak sih, tapi aku minimal tahu serunya berteori dalam penyidikan," kekehnya riang.
"Mau lagi?" Indah meletakkan tangannya di mangkuk, siap untuk mengambil.
"Mau," ujar sang suami dengan muka memelas.
"Laper apa laper?" tanya Indah tersenyum.
"Makin laper lihat kamu."
Keduanya bertatapan mata sambil bergenggam tangan.
Raga mules melihatnya kemesraan keduanya. Ada sedikit kecemburuan juga bersemayam. Ia tidak pernah semesra itu dengan Sana.
"Mereka hanyalah pasangan bodoh," komentar si bocah sambil lewat. Keduanya dengan segera melepas genggaman tangan dan tatapan mesra.
Sekarang Raga muak. Ia tidak suka dengan segala kepura-puraan. Baginya wajah Indah yang dilihatnya saat lelang jauh lebih menggairahkan. Kepura-puraan ini adalah sebuah kastil yang layak dirubuhkan.
"Ah, aku baru ingat. Aku dengar katanya ada sesuatu di atas," Raga terdiam sebentar, mengamati ekspresi Indah dan sang suami. Hanya sang suami yang memperlihatkan ketertarikan. "Kekacauan."
"Kekacauan seperti apa?" Tanya Indah justru.
"Aku dengar... banyak yang mati."
Alis mata sang suami menajam.
"Darimana kau dengar itu?" nadanya hampir terdengar seperti interogasi.
"Ada yang kabur. Aku dengar percakapan mereka," jawab Raga dengan santai. Ia mematahkan ekor ikan yang gosong. "Tapi bukan karena kebakaran," tambahnya sambil memakan ekor ikan tersebut.
Sang suami mengambil badan ikan yang gosong. Ia menggigitnya. "Menurutmu mati karena apa?"
Raga mengangkat kedua bahunya. "Yang kutahu, katanya ada sepasang monster yang berhasil kabur. Perempuan dan tuyul."
Raga melirik ekspresi Indah setelahnya. Indah. Sangat INDAH.