Episode 11 - Kabur Mengepul

614 Words
Raga bukannya kabur dari lokasi. Ia diculik. Lagi. Kapolres diam-diam memerintahkan agar Raga 'diamankan' diam-diam di tengah negosiasi. Kenapa? Ada perintah dari atas. Ia mencoba berargumen tapi kandas oleh 'perintah atasan' dan 'kau tidak perlu tahu'. Yang ia tahu ada konspirasi atau strategi untuk memanfaatkan Raga. Raga yang kembali diikat di kursi belakang mobil hanya menyeringai. "Ini lagi. Kalian tidak bosan?" Dua polantas yang terseret dalam pusaran konspirasi juga berkeringat dingin. "Kami tidak tahu menahu." "Yah, tentu saja. Kalian hanyalah b***k yang menjalankan perintah majikan." Dua polantas itu menggerutu tapi diam-diam setuju. Bawahan selalu menerima perintah. Yang buang badan adalah mereka. "Tahukah kalian, selingkuh itu adalah dinamika kekuatan. Yang selingkuh punya kuasa dan kebebasan untuk melakukannya." "Ngaco. Selingkuh itu dibenci masyarakat. Ada hukum yang melarang." "Itulah, selingkuh hanya dibenci dan dilarang karena masyarakat tidak suka. Selingkuh dilarang sebagai bentuk kuasa masyarakat atas sebuah perilaku. Makanya dikodifikasi jadi hukum dan ada hukuman," ujar Raga menunjuk dengan santai. Dua polantas mulai menghela napas. Rakyat jelata tahu apa sih soal hukum. "Tapi selingkuh tidak bisa dikalahkan, toh. Yang kaya, bebas bergonta-ganti pasangan. Yang lemah akan mengusahakan cara agar tidak ketahuan. Intinya mereka bisa menggunakan kuasa mereka untuk melakukan itu. Mereka bebas. Ah, tidak. Mereka terikat oleh kekuatan mereka sendiri untuk menjalankan sebuah keinginan." "Bagimu selingkuh itu tanda orang kuat?" sindir polantas lain. "Ya." "Berarti kau akan selingkuh?" "Tidak. Karena aku lemah. Tapi aku senang melihat beradunya orang kuat." "Maksud?" "Orang yang tidak suka dan akan melawan perselingkuhan adalah orang kuat. Perempuan yang menangis saat menampar suaminya yang tertangkap selingkuh adalah manusia kuat." "Iya memang seharusnya begitu." "Berarti kau tahu apa yang akan dilakukan oleh atasanmu. Mereka ingin selingkuh. Mereka ingin menunjukkan mereka kuat." "Logika aneh." "Pikir saja. Apa menurutmu raja tidak boleh memiliki 100 istri?" "Ya karena dia bisa." "Dia bisa karena memiliki kekuatan dan kekuasaan. Selingkuh adalah fraksi kecil dari menunjukkan siapa yang di atas dan di bawah." Omongan Raga ini sebenarnya tidaklah bermaksud menerangkan pada mereka selingkuh berdasarkan struktur kekuasaan melainkan hanya ingin memberikan ide dan konsekuensi. Kalau ia ingin meyakinkan orang, ia tidak akan menggunakan teori, melainkan cerita. "Dan siapa yang ada di bawah akan selalu kena lindas." ... Tidak ada yang makan umpan. Entah karena memang mereka tidak mengerti atau tidak peduli. Raga juga memang tidak punya kuasa lain selain ucapannya. Ya sudah Raga akhirnya memilih untuk terus mengobrol. "Bisa diam tidak?" "Ah, kalian takut?" "Takut apa?" "Takut kalau saat aku tidak mengucap, kalian yang akan terkena imbasnya," ujar Raga lalu mengeluarkan lidah dan menggigitnya. Dua polantas itu terkejut. Saking terkejutnya, yang menyetir sampai banting setir. Beruntunglah mereka sekarang sedang berada di jalan sepi malam hari. Kalau siang hari bisa gawat. "Jangan coba-coba!" jambak polantas di belakang. "Nah, kelakuan kalian ini mirip dengan yang diselingkuhi. Kalian percaya kalau aku tidak akan melakukan itu. Tapi ternyata aku, yang kalian anggap tidak memiliki kuasa, justru mampu mendikte kelakuan kalian." Keduanya diam. "Tidak apa-apa, kalau aku mati. Yang akan disalahkan adalah kepolisian. Atasan kalian." Keduanya lega sejenak. "Atau sebaliknya. Kalian yang akan dijadikan bahan untuk lonceng pabrik baru di wilayah Buruh Timur." Salah satu polantas turun dari kursinya, mengabaikan pertanyaan histeris dari rekannya. Ia membuka pintu belakang. Raga menyeringai. Ia mengharap akan ditampar. Tapi si polantas melemparnya keluar ke jalan beraspal. "Gas," ujar si Polantas yang membuang Raga begitu ia kembali ke kursi depan. "Kita akan mati juga. lebih baik tinggalkan saja dia. Kita bilang saja dia kabur." Raga berharap akan ada pertengkaran. Tapi ia sungguh ditinggalkan. Tidaklah ia kecewa melainkan waspada. Raga menengok sekeliling. Sepi. Ia tidak suka sepi sendirian di tengah malam begini rupa. Tidak masalah bertemu dengan penghuni dunia atas atau dunia bawah. Bertemu makhluk yang bukan dari dunia ini baru lain soal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD