Episode 14 - Selingkuhkah

622 Words
“Nikahi saja dia.” Wajah Sana memerah rebus mendengarnya. Wajar saja si Wakil berceloteh begitu. Ini pertama kalinya Sana perhatian pada korbannya. Sana duduk di kursi di samping meja operasi sambil memandang sangat khawatir pada Lukman yang terbaring di meja operasi. Ucapan itu mulai merasuk sanubarinya. Ia punya alasan logis tapi tidak menepis adanya perasaan di sana. Alasan logisnya adalah karena Lukman mengantar Raga. Seorang pria, bukan wanita. Polisi pula. Segala kemungkinan informasi yang bisa didapat darinya bisa membantunya, selemah apapun juga. Alasan perasaan… sebut saja ada. Sana malas menjelaskan atau malas mencari tahu juga. Ia masih marah pada Raga, pada dirinya sendiri juga, sehingga emosinya masih belum bisa mengatakan ya atau tidak dengan pasti. “...Diam,” balas Sana setelah mulai bisa menguasai dirinya kembali. Ia mengambil napas panjang dan mulai berkonsentrasi. Ia membuka telapak tangan Lukman dan menempelkan telapak tangannya. Sana mengernyitkan alis. “Jangan anggap dia Raga…” bisiknya berulang kali sambil mengernyitkan alis. Si Wakil jelas mendengar dan hanya terkikik bisik saja. Tapi konsentrasi Sana terganggu. Dalam hatinya mulai muncul pertanyaan seperti kapan dia pernah berpegangan tangan dengan Raga. Atau berjalan berdua saja melakukan hal yang menyenangkan. Dipikir-pikir, Sana belum pernah melakukan itu semenjak pernikahan. Pernikahan itu pun terjadi karena si Wakil, mas Anton, berkali-kali mengeluh akan tabiat Sana terhadap calon yang ditawarkan padanya. Pilihannya jatuh pada Raga. Itupun karena awalnya ia merasa kasihan melihat Raga yang digebuki pengemis bertongkat bambu. …Ada sesuatu yang unik dari Raga. Hanya itu yang bisa Sana katakan pada teman-teman perempuannya. Mereka semua mendukung karena gembira Sana Mafia bisa melepas kelajangan. Pun saat mereka bertemu, kesan yang sama didapati mayoritas. Yang tidak setuju hanya Putri dari Ketua Geng Selatan: Arini. Menurut Arini, Raga itu… menakutkan. Adalah aneh itu datang dari seorang yang terbiasa dengan skala Diskusi dan k*******n yang dianut Geng Selatan. Ia tidak bisa menjelaskan –yang lagi-lagi aneh bagi seorang gadis yang dibesarkan di kultur mengapresiasi ekspresi dan interpretasi. Bersama Raga itu mendebarkan jantung. Katanya kencang berdebarnya jantung tanda suka dan tanda kehidupan. Sana memang kadang merasa bosan. Ia tahu jarang sekali ada yang bisa membuatnya berdebar. Dan sekarang, situasi jantung berdebar itu terjadi saat ia memegang tangan Lukman. Ia menggelengkan kepala berulang kali. “Aku sudah bersuami,” bisiknya berulang kali juga selayaknya berdoa pada Tuhan untuk mengabulkan doanya. “Selingkuh itu hanya perilaku kaum lemah!” tambahnya lagi. Setelah meyakinkan diri, barulah Sana menegakkan punggung. Matanya tidak lagi ragu. Pegangan tangan ini hanyalah seperti memegang anak kecil atau saudara. Tidak boleh ada rasa dan tidak akan ada rasa. “Dia ganteng juga.” Wajah Sana memerah karena mengiyakan kalimat si wakil dalam hati. Ia menoleh tajam tapi si wakil sudah menjauh lebih dahulu. Lantas si wakil pergi meninggalkan lokasi sambil menepuk pundak Tabib yang baru saja masuk ruangan dengan bungkus yang beraroma tajam. Persis seperti membawa durian dicampur balsam yang juga dilarutkan oleh cuka. si Tabib adalah seorang kakek tua pendek. Kurang lebih setinggi d**a Sana yang tinggi untuk ukuran perempuan. Jalannya menyeret dan hidungnya merah seperti merahnya apel Malang. Si Tabib bersin, begitu juga dengan Sana. “Bau,” erang keduanya bersamaan. Sana mengangkat tangan meninju pundak si Tabib. Si Tabib terkekeh saja merasakan getaran di pundaknya. “Jangan kasar. Dia atau suamimu atau calon suamimu yang lain belum tentu sama seperti kita,” komentarnya sambil membuka bungkusan yang dibawa. Botol-botol yang tertutup terhampar di samping meja operasi. Bau yang menyengat kembali membuat Sana menutup hidung. Ia seperti berada di tengah WC umum yang belum disiram. Mata si Tabib buta. Jadilah ia meraba-raba botol dan membuka salah satu yang bertutup seperti gerigi lalu membawanya ke dekat Sana. Wajah Lukman dirabanya. “...Lukman?” “Paman kenal dia?” Si paman terdiam sebentar. “Kamu, nikahi dia.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD