Kembali ke Raga. Ia duduk di bak mobil pick up dengan seluruh badan terikat perban, persis seperti mumi. Alih-alih stress atau takut, pemuda itu justru senang selayaknya bocah kampung naik pick up.
Raga tahu alasan ia dibeginikan. Penculiknya, tidak ingin lokasi asli mereka diketahui. Berarti ia belum akan menjadi pion negosiasi atau rencana jahat atau konspirasi apapun.
Semakin lama perjalanan, semakin terasa kalau jalan yang dilalui semakin sepi dan semakin berbatu.
"Aku sengaja pilih jalan ini biar kamu sedikit muntah-muntah."
Sedikit. Raga mual dan muntah berkali-kali. Ia serasa masuk jalur offroad dan berulang kali menabrak dinding bak mobil.
"Ada Antimo?" tanya Raga lirih.
Yang menyupir tertawa saja.
"Sekali-kali rasakanlah bagaimana berada di kursi penumpang dari kekacauan. Menjalani perspektif berbeda bisa mengubah manusia juga."
Sophistry yang tidak menyenangkan ini sedikit banyak menggelitik Raga.
"Geng Selatan?" tanya Raga.
"Pertanyaan tepat sasaranmu itu seperti eksentrisme dunia bawah saja. Tidak takut terseret masuk kegelapan, heh?"
Raga terkekeh. "Dunia sudah gila. Terseret masuk kegelapan bisa jadi lebih baik."
"Tidak semua orang mau gila dan terjun ke jurang," balas si supir.
"Tidak semua yang terjun itu gila," balas Raga.
Si Supir tertawa. Diskusi berhenti di sana karena tiba-tiba mobil berhenti mendadak. Raga mendengar suara pintu dibuka. Liurnya menetes membayangkan kalau ia akan ditampar.
Dan tamparanlah yang ia dapatkan. "Bangun. Kita sudah sampai."
Perban dibuka dengan satu sentakan. Tubuhnya terpuntir setengah jengkal dari lantai pickup.
"Ugh!"
Raga beringsut. Ia mendapati dirinya berada di depan gubuk reyot. Ukuran gubuk itu mengingatkannya akan rumah anjing –hanya sedikit lebih besar saja. Di depan gubuk, duduk seorang pria dengan baju hawai dan topi jerami. Ingat cerita kedua?
"Ah. Kau lagi," Raga jelas mengenalinya. "Kau yang menawarkanku es krim dan cerita yang menarik tentang Sana."
"Betul sekali. Tak kusangka kau masih ingat," ujar si pemuda sambil berdiri dari kursinya dan meregangkan badannya. "Lebih hebat lagi kalau kau ingat namaku."
"Baron, Baron Merahdara."
Si pemuda jelas tidak menyangka sampai-sampai mulutnya menganga kecil. "Kau mengerjakan PR dengan baik rupanya."
Raga berdiri.
"Tidak juga. Aku baru tahu kau ada koneksi ke geng selatan barusan ini."
Raga bertolak pinggang. "Dan karena aku dibawa ke sini, berarti kalian butuh sesuatu dariku. Bisa jadi nyawa. Tapi kalau nyawa, kalian khawatir berurusan dengan Jas Merah."
Baron terkekeh.
"Yuli dari Gepeng Utara tahu kalau kau sedang bersamaku."
Raga menepuk tangannya. "Ah, jadi kau ingin membawaku ke sini untuk menambah kacau?" Raga kemudian terkekeh "Atau mungkin melarikan diri. Geng Selatan kudengar hanya faksi kecil."
"Kecil tapi maut. Kami hampir berhasil mematikan Sana, loh," kekeh Baron.
"Setelah aku memberitahumu apa yang bisa membuatnya goyang," balas Raga. "Butuh nasihat lagi?"
Tiba-tiba Raga melihat dunia terbalik. Tidak hanya terbalik. Ia juga melihat badannya berdiri tegak.
"Oh, ilusi yang menarik."
Adalah ungkapan dari Raga. Ia merasakan ada tangan yang memegang kepalanya.
"Sekarang aku baru kagum. Biasanya yang terkena ilusi ini akan pingsan karena menyangka diri mereka mati. Panca Indra yang dibohongi bisa membunuh," ujar Baron mendekatkan kepala Baron yang terpisah dari badannya ke dekat kepalanya.
"Sekarang aku tahu apa yang akan kau lakukan... kalau mau memfitnah, aku tahu siapa yang terbaik untuk jadi pelaku."
Baron terkekeh sambil menjentikkan jarinya. Raga merasakan dirinya ada di tanah. Lengkap dengan seluruh tubuhnya.
"Bagaimana kalau kau ikut Geng Selatan saja, kita bisa berdiskusi bagaimana mencipta seni terbaik. Ledakan atau Ilusi. Apapun itu kami punya. Kecil bukanlah masalah."
Raga menyeringai. Ia sudah punya jawaban atas tawaran ini.