Tim Forensik Polda mendatangi lokasi dengan baju anti peluru. Biasanya mereka akan datang dengan baju steril/hazmat tergantung situasi. Mereka tahu kalau lokasi itu lebih jadi wilayah perang daripada wilayah kejahatan.
Salah satu dari anggota memegang sebuah potongan dinding dengan bekas cakaran.
“Kalian yakin ini bukan T-Rex?”
“Kalau itu bisa masuk laporan, aku lebih senang menulis T-Rex daripada perempuan gila,” balas kapolsek.
“Apa yang kau katakan sampai dia gila? Perempuan tidak akan langsung kalap tanpa sebab.”
“Perjaka sok tahu,” komentar kapolsek menghisap rokoknya lagi. Tapi diam-diam, dia juga berpikir pasti ada yang salah dari cara memberikan informasinya. Ya. Anggap saja si bapak satu ini tidak mau disalahkan.
“Dari pak mabes ada perintah tambahan?” tanya kapolsek sambil membuang rokoknya ke keranjang sampah yang sudah ringsek.
“Ada.”
“Mutasi?”
“Iya.”
Mulut si kapolsek terasa pahit. Sialnya rokok terakhir kadung habis dihisap.
“Luar Rajakarta?”
“Betul.”
Si kapolsek lantas mengambil keranjang sampah yang ringsek. Di dalamnya terdapat secarik kertas DPO Briptu Lukman. Ia menyerahkannya pada anggota.
“Dia galak setelah kuberikan ini,” ujar Kapolsek.
“Kau kasih perempuan sampah, ya jelas dia marah.”
“Suratnya. Surat. Bukan keranjang sampahnya.”
Si anggota tim forensik memandang kertas di tangannya.
“Apa dia marah karena orang di DPO ini rekannya.”
“Bisa jadi,” jawab si kapolsek datar.
“...Kau sedang tidak menahan informasi dari kami kan?” sidik si anggota. Ia mengeluarkan sebungkus rokok dan menawarkan pada kapolsek.
“Untuk apa? jawab si kapolsek sambil mengambil sebatang.
“Untuk melindungi tersangka atau buron misalnya,” ujar si anggota sambil mengeluarkan lighter.
Lighter dinyalakan. Rokok terbakar. Asap mengepul. Tapi tidak ada jawaban dari kapolsek.
“Daripada melindungi orang lain, mungkin lebih untuk melindungi diri sendiri,” ujar kapolsek setelah nikotin merasuki nadinya. Ia bohong. Ia menjawab sebagai polisi yang memikirkan anak buahnya, briptu Lukman yang dijadikan pion oleh atasan –entah untuk alasan apa.
“Perintah atasan bisa membuatmu terancam?”
Kembali kapolsek terdiam.
“Dari dunia bawah?” tanya si anggota sambil mengambil reruntuhan lain. Ia membandingkan bekas cakaran.
“Kau bisa mengambil DNA dari situ. Itu bekas cakarnya,” ujar kapolsek tiba-tiba.
“...Aku tahu,” jawab si anggota lalu ia terdiam sebentar “Apa yang ada di sini adalah sesuatu yang harus kau hindari?”
“Aku harap kau bisa punya diskresi saja. Misal ternyata kau tahu sesuatu soal DNA di situ,” balas kapolsek sambil membuang puntung rokok itu ke keranjang sampah.
Si anggota forensik memahami maksud dari kapolsek. Ia bisa memilih membiarkan atau mengusut lebih dalam.
“Tapi atasan butuh informasi itu.”
“Tapi informasi itu juga yang menyebabkan gedung ini runtuh. Dengar, aku tidak ingin konfrontasi sia-sia. Yang kupikir solusi terbaik sekarang adalah mengamati saja tanpa mengusik sarang lebah. Walaupun mereka bisa menebak siapa yang melakukan ini, kuharap ia menunggu sampai urusannya selesai. Mengganggu orang di tengah pipisnya hanya akan lebih mengacaukan.”
Si anggota tim forensik terpana mendengar analisis panjang itu. Ia memandang kertas itu dengan ekspresi kelam.
“Yang berhak menentukan strategi umum adalah atasan.”
Si kapolsek menghela napas panjang. “Sudahlah, percuma saja. Memang sudah nasibku tiga kali dimutasi keluar Rajakarta.”
“Jadi menurutmu aku harus bagaimana? Hasil Lab tidak bisa bohong.”
“Selalu ada kertas yang bisa dijadikan alat ukur. Tidak harus dengan labu.”
“Kalau diminta?”
“Ya sudah jalankan. Rekomendasi kan darimu.”
“Aku bisa menggunakan ini untuk naik jabatan.”
“Kayak bakal dihargai saja. Tetap saja bintang tiga ke atas yang harus nilai saranmu kan. Ini bukan cerita detektif-detektifan.”
“Kau terlalu serius sekali menghalangi bukti ini.”
“Aku memberikan barang bukti, keputusan memberikan sekarang ada di tanganmu.”
Kapolsek pun keluar dari TKP dengan langkah tertatih.
Tim forensik menutup investigasi dengan mengatakan ‘hipotesis awal: Makhluk serupa T-Rex mengamuk.’