Lukman tak menyangka akan bertemu dengan Sana. Ia melihat Sana menangkap congor Bunglon dan menahannya di lantai.
"Man, itu Sana Mafia, kan? Yakin mau lawan dia?"
"Tidak. Tidak sekarang. Lawan kita bukan dia."
'Jangan mendekati Sana. Kau akan mati.'
Lukman sekarang galau apakah ia harus mengikuti saran dari kalimat di udara atau justru menggunakan nalar dan hatinya sendiri. Sebagai polisi, ia juga toh memiliki etika dan cara kerja sendiri juga.
Yang ia tidak mengerti, mengapa sudah seheboh ini tapi tidak ada satupun rekannya yang keluar untuk mencoba bernegosiasi. Kurang lebih ia bisa paham kalau rekannya takut. Lawan yang merusuh ini adalah Sana Mafia.
"Kalian tunggu di sini."
"Kau gila?"
Lukman mengabaikan ocehan itu dan mendatangi Sana yang menoleh ke arah gudang.
"Sana."
Sana menoleh. Wajahnya hampir tersenyum melihat kedatangan Lukman tapi segera ia menahan diri.
"Ehem, Lukman. Ada apa?"
Lukman memegang lehernya yang tidak lagi berdarah dan sudah diperban.
"Aku ingin memberitahumu lokasi Raga."
"Di luar kan?" Ungkap Sana sambil mengernyitkan alis pada Lukman. Aura Sana yang mulai tidak sabaran jelas terbaca oleh Lukman. Ia tidak ingin memprovokasi tapi...
Raga mengernyitkan alis. Jelas-jelas sekarang informasi soal Raga tertera di 'Raga di gudang bersama seseorang'. Lukman bisa memilih untuk menerimanya atau mengabaikan.
Gundah lah ia. Informasi itu bisa digunakan untuk menyelamatkan dirinya dan Indah. Ia bisa saja merusak segala konspirasi ini dengan ikut membantu menjebak Sana atau menjauhkannya dari pusat konflik.
Tapi... Lukman adalah polisi yang ingin jujur. Ia tidak ingin menyimpan rahasia. Apalagi ia sudah berhasil mendekatkan diri dengan Sana walau hanya sehari. Ia tahu ucapannya akan dipercaya tapi konsekuensi dari pilihannya itu terlalu berat; urusannya nyawa. Kejujuran bisa jadi membunuh Indah –dan itu pula yang tertera di kalimat yang mengapung.
"Dia berbohong," Lukman menunjuk "Suamimu ada di dalam gudang. Temui dia sendiri di sana. Aku akan menjaga agar tidak ada yang menghadangmu."
Sana berdiri dan melempar Bunglon ke samping Selimut.
"Apa kau berbohong?"
"Tidak."
"Kau punya banyak kesempatan untuk menyelamatkan siapapun yang tidak ingin masuk dalam zona resonansiku," ujar Sana lirih. Ia menunduk dengan sedih.
Lukman setuju dengan argumen Sana.
"Tapi kalau masalah ini bisa selesai denganmu bertemu dengan Raga, aku rasa itu lebih baik. Kami juga bisa kembali dengan tenang."
Sana harusnya merasa senang dengan kalimat itu. Nyatanya, ia kembali diingatkan bahwa kehidupan keduanya bisa jadi tidak akan bersilang lagi.
"Jangan lupa pula, aku ini polisi, tugasku mengayomi masyarakat. Terlepas dari kami yang diajarkan menggunakan k*******n, apabila konflik bisa selesai tanpanya adalah jauh lebih baik."
Ekspresi Sana mulai melunak.
"Percayalah, ia ada di gudang."
Lukman berjalan mendekat sambil mengulurkan tangan. Sana juga mengulurkan tangan untuk menandakan kepercayaan –atau sekedar canggung.
Harusnya semua lancar. Andai saja mata Lukman tidak menangkap sosok Indah yang sedang berjongkok di puncak tiang listrik. Kalimat di atas kepala Indah adalah 'cemburu dan kecewa.'
Kekagetan Lukman tertangkap oleh Sana. Ia menengok ke arah mata Lukman. Tentu saja ia melihat kembali perempuan yang entah mengapa sangat dibencinya.
Lukman panik. Kalimat di atas kepala Indah tertulis "Sekarang aku tahu di mana Raga. Dia harus merasakan tamparan sebelum kembali ke Jalang itu."
Sana membaca kepanikan itu.
"Tenang saja! Aku akan memastikan betina itu tidak macam-macam!"
Sana berbalik badan dan merintangi diri Lukman dan Indah. Lukman membaca
serius menjaga Lukman' di atas kepala Indah. Dan di atas kepala Indah terbaca
'korbankan istrimu agar tidak ada korban lebih lagi!'