DOSEN TAMPAN MILIK ANA

1356 Words
Tinggi, pintar, tegas dan rapi. Ana baru menyadari kalau suaminya se-perfect itu. Tatapannya tegas, kata-katanya tak terbantah dan suara baritonnya yang khas membuat Ana sedikit kesulitan untuk fokus. Sampai-sampai, Ray berkali-kali menyindirnya yang banyak melamun di pertemuan pertama ini. Tidak terasa, kelas yang dibawakan oleh Ray akan segera berakhir. Dosen tampan itu telah selesai menjelaskan materi dan para mahasiswa juga telah menyelesaikan tugas mereka. Ray kini sedang mengabsen satu persatu mahasiswanya, membuat suasana di ruangan itu tampak sedikit riuh. “Agus Bagaskara.” Ray sudah memanggil nama yang ada di urutan ke 20. “Saya, Pak.” “Dinda Ajni.” “Saya, Pak.” Gadis berkemeja hitam yang tadi merasa disenyumi oleh Ray menatap dosen itu dengan rasa kagum yang amat kentara. “Listyana Wuri.” Kali ini, Ray menyerukan nama istri rahasianya. “Saya, Pak.” “Nicholas Anderson.” Ray mengedarkan pandangannya mencari-cari pemilik nama tersebut. “Nicholas Anderson.” Ray mengulangi, namun lagi-lagi tidak melihat ada yang mengacungkan tangan di antara para mahasiswanya. “Nicho gak datang, Pak. Gak ada kabar.” Itu suara Ana. Gadis itu memberanikan diri menyahuti seruan Ray yang sedang memanggil nama temannya. Ray menatap Ana sekilas dan datar tanpa membalas penyataan gadis itu, lalu kembali melanjutkan tugasnya hingga seluruh nama di kolom absen pada laptopnya telah ia panggil semua. “Sebelum saya menutup perkuliahan hari ini, saya ingin beritahukan kepada kalian semua kalau saya paling tidak suka ada yang tidak fokus saat saya mengajar. Apalagi, kalau ada yang membuat forum di dalam forum. Ada beberapa nama yang sudah saya tandai untuk mendapat hukuman dari saya karena tidak serius mengikuti perkuliahan hari ini.” Ray membiarkan matanya menyaksikan raut cemas para mahasiswa. “Tasya, Amel, Agung dan Ana. Silahkan kalian buat 1 jurnal tentang materi hari ini dan masing-masing dari kalian buat 1 makalah untuk materi minggu depan. Silahkan kumpul 3 hari sebelum pertemuan selanjutnya. Tidak boleh ada yang terlambat atau hukuman akan saya tambah dua kali lipat.” Kata-kata itu terdengar begitu tegas dan tak terbantah. “Sekian untuk hari ini.” Setelah berujar demikian, Ray langsung mengambil laptopnya dari meja dan pergi meninggalkan ruangan tersebut. Tidak ada senyum. Tidak ada sapaan atau sekedar lirikan singkat yang tertuju kepada Ana, membuat gadis itu semakin dibuat terkejut melihat sikap Ray yang seakan mereka tidak saling kenal. Setelah Ray benar-benar menghilang di balik tembok kelas, barulah Ana mengalihkan pandangannya seraya menghembuskan napas lelah. “Salah gue apa, sih? Perasaan gue gak ribut deh. Gue gak terima nih kalo disuruh buat jurnal sama makalah. Heh, kalian cewek rempong, semua ini gara-gara kalian. Siapa suruh kalian buat forum dalam forum? Udah tau Dosen Ray gak suka sama yang begituan, kalian malah ngerumpi gak jelas.” Agung yang duduk di tepat di samping Ana melontarkan kekesalannya kepada Tasya dan Amel. Kedua gadis itu langsung bangkit dari bangku mereka dan berbalik badan menatap Agung. “Heh, Terong busuk, lo kalo ngomong mikir dulu. Emangnya lo pikir lo doang yang dihukum? Gue juga kali. Kalo lo dihukum itu artinya lo juga gak konsen waktu belajar,” sarkas Tasya, kesal. “Bener, tuh. Sok banget lo jadi cowok. Kalo emang berani dan gak merasa bersalah, kenapa tadi lo gak langsung complain aja sama Dosen Ray? Dasar, Terong busuk, bilang aja lo gak bisa buat jurnal sama makalah. Sini, gue siap jokiin tugas-tugas lo.” Amel menambahi, sedikit meledek Agung. “Jaga ya kata-kata lo berdua. Kalo kalian emang pinter, kita buktiin di akhir semester nanti, IPK siapa yang lebih tinggi,” sahut Agung, terpancing emosi. “Agung, udah. Gak usah diladeni.” Ana yang melihat perdebatan tersebut mulai cemas dan berupaya menengahi, begitu juga dengan Roy dan Dinda. “Okay, siapa takut. Kalau IPK kita berdua lebih tinggi dari lo, lo harus jadi babu selama 1 semester penuh.” “Okay, gue terima tantangan lo.” Agung, Tasya dan Amel saling mengibarkan bendera perang. Mereka saling melempar tatapan nyalang yang penuh akan kebencian. Tidak sampai di situ, mereka kembali adu mulut setelah 2 SKS mata kuliah selesai dilaksanakan. Ketiganya bahkan tidak peduli dengan jam istirahat yang baru saja masuk sekitar 5 menit yang lalu. Di bangku yang sama, Ana merogoh tas kecilnya saat merasa ponselnya bergetar. Gadis dengan rambut dikuncir satu itu langsung mengecek dan membaca pesan masuk tersebut yang ternyata dari Ray, suaminya. Datang ke ruangan saya sekarang! Lima kata itu berhasil membuat Ana mengernyit dan bertanya-tanya kesalahan apa lagi yang telah ia lakukan sehingga Ray memanggilnya ke ruangan. Ada sedikit rasa kesal hinggap di hati Ana karena sikap Ray yang jauh berbeda dalam memperlakukannya. Pria itu seperti dua orang yang berbeda, tidak seperti Ray yang ia kenal tiga hari terakhir. Tidak ingin mendapat masalah lebih besar, Ana buru-buru merapikan buku-bukunya dan bergegas meninggalkan kelas. Ia sempat menarik Agung sebelum pergi meninggalkan kelas agar pria itu mau ikut ke kantin bersama Dinda dan Roy supaya perdebatan mereka dengan Tasya dan Amel selesai. Berpisah di lorong dengan teman-temannya, Ana kini berada tepat di depan ruangan Ray yang tertutup rapat. Gadis berkemeja biru muda itu tampak bimbang untuk masuk atau tidak ke ruangan tersebut. Ana bukan tipikal mahasiswi yang mudah akrab dengan dosen. Ia juga tidak pernah masuk sendirian ke ruangan dosen atau guru manapun selama menempuh pendidikan, sehingga ia lumayan kelimpungan saat harus masuk sendirian tanpa ditemani oleh siapapun. “Apa sebaiknya gue ajak Dinda ya biar dia nemenin gue ketemu? Tapi, gimana kalo Ray gak setuju gue bawa temen? Apa sebaiknya gue minta izin dulu?” Ana menghentak-hentakkan ujung sepatu kanannya ke lantai, mengalihkan rasa cemas yang mulai menggerogoti dirinya. “Ayolah, Ana. Dosen yang mau lo temui ini Ray, suami dadakan lo. Dia gak akan sekiller itu sama lo. Untuk apa lo takut?” gumam Ana seraya menunduk memperhatikan ujung sepatunya yang mungkin jauh lebih menarik ketimbang bertemu dengan Ray. Ceklek! Suara gagang pintu diputar terdengar, diikuti dengan terbukanya pintu berukuran besar dan tinggi di hadapan Ana, membuat gadis itu kembali mengangkat kepalanya. Di ambang pintu itu, Ana melihat sosok dosen cantik yang ia ketahui digadang-dagang sebagai kekasih Dosen Ray. “Miss Rahel,” sapanya kemudian setelah sadar dari keterkejutan. “Kamu mau ketemu sama Dosen Ray?” “Iya, Miss.” Ana tersenyum simpul membalas senyuman miss Rahel. Ia tidak tahu apakah dosen itu mengenalnya atau tidak. “Ya sudah. Silahkan masuk.” “Baik, Miss.” Dosen muda itu tidak lagi menyahut, dan Ana menatap kepergian wanita itu dengan raut datar yang sulit untuk dijelaskan. “Ada urusan apa Miss Rahel dengan Ray?” gumamnya, tanpa mengalihkan pandangan dari punggung dosen cantik yang mulai menjauh itu. “Hanya urusan pekerjaan.” Ana refleks menoleh, memutar tubuhnya dan mendapati Ray yang sedang berdiri di ambang pintu. “Cepat masuk,” suruh pria itu. Ana langsung melakukan instruksi Ray dan melewati pria itu begitu saja. Tatapan Ana tidak lepas dari sosok Ray yang kini sedang menutup pintu dan memutar benda kecil yang menempel di sana. “Kenapa pintunya di kunci?” tanyanya, bingung, tapi Ray tidak menyahut. “Ray, kenapa pintunya di kunci? Kalau ada yang mau masuk gimana?” tanya gadis itu, lagi. Ray yang telah selesai mengunci pintu bergegas mendekati Ana dan menuntun gadis itu untuk duduk di sofa empuk yang ada di ruangannya seraya berujar, “Justru karna saya takut ada yang tiba-tiba masuk makanya saya kunci. Kamu tenang aja, ruangan ini aman dari segala hal.” Ana bungkam, membiarkan tubuhnya duduk dengan santai dan memperhatikan Ray yang berjalan menuju meja kerjanya lalu kembali ke sofa. “Saya akan temani kamu makan,” ujar pria itu setelah meletakkan dua bungkus makanan di atas meja. Ana yang mendengar hal itu seketika mengernyit. “Tapi bekalku masih di kelas.” “Biarin aja. Saya udah beliin kamu makanan yang tadi pagi kamu bilang pengen kamu coba,” tutur Ray seraya membuka bungkus makanan di depannya. Ana terdiam, tidak menyangka Ray akan mewujudkan keinginan sederhananya yang tadi pagi sempat ia ucapkan saat mereka dalam perjalan menuju kampus. “Aaaa ….” Ana mematung dan pasrah saat Ray mulai menyodorkan sendok dan menyuruhnya untuk membuka mulut. Apa ini benar Ray yang mengajar di kelas gue tadi pagi? batin gadis itu, kembali merasa canggung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD