3. Is It A Hobby Of Yours?

1392 Words
"Pak, Bapak bercanda kan?!" Vanilla sampai menumpuhkan telapak tangannya di meja kerja Kala, membuat lengannya tegang dan seolah menantang sang bos. Namun, Kala tidak mempermasalahkannya. Dia tidak sekejam itu. "Kamu gak bisa meminta perusahaan memaklumi urusan pribadi. Setiap orang memiliki kehidupan personal, tapi jangan sampai mengganggu waktu kerja. Itu yang dinamakan tanggung jawab." Vanilla cuma bisa tertegun, lagi gini dia masih sempat-sempatnya ngomongin tanggung jawab. Kerja jam 8 sampai 6 sore apa gak cukup menunjukkan kalau Vanilla orang yang loyal pada perusahaan. "Silahkan kembali bekerja. Besok saya membutuhkan laporannya, Gani." Salah, sungguh salah berfikir kalau Kala orang yang pengertian. Dibalik kata-kata manisnya, dia cuma mementingkan dirinya dan perusahaan. Vanilla meradang, wajahnya mungkin memerah karena marah. "Vani! Vanilla, bukan Gani!" Wanita itu sampai mengepal kedua tangan dan sejajar dengan pipinya. "Bapak bisa mengingat isi kontrak kerja saya. Tapi nama saya saja Bapak lupa," lanjutnya lagi masih menggebu. Kala sendiri tidak tahu apa masalahnya salah panggil. Toh, di sini mereka cuma berdua. Apa Vanilla juga gak mau meresponnya jika dipanggil, "Heh!" Kala menghembuskan nafas. Dia ingin mengatakan lagi, apa itu efisiensi kerja. Intinya kalau masih bisa dikerjakan cepat, mengapa membuang waktu yang sudah Tuhan berikan. Tidak, tidak. Itu tindakan yang kurang arif. Sayangnya Vanilla gak mau mendengarkan. Dia mengambil lagi cangkir kopinya membuat Kala melotot keheranan. "Saya lupa pakaikan gula," ucapnya, bohong. Justru Vanilla mau memasukkan garam ke kopi Kala. Biarkan saja dia marah, Vanilla gak peduli. Sampai di pantry. Tanpa segan Vanilla memasukkan satu sendok penuh garam sambil tertawa jahat. "Apa habis ini kamu masih mau salah panggil nama aku." Vanilla yakin. Sehabis minum Kala gak akan melupakannya seumur hidup. Vanilla membawa cangkir kopi yang sudah dimodifikasi itu. Yah, gimana lagi. Namanya bawahan. Dia harus siap melayani sang atasan termasuk menyetujui ide gilanya buat lembur setiap hari. "Diminum, Pak!" Sebelum pergi ke ruangannya. Vanilla mau melihat reaksi Kala. Dia jadi mematung di sana. "Letakkan saja di sana, Dani." Vanilla menepuk jidatnya keras. Tolong jangan pernah ganti huruf depan dengan M. Bisa gawat dibaca anak-anak unyu. "Terserah Bapaklah!" sungutnya seraya berlalu. Kala memandang kopi yang Vanilla buat. Dia jadi ingin meminumnya. Baru mengangkat cangkir perasaannya gak enak. Jika diingat lagi, tadi sepertinya Vanilla sedang marah sekali. Apa karena disuruh lembur. Kala menghembuskan nafas lantas meletakkan cangkir kopi ke tempat semula. Dia ingin menelpon layanan antar makanan. Kala mau membelikan Vanilla burger dan segelas milkshake. Mungkin itu cukup untuk membalas kebaikannya membuatkan Kala kopi tanpa diminta. Tak lama pesanan Kala sampai, karena Vanilla ada di depan telepon. Dia lebih mendengar suara panggilan dari sekuriti bawah. "Aiissh, apa lagi, sih?!" Vanilla jadi sangat sensitif karena pekerjaannya yang menumpuk. Dia mengangkat gagang telepon ogah-ogahan. "Halo!" "Bu, ada makanan buat Pak Kala di bawah," info sekuriti. Vanilla kembali tanya, "Berapa porsi?" Kalau cuma beli satu mending dia pura-pura gak tahu saja. Biar Kala sendiri yang ambil. "Kayaknya sih ... cuma satu porsi, Bu." Tuh kan kejamnya tuh kelewatan. Dipikir dia doang yang punya lambung. Vanilla mencibik. Pokoknya dia gak mau ambilin makanan Kala. Biarkan saja, memangnya dipikir enak naik lift lantai 11 sampai lantai bawah lalu kembali lagi, ke ruangan mereka bekerja. Namun, lama kelamaan, Vanilla kepikiran juga. Gimana kalau Pak Kala makin ngada-ngada karena lapar. Katanya kan ... orang bisa jadi galak kalau lapar. Iih, serem deh! Akhirnya dengan langkah berat Vanilla turun ke lantai bawah. Suasana kantor yang sepi membuat buluk kuduknya berdiri. Vanilla memeluk tubuhnya juga bergidik. Namun, seseorang mengagetkannya "Vanilla!" tegur Justin. Pria itu ternyata juga belum pulang kantor. "Lho, Bapak," gumam Vanilla. Berbeda dengan Kala. Vanilla memiliki penilaian yang baik untuk head of management itu. Meski dia masih muda, tapi Justin selalu inovatif. Terutama dia manusiawi. "Saya yang harusnya heran. Kenapa selarut ini kamu masih ada di kantor?" Perjalanan dari lantai 11 sampai lantai 1 jadi sangat menyenangkan setelah banyak mengobrol dengan Justin di dalam lift. Yah, meski Vanilla tidak bisa mengutarakan uneg-unegnya ke Justin. Dia hanya bilang, sedang lembur, waktu Justin tanya alasannya masih di kantor. Setelah keluar lift, lelaki itu lebih dulu jalan. Vanilla mengerti semua karena Justin tidak ingin dianggap akrab dengan salah satu karyawan lantas pandangan orang jadi berubah dengannya. Vanilla tahu dari gosip yang melibatkan temannya--Melinda, waktu itu tersiar desas-desus jika Melinda dekat dengan Justin. Tapi Justin langsung menegur para penyebar gosip dan tidak mau disebut begitu. Justin cuma takut, seandainya Melinda naik jabatan nanti dikira, karena dia melobby manajemen. Sikap Justin itu sungguh gentleman di mata Vanilla. 'Atasan yang keren tuh kayak gini. Bukan kayak Kola-Kola.' Peduli apa, toh. Kala yang lebih dulu suka salah sebut namanya. "Saya duluan ... ." Meski tak sehangat seperti waktu di lift, tapi Justin tetap berpamitan pada Vanilla. Vanilla hanya mengangguk sambil mengambil makanan. Karena gak fokus, makanannya jatuh sampai isinya keluar dari kantong. "Ahk!!" Buru-buru diangkatnya. Belum 5 menit. Tatapan Justin jadi memincing sayangnya dia terlalu tak acuh menanggapi keteledoran Vanilla. "Yah, Mbak gimana. Jatuh," kata Pak Sekuriti. Vanilla memintanya diam. Selama gak ada yang bilang ke Kala, laki-laki itu gak akan tahu kan makanannya sempat jatuh ke lantai. Vanilla segera kembali ke ruangan. Dia gak mau semakin menggerus waktu. Bisa pulang jam berapa dirinya kalau terus di sini. "Kayaknya besok-besok aku harus bilang deh ke Pak Kala, jangan suka pesen makanan pas OB sudah pulang. Aku juga kan yang ketempuan. Tapi untung saja aku bertemu Pak Justin. Yah ... minimal aku agak terhibur," senandikanya sampai di depan ruangan Kala. Vanilla gak lagi mengetuk pintu ruangan Kala. Dia gak takut. Tapi gimana kalau seandainya Kala sedang bertelanjang d**a? "Pak, ini makanannya." Vanilla ingin kembali ke ruangan tapi Kala menahannya. "Tunggu, Vani!" "Apa lagi, sih, Pak!!" Vanilla sampai menyeret ucapan. Meski sekarang agak lega karena pria itu gak salah sebut lagi. "Saya cuma mau bilang, kalau makanan itu untuk kamu. Saya sengaja pesan buat kamu," terangnya, dengan wajah tanpa dosa. Sesaat Vanilla mengingat kembali kejadian tadi. Padahal hampir saja ia mau menginjak burgernya. Tapi ternyata ... . "Buat saya, Pak?!" Vanilla terperangah. "Iyah, karena kamu sudah membuatkan saya kopi," lanjut Kala. Vanilla melirik ke cangkir itu. Masih utuh, pantas dia gak keluar tanduk dan malah baik banget. Tapi, kok. Jadi merasa bersalah gini, sih. "Saya sudah kenyang. Buat Bapak saja." Vanilla menolak dengan santun. Sayangnya Kala tidak terbiasa makan malam. Dia hanya makan di bawah jam 6 sore karena itu bentuk tubuhnya sangat proposional. "Kamu saja yang makan. Saya tahu, kamu suka cheese burger kan?" Ada saatnya, Kala bisa sangat memperhatikan tapi disaat yang lain, dia bisa sangat tidak peduli. Tepatnya, hanya orang-orang yang menarik di matanya yang bisa membuatnya mengeluarkan sisi perhatiannya. Kala ingat, waktu masih di luar negeri dan mereka meeting online. Vanilla tetap memakan burgernya meski sedang bertatapan muka. Apa wanita itu lupa kalau dia sedang mengaktifkan kamera. Tapi yang jelas, Kala gak bisa lupa sama suapan Vanilla yang besar itu seolah-olah ikut memakan Kala. Vanilla mengambil bungkus burger kembali. Dia merasa tangannya sangat berat bagai memikul beban puluhan kilo. Otaknya sedang berfikir, gimana setelah Kala menyicipi kopi itu. Apa dia juga mengambil kembali burger yang ada di tangan Vanilla. Tapi, kok ... dia merasa itu pantas dilakukan oleh Kala. "Biar sekalian saya buatkan kopi yang baru. Kopi ini sudah dingin," dalihnya. Kala menggeleng. Dia gak masalah minum kopi dingin. Lagi kan mubazir. Vanilla tidak bisa lagi berkelit. Ah,ya. sampai lupa, Kala juga orang yang paling efisien. bukannya pelit hanya tahu bagaimana caranya memakai seluruh miliknya dengan baik dan jauh dari kata sia-sia. Seperti Vanilla contohnya. Mentang-mentang punya sekretaris, Kala memakainya 1x24 jam full. Sampai rumah pun biasanya Kala bisa menelpon Vanilla sekedar mengecek email atau sebagainya. Vanilla jadi sebal kembali. Sudahlah, memang dia mau keluar kerja kan. Ngapain juga mikirin. Buat burger ini, namanya juga perusahaan memakai tenaganya sampai malam. Wajar dong, kalau Vanilla diteraktir makan. Vanilla sudah ada di meja kerjanya. Setiap 1 menit dia selalu melirik ke ruangan Kala. Semakin lama pria itu menenggak kopinya. Semakin tersiksa juga Vanilla. "Lo, sih ... pakai acara ngerjain Pak Kala," runtuk Vanilla sendiri. *** Di dalam mobil, Justin terus mengingat kecerobohan Vanilla. Bukankah itu cukup fatal untuk orang dengan status sekretaris direktur operasional. Dia memang tidak tahu, makanan itu untuk siapa, tapi kemungkinan besar untuk Kala. "Heh, bodoh," kutipnya sambil mengelus rahang tegasnya. Sepertinya Vanilla bisa menjadi celah untuknya menjatuhkan Kala. Ini akan menarik, mengetahui rahasia Kala dari sekretarisnya yang ceroboh itu. Justin yakin, dia bisa mempengaruhi Vanilla. "Kalau perlu! Aku akan menjadi kekasihnya demi menjatuhkanmu, Kala."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD