5. Penjahat Sesungguhnya

1529 Words
"Ganteng gimana?" Senja kembali tanya seraya mendekat. Wajahnya menyiratkan rasa penasaran. Rasanya, tak sulit mengenang Kala. Karena dia punya wajah bersinar yang sulit dilupakan. "Mata jernih tapi juga tegas. Di atasnya ada alis menggunung dengan ujung sedikit lancip," beber Vanilla masih tersenyum. Seperti sedang menggambar di atas kanvas. Senja mencoba mengumpulkan informasi dari Vanilla dan melukis dalam benaknya. "Hidungnya mancung dan bibir sedikit pecah delima," tambahnya. Kala memiliki bibir bawah yang terbelah, setiap orang pertama melihat akan selalu tertuju ke sana. Itu bisa disebut daya tariknya. Dari anak muda sampai ibu-ibu tidak ada yang tidak suka dengan birainya itu. Senja ikut menerawang matanya menerjap perlahan. Kenapa ciri-cirinya hampir mirip dengan pemuda yang menolong Vanilla waktu itu. Senja jadi makin penasaran. "Kakinya pincang, bukan?" tebaknya. Vanilla menyeritkan kening. Mana ada Pak Kala pincang. Selain tampan dia dianugerahi tubuh kokoh dengan tinggi di atas 180 cm terselimuti kulitnya yang halus. Sebuah ciri-ciri anak orang kaya gak pernah hidup susah. Cuma senangnya bikin orang susah. Ck! Senja menapik pikiran tersebut. Sudahlah, di dunia ini juga kan banyak orang yang punya kemiripan. Lagipula dia gak mau membahasnya takut Vanilla jadi terkenang kembali. Senja memeluk Vanilla dari arah samping. "Syukurlah kalau ternyata kamu gak punya pacar. Aku sempet takut tau!" Rangkulannya semakin erat. Namun, Vanilla memberontak. "Emangnya kenapa kalau aku punya pacar?" Vanilla protes. Seingatnya dia tidak pernah berencana jomblo seumur hidup. Senja mengulum senyumnya. "Ya karena aku belum punya pacar. Masa kamu duluan!" sungutnya mengalihkan kenyataan. Senja hanya ingin menutupi rahasia itu selama mungkin. *** "Ahk, Pak!" Seorang wanita mendesah ragu. Dia mengigit bibir bawah mencoba menahan gempuran sentuhan nakal dari pria di belakangnya. Jemari pria itu menelusup dari curuk leher lantas mengitar dan meraup pipi milik si wanita dengan gemas. Dia juga membalikkan tubuh wanita itu. Mulai meraba bibir bawah Melinda menggunakan telunjuknya. Pria itu terlihat senang mempermainkan Melinda. Melinda menatap ke arah mata Justin, bosnya di perusahaan juga pemilik tubuhnya yang sintal. Melinda harus rela diperlakukan seperti itu. Semula sebagai syarat, agar dia diterima menjadi karyawan tetap. Melinda sangat menginginkan posisi karyawan pabrik tanpa perlu bersusah payah menunggu pihak atasan mengevaluasi hasil kerja. Baginya melewati proses alami hanya memakan waktu. Miris, dia gak punya hal lain yang bisa ditawarkan kepada Justin selain dirinya sendiri. Obsesi membawanya ikhlas menggadaikan harga diri sebagai wanita bebas. Justin tidak kuasa menatap bibir Melinda lama-lama. Justin langsung meraih dan melumatnya secara beringas. Dia juga menelusupkan lidahnya ke dalam mulut Melinda. Melinda menjerit dalam hati, dia tidak sanggup lagi. Justin selalu meminta bagiannya hampir setiap hari. Biasanya mereka melakukan hal tersebut di ruangan pria itu atau di ruang rapat sekali pun. Hanya, Melinda menolak jika Justin menggagahinya di tempat umum. Di mana bisa siapapun masuk dan memakai ruangan itu. Tidak, dia gak mau terpergok oleh Kala atau rekan lain. Melinda masih wanita timur yang punya malu. "Katakan. Apa kau masih menolakku karena bocah tengik itu?" Justin mengapit rahang Melinda diantara kedua jarinya. Dia sangat marah ketika Melinda menolak dengan alasan tidak enak dengan Pak Kala. Hal lumrah yang gadis itu katakan ternyata menjadi sumbu api. Cepat membakar batin Justin. Melinda tidak tahu, jika kehadiran Kala menjadi momok menakutkan untuk Justin. Sedikit saja orang lain membahas pria ingusan itu. Justin akan sangat murka bagai monster. Melinda berusaha menggeleng kuat. Air matanya jatuh. Dia sangat takut dengan Justin. Keputusannya menjadi pemuas nafsu mungkin hal paling bodoh yang pernah dia ambil. Tatapan Justin bagaikan iblis, pria itu menyeringai puas. Kemudian melemparkan pipi Melinda yang dikaitkan. Tangannya mendorong bahu Melinda supaya bersimpuh di depannya. Gegas, Justin meminta Melinda memohon ampun padanya. Melinda melakukannya. Apa yang dikatakan Justin seperti sebuah perintah suci yang mengharuskan dia untuk menyetujui tanpa berfikir bisa menolak. Ketika Melinda telah memohon ampun sembari menangkup tangan, Justin mengambil botol bertuliskan Vodka dengan kadar alkohol yang tinggi. Pria itu sudah gila, meminta Melinda menenggak cairan haram itu disaat jam kerja. Jika ada yang mencium aromanya, apa yang akan mereka katakan tentang Melinda. Apa nantinya justru Melinda dipecat karena ketahuan bersikap tak baik di tempat kerja. Akan tetapi, semua penyanggakalan tak bisa Melinda ungkapkan. Karena lagi-lagi Justin punya kuasa terhadap dirinya. Justin tetap memaksa Melinda meminum dari botol di tangannya. Posisi Melinda yang bersimpuh memudahkan Justin memasukkan ujung botol ke mulutnya. "Minum!" Justin memerintah dengan bentakkan. Melinda gelagapan. Dia berusaha menahan bibirnya tapi Justin terus mendorong botol. Di luar, Kala kebetulan lewat. Dia memandangi ruangan Justin sesaat, bibirnya mendesah. Kala rasa, dirinya harus cepat melenyapkan parasit itu. Tentunya dengan alasan yang logis. Kala mengetuk karena ingin meminta laporan dari Justin. Ini saja sudah satu kebaikan yang dia lakukan. Di mana lagi mendapat atasan yang turun tangan langsung untuk mendapatkan laporan dari bawahannya. Seharusnya Justin tahu diri, dia tidak sehebat itu sampai berpikir perusahaan sangat membutuhkannya. Beberapa hari Kala lembur demi mengecek hasil kerja Justin dan dia lebih banyak kecewa dengan keputusan yang pernah pria itu ambil. Justin menyeringai di dalam otak liciknya. Melihat Melinda tersiksa menjadi pemandangan luar biasa untuknya. Tetapi tiba-tiba seseorang mengetuk pintu hingga tangan satunya meninju tembok kencang. Sedang satu lagi, menjambak rambut Melinda keras. Melinda juga mendengar, dia jadi gugup dan tidak sengaja memuntahkan air yang sempat masuk ke mulutnya. "Aahhk, Sialan," pekik Justin tanpa sadar. Kala merasa ada seseorang yang berbicara kasar. Tapi dia tidak jelas mendengar isi perkataannya. "Pak Justin, tolong buka pintunya!" Peringatan Kala dengan suara tegas. Melinda semakin ketar-ketir itu Pak Kala, bagaimana ini. Dia inginnya menyudahi kegiatan menyiksa itu. Tapi Justin tidak pernah mau mengalah padanya. "Abaikan dia!" Benarkan, dia bahkan menyuruh Melinda tidak memperdulikan Kala. Kala menarik nafas dalam. Dia sebenarnya kesal karena Justin membuatnya tidak bisa tidur selama dua hari. Rasa lelah teramat ditambah dengan sikap buruk Justin, sungguh seakan sedang melatih kesabaran anak muda itu. "Pak. Saya tahu anda di dalam. Jadi tolong buka pintunya. Ada yang ingin saya bicarakan." Suara Kala semakin lantang. Semua orang yang ada di lantai itu jadi menoleh ke arahnya. Kala tersenyum tipis lantas berdehem agar yang lain tetap bekerja seperti biasa. Dia gak suka berbuat keributan meski sejatinya dia layak untuk itu. Justin menarik rambut Melinda. Sampai kepalanya mendongak. Tetesan cairan yang tersisa masih memenuhi bibir hingga meleleh ke dagu. "Telan," desis Justin diangguki Melinda. Tidak sampai di sana. Justin menekan rahang Melinda. Karena kalap, Melinda menelan langsung segera. Dia bergidik merasa pahit tapi Justin tidak peduli. Dia akan selalu melakukan hal yang disukai, termasuk perbuatan tidak bermoral kepada karyawannya. Terutama orang yang lebih mendukung Kala, bukan dirinya. "Jangan pernah kau ucapkan nama lelaki itu dengan bibirmu ini!" Telunjuknya melap sisa-sisa cairan yang masih ada. Justin kembali merapikan setelannya. Untuk Melinda, Justin mengkode agar wanita itu mencari tempat persembunyian. Setelah yakin, dia membuka pintu seolah tidak terjadi apapun. Justin menepuk bahu Kala seakan akrab. Tetapi mata Kala memincing tak senang. Dia gak suka seseorang memegang tubuhnya sembarangan. Kala menderita germaphobia, hingga selalu takut dan jijik tubuhnya terkontiminasi atau terinfeksi hal-hal yang bersifat kotor. Apalagi bau Justin saat ini tidak sedap. Kala tahu ini bau alkohol dan rasanya dia mengerti mengapa Justin tidak bisa bekerja dengan benar. Kala berdehem seraya menggoyangkan bahu. Justin yang sadar segera mengangkat tangannya. Ketika yang sama, Melinda merasa ingin muntah. Dia sudah menahan sekuat mungkin namun akhirnya tak kuasa menunjang isi perut, seakan terus bergejolak di dalam tenggorokan. Jika dirinya memuntahkan semua di ruangan Justin yang ada pria itu memenggal kepalanya. Akhirnya Melinda keluar senormal mungkin. Dia mengangguk ke arah Kala. Untuk Justin, Melinda tidak berani menatap. Kala memandang Justin dengan tatapan minta penjelasan, tapi Justin terkekeh. "Ahaha, tadi Bu Melinda baru saja memberikan laporan ke saya. Maka itu, saya terlambat membukakan pintu," alibinya. Pasti tidak bisa Kala terima begitu saja. Kalau memang sedang membahas pekerjaan, kenapa dia tidak dilibatkan. Kala salah satu direktur di sini. Semua hal tentunya harus didasari atas persetujuannya bukan seolah ditutupi. Kala menggeleng, memutuskan pergi dari pria pembual itu. Dia lebih butuh bicara dengan Melinda sembari menenangkan diri. Walau sesaat, Kala bisa melihat pipi Melinda memar kebiruan. Dia menunggu di pantry samping toilet. Ketika Melinda keluar, Kala menghampirinya. "Ada apa. Apa yang terjadi dengan anda?" Matanya menyiratkan rasa cemas. Kala tidak suka melihat wanita disakiti. Melinda tidak ingin menatap balik Kala. Dia menunduk, sesekali melirik ke arah lain seakan lebih penting daripada membalas pertanyaan Kala. Sungguh, dia sebenarnya tidak ingin Kala tahu, Melinda menghormati Kala sebagai atasan sebenarnya. "Pipi anda terluka." Suara Kala melunak. Dia mencium aroma Melinda sama dengan Justin. Namun, cara Kala memandang sikap dua orang itu pastinya berbeda. Karena tidak mendapat jawaban dia membongkar laci pantry. Setahu Kala, setiap lantai terdapat pantry juga dilengkapi kotak P3K. Kala tersenyum, perkiraannya tidak salah. Di kotak itu ada obat merah dan kapas. Dia membalurkan obat merah ke kapas dan memberikan ke Melinda. "Obati dulu dengan ini. Anda bisa bicara kepada saya saat siap," tuturnya. Kala berniat pergi, tapi Melinda bergumam, "Terima kasih, Pak. Tapi tidak ada apapun yang terjadi pada saya. Saya baik-baik saja. Memang tadi sempat terjatuh sampai pipi saya lebam begini. Tapi gakpapa, kok, Pak." Melinda mengatakan dengan tangan meremas kapas kuat. Sedang matanya terlihat mau menangis. Jadi bagaimana bisa Kala percaya semudah itu? Apa ada, orang terjatuh, lantas menyebabkan lebam bergalang jari? Kala mengangguk. Semata hanya tidak ingin membuat air mata yang berusaha Melinda tahan di depannya jadi luruh membasahi pipi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD