Setelah pengakuan kemarin malam, Vanessa tidak bisa tidur karena memikirkan itu. Bahkan ia mengalami insomnia parah sampai matanya hanya bisa tertutup saat waktu menunjukkan pukul 5 pagi. Itulah yang membuatnya bangun sekitar jam 12 siang dan melewatkan sarapan.
Saat bangun, hal pertama yang dilihatnya adalah James. Calon tunangannya itu berdiri di balkon kamarnya dengan tangan yang memegang secangkir minuman.
Vanessa pun bangkit dan menyapanya dengan lembut. "Kapan kau datang?"
James langsung membalikkan tubuhnya dan menjawab, "Sejam yang lalu."
"Aku sudah lama tidak melihatmu."
"Me too," jawab James, kemudian berjalan ke arah Vanessa dan memeluk gadis itu dengan erat. "Aku hanya sebentar di sini, setelahnya aku harus kembali ke Inggris."
"Apa terjadi sesuatu?" tanya Vanessa cemas.
James tersenyum sambil duduk di sisi ranjang Vanessa. "Ada sedikit masalah di perusahaan, tapi tenang saja aku akan menyempatkan---"
"Aku juga harus ke Indonesia."
James mengerutkan keningnya. "Indonesia?"
Vanessa menganggukkan kepalanya. "Liburan semester sudah dimulai, dan aku harus pulang untuk menemui orangtuaku."
"Kau benar," ujar James. "Aku juga belum menemui mereka. Lain kali pulanglah ke Indonesia denganku."
Vanessa kembali menganggukkan kepalanya.
"Apa kau akan pergi berdua saja dengan Rafael?"
"Tidak, akan ada beberapa pengawal lainnya."
Terdengar helaan napas James yang lega. "Syukurlah, kau harus selalu terlindungi," ujarnya sambil mengusap tangan puncak kepala Vanessa.
TOK TOK
Bertepatan dengan itu, suara ketukan pintu terdengar dan membuat mereka berdua menoleh ke ambang pintu. Di sana, sudah berdiri Rafael yang membawa sebuah nampan berisi segelas s**u dan pancake.
"Rafa, aku bisa makan di bawah," ujar Vanessa seraya bangkit dari tempatnya tidur dan berjalan ke arah Rafael untuk mengambil nampan itu.
"Tapi kau ambil juga nampannya," balas Rafael dingin.
Vanessa mendecak dan membawa nampan itu ke meja kecilnya, lalu menyantapnya di sana. Sekarang ia benar-benar lapar karena terlambat bangun.
"Yang Mulia, anda dipanggil Jayden."
Vanessa menolehkan kepalanya ke arah James yang tampak memasang wajah tak sukanya kepada Rafael. Akan tetapi, lelaki itu tetap bangkit dan pamit kepada Vanessa. Sedangkan Rafael, lelaki itu berjalan ke arahnya dan duduk di depan Vanessa.
"Apa kau melakukan sesuatu yang membuat James kesal?" tanya Vanessa dengan pandangan menyelidik.
Rafael tersenyum. "Apa aku terlihat senang mengganggunya?"
Vanessa kemudian mengembuskan napasnya dan memotong pancake-nya dengan kesal, lalu memberikannya dengan paksa kepada Rafael. "Hanya kau satu-satunya orang yang sama sekali tidak menghormatinya."
"Lagipula kenapa aku harus menghormatinya? Dia tidak melahirkanku."
"Setidaknya kau harus punya rasa hormat terhadap keluarga kerajaan."
"Tidak Vanessa. Dia bahkan tidak membuat perubahan apa pun pada dunia. Itu hanyalah keberuntungannya karena dilahirkan di keluarga kerajaan."
Vanessa mengembuskan napasnya seraya berkata, "Terserah kau saja."
"Omong-omong, aku ke sini ingin menagih sesuatu darimu."
Kening Vanessa berkerut ketika ia sedang meminum susunya. "Menagih? Apa aku pernah berutang kepadamu?"
Tiba-tiba saja Rafael tersenyum dan tangannya beralih ke bibir Vanessa untuk membersihkan s**u yang menempel di bibirnya. "Semalam kau belum mengatakan apa pun setelah pernyataan cintaku. Aku tidak bisa tidur karena itu."
"Me-memangnya apa yang harus kukatakan?" tanya Vanessa gugup.
"Apa kau juga menyukaiku?"
Vanessa menelan ludahnya ketika Rafael secara langsung menanyakan hal itu. Ia sendiri tidak tahu harus mengatakan apa karena ini semua belum pasti. Akhirnya Vanessa memilih untuk menyeruput susunya lagi dan membuat Rafael menunggu jawabannya.
"Ane?"
"Apa aku terlihat menyukaimu?" tanya Vanessa.
Rafael tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Itu tentu saja mengejutkan Vanessa. Bagaimana bisa Rafael menyimpulkan hal itu ketika perasaannya saja belum jelas.
"Percaya diri sekali," seru Vanessa, kemudian melanjutkan sarapannya. Pancake ini benar-benar enak. Sangat berbeda dengan masakan pembantunya di sini.
"Pancake itu, aku yang membuatnya. Karena kau sudah memakannya, itu berarti kau menerimaku."
Saat Rafael mengatakan itu, Vanessa tertawa renyah, kemudian ia mendorong piring pancake itu kepada Rafael. "Aku sudah kenyang."
Lalu ia bangkit dari kursinya dan berjalan keluar dari kamar untuk menemui Jayden yang akan segera berangkat ke Madrid.
???
Setelah kepergian Jayden dan James, akhirnya Rafael berdua lagi dengan Vanessa. Disaat gadis itu sedang mandi di kamarnya, Rafael pergi ke kamarnya dan membuka kamar rahasia yang dibuatnya.
Ia memasuki kamar itu dan segera duduk di meja kerjanya untuk menyelesaikan puzle yang ada. Ia harus sebisa mungkin mencari faktanya dari petunjuk yang ia dapatkan. Sehingga, dengan begitu, keselamatan Vanessa akan cepat terjaga.
Bertepatan dengan itu, sebuah pesan dari Victor muncul.
Victor: Aku sudah mengirimmu sebuah email. Itu adalah daftar orang yang menemui Yakuza bulan ini. Kau akan terkejut saat melihatnya.
Dengan cepat Rafael membuka file itu dan membacanya dengan saksama. Ada beberapa nama yang tidak Rafael ketahui, tapi dua nama di antara daftar itu berhasil menarik perhatian Rafael.
27. Franklin Velasco
28. Leonard Gianno
Franklin bertemu dengan Yakuza lagi. Itu bisa dipastikan bahwa mereka memang benar bekerjasama, sedangkan untuk Leon, kenapa ia harus menemui Yakuza ketika dirinya bekerja untuk Snaker?
Ini semua benar membuatnya pusing.
"Apa ruangan ini tidak terlalu gelap?"
Rafael terkejut oleh sebuah suara yang dikenalinya. Ia mengerutkan keningnya dan bertanya, "Ane, apa yang kau lakukan di sini?"
Rafael melihat Vanessa yang dengan mudahnya masuk ke ruangan rahasinya dan melihat sekitarnya dengan pandangan tertarik.
"Seharusnya aku minta Daddy membuatkanku ruangan seperti ini. Ini jauh lebih baik daripada gudang itu."
"Vanessa, ayo kita keluar," ujar Rafael dengan tangan yang berusaha menarik Vanessa, tapi gadis itu menolaknya.
"Bisa kau tutup pintunya? Aku tidak tahu caranya."
"Ane...."
"Ada yang ingin kukatakan."
Saat itulah Rafael menyerah. Ia menghela napasnya dan berjalan untuk menutup pintu rahasianya. Saat dirinya akan kembali kepada Vanessa, gadis itu sudah duduk di kursinya sembari memeriksa dokumennya.
Rafael buru-buru berlari, menarik tangan Vanessa dan menindihnya ke tembok dengan keras.
"Sebenarnya apa yang kau sembunyikan?"
Pertanyaan yang Vanessa ajukan itu membuat Rafael diam. Bagaimana bisa ia mengatakan kepadanya jika hal yang ingin ia sembunyikan selamanya adalah perihal pekerjaannya. Vanessa akan menganggapnya monster.
"Kau tahu, dengan kau bersikap seperti ini, aku menjadi semakin penasaran."
"Lelaki misterius sangatlah menarik," timpal Rafael. Kemudian ia menjentikkan jarinya tepat ke kening Vanessa. "Ini urusan orang dewasa, kau tidak berhak---"
"Apa kau seorang agen? Atau pernah bekerja di organisasi yang berbahaya atau---"
"Ane, tugasku hanya melindungimu."
Tepat saat itu Vanessa mengembuskan napasnya dan mendorong tubuh Rafael agar dirinya bisa bebas dari kekangan Rafael. Akan tetapi, Rafael dengan sigap kembali memblokir tubuhnya dan menampilkan senyum yang sangat hangat.
Vanessa hampir dibuat beku olehnya jika saja ia tidak sadar bahwa yang dihadapinya ini adalah Rafael. Buru-buru, Vanessa berkata, "Daddy menghubungiku tadi. Dia bertanya jam berapa pesawat kita besok?"
"Kau ingin berangkat jam berapa?"
"Berangkat jam berapa? Kau belum membeli tiket---"
"Aku berubah pikiran. Kita sebaiknya menggunakan pesawat pribadi. Aku tidak ingin mengambil risiko menggunakan pesawat biasa."
"Kau terlalu berlebihan, Raf," ujar Vanessa. "Lagipula aku sudah biasa menggunakan pesawat biasa dan itu baik-baik saja."
"Sekarang tidak lagi. Mereka bisa saja mencari informasi kita. Jadi, jam berapa kau ingin berangkat?"
"Secepatnya," ujar Vanessa. "Akan lebih baik jika tiba di rumah secepat mungkin."
"Baiklah, siapkan pakaianmu sekarang juga. Aku akan mengatur yang lainnya."
Vanessa menganggukkan kepalanya dan segera berjalan keluar, tapi ia seketika ingat alasannya ke kamar Rafael dan membalikkan dirinya menatap Rafael yang memandangnya dengan penuh tanda tanya.
"Ada apa?"
"Jangan menyukaiku." Perkataan Vanessa itu membuat Rafael semakin memandangnya dengan lekat. "Kau tahu aku akan bertunangan dengan James."
Rafael diam saja, tidak merespon apa pun dan tetap memasang wajah datarnya.
"Masih akan, kau bisa membatalkannya."
Vanessa menggelengkan kepalanya. "Aku dan James sudah dijodohkan sejak usiaku kecil. Perjodohan ini adalah keinginan terakhir Kakek dan aku janji akan melakukannya."
"Vanessa---"
"Jadi, aku mohon jangan menyukaiku. Itu hanya membuatku tidak nyaman."
Setelah mengatakan itu, Vanessa berniat untuk pergi, tapi Rafael langsung berlari mencekal tangannya dan tersenyum seolah keputusan Vanessa tidak membuatnya sakit hati.
"Kenapa kau selalu melakukan sesuatu yang tak kau sukai?"
Kening Vanessa berkerut. "Maksudmu?"
"Kau sekolah bisnis karena permintaan orangtuamu. Kau menyukai Barcelona dan syarat supaya kau di sini adalah mengambil bisnis alih-alih mengambil sekolah musik. Kau menyukai---"
"Kau tidak tahu apa pun," potong Vanessa. "Aku suka bisnis dan itu adalah keinginanku untuk mengambil jurusan itu."
"Tidak, Vanessa. Aku tahu semua hal tentangmu."
Karena merasa bahwa Rafael sudah banyak ikut campur, Vanessa melepaskan cekalan tangan Rafael dan mendorong tubuhnya.
"Kau juga tidak menginginkan perjodohan ini, kan? Jadi kenapa---"
Sekali ayunan, Vanessa berhasil menampar wajah Rafael dan berkata, "Kau sudah melewati batas, Raf."
Saat itu juga Vanessa pergi dengan kekesalannya dan berjalan cepat ke arah kamar. Setibanya di sana, ia menangis dan melihat lamat kedua tangannya. Vanessa tidak ingat apa pun kejadiannya, tapi karena suatu kecelakaan, ia mendapatkan luka yang besar di hatinya. Yaitu, ia harus menghentikan impiannya memainkan biola karena cedera di tangannya. Melihat bahwa bermain biola hanya akan menyakitinya membuat Vanessa menghentikan hobinya itu dan melepaskan keinginan untuk sekolah musik.
Vanessa bingung Rafael tahu dari mana, tapi perkataan Rafael membuat Vanessa kembali mengingat rasa itu. Vanessa ingin melupakannya, dan Rafael malah mengingatkannya lagi.