MINTA JATAH

1204 Words
"Bang Raffi, kenapa ngeliatin aku kayak gitu?" "Ya kamu pikir aja sendiri!" "Ish, Bang Raffi, tunggu!" Mutia mengejar suaminya tak mau pria itu memutar kursi roda dan meninggalkannya. "Minggir, Mutia!" Raffi yang masih dikendalikan oleh emosinya dia ingin sekali menyingkir dari Mutia. "Bang Raffi jangan marah sama aku dong!" Tapi istrinya memang tidak membiarkan itu terjadi. "Maaf Bang, kan semua ini kulakukan sup--" "Mutia kalau kamu ingat, dua hari yang lalu aku bilang di taman itu kalau aku yang akan mencari uang untuk biaya perbaikan kamar mandi dan lainnya, tapi kenapa kamu nggak mau denger? Dan kenapa maksain harus sekarang diperbaikinya?" "Maaf Bang." Memang ada kata lain yang bisa Mutia katakan pada suaminya selain permohonan maaf? "Lagian kamu sudah membelikanku tongkat dan aku bisa ke kamar mandi sendiri dengan itu!" "Bang, maaf, tapi enggak bisa, soalnya menurutku susah kalau mau--" "Aku tidak menyuruhmu untuk membantu membersihkannya Mutia!" lagi-lagi Raffi memotong ucapan Mutia. "Aku tahu itu menjijikan dan aku memang ingin berusaha membersihkannya sendiri!" "Bang Raffi, aku mohon jangan ngomong kayak gitu. Aku nggak jijik sama sekali." Mutia tak kuat kalau Raffi sudah marah begini dan mulai insecure. Yang ada matanya sudah berkaca-kaca sekarang. "Aku cuman pengen Bang Raffi bisa hidup enak di sini kayak di rumah almarhum Ayah. Itu aja yang aku ingin Bang!" bujuk Mutia, "aku nggak punya niatan lain-lain sama Bang Raffi. Maaf Bang, tolong jangan marah padaku. Aku nggak pengen ngehina Bang Raffi atau apapun. Aku hanya ingin nyenengin Bang Raffi aja." Mutia jujur dan dia mengatakan ini memang dari dalam lubuk hatinya. Lalu bagaimana Raffi bisa marah padanya kalau Mutia sudah seperti ini? "Mutia maafkan aku ya!" Raffi tak tega. Dia berusaha menarik Mutia dan membuat wanita itu duduk di pangkuannya, jelas membuat hati Mutia berdegup. “Tampan banget wajahnya. Duduk sedeket ini malah bikin gemes!” bisik hati Mutia yang akhir-akhir ini memang sering error memikirkan fisik suaminya yang memang sangat menggoda. Mutia yakin sekali kalau Raffi bisa jalan dia mungkin tidak akan pernah bisa menjadi istri Raffi. Bahkan Mutia selalu minder dengan warna kulitnya yang lebih gelap daripada Raffi. "Aku minta maaf seharusnya aku tidak marah-marah padamu!" Hampir saja mengagumi fisik suaminya membuat Mutia tidak fokus dengan yang dikatakan Raffi. "Tapi aku merasa aku rendah diri saja karena aku tidak bisa memberikanmu apa-apa sedangkan kamu sudah memberikanku banyak. Aku malu padamu. Seharusnya semua pekerjaan ini adalah urusanku." Kata-kata Raffi berhasil menerbitkan senyum di bibir Mutia dan wajahnya sudah tidak lagi kelabu seperti tadi. Wanita itu justru menempelkan kepalanya bersandar di d**a Raffi yang dari tadi memang dikaguminya. Segitu Raffi masih menggunakan kemejanya, Mutia sudah membayangkan tubuh suaminya yang polosan. Detak jantungnya jadi tak nyaman. "Sudah Bang jangan berpikir kayak gitu lagi. Aku beneran sayang banget sama Bang Raffi." "Hmm. Aku tahu. Tapi aku minta maaf padamu ya karena aku belum bisa menjadi suami yang bisa diandalkan untukmu dan sangat lemah." "Nggak Bang! Suamiku nggak sama sekali kayak gitu dan aku sayang banget sama suamiku. Udah ya, udah malam jangan mikir macam-macam, kita tidur aja!" Hari ini memang ada tukang datang untuk merapikan kamar mandi Mutia dan hari ini sepanjang hari Raffi terlihat BT saja di rumah. Selama perbaikan itu, Mutia tidak diajaknya bicara dan Raffi terlihat kesal. Dari pagi kondisi hati mereka tidak tenang dan memang tidak ada yang lebih menyenangkan daripada beristirahat dan tidur saat suami istri yang belum dikaruniai anak sudah berdamai. Melepaskan semua beban lelah dan stress berlebihan yang timbul dari perang dingin mereka berdua, terasa begitu nikmat. "Bang Raffi janji ya jangan diemin aku kayak tadi lagi," bujuk Mutia yang kini sudah tiduran di samping Raffi dan sudah ada dalam dekapan suaminya itu. "Aku juga minta maaf Mutia. Aku salah karena udah cuekin kamu dan seharusnya aku nggak bersikap kayak gitu, childish. Tadi itu aku beneran nggak bisa nahan diriku dan aku benar-benar ngerasa aku laki-laki yang gagal dan tidak bisa melakukan sesuatu untuk istriku, malah cuma ngerepotin aja." "Hihi, Bang Raffi udah lakuin banyak buat aku! Dan semua yang sudah aku dapatkan ini kalau bukan karena bantuan Bang Raffi nggak mungkin bisa begini. Makasih ya Bang!" ujar Mutia dan tak lama, Raffi tersenyum tapi bukan karena kata-katanya. "Hei ngapain tanganmu malah membuka kemejaku?" Mutia sendiri tersenyum kecil di bibirnya saat mendongak dan menatap Raffi yang tahu akan keisengannya ini. "Menurut Bang Rafi aku mau ngapain?" "Kamu nih masih kecil juga. Dari awal nggak ada malu-malunya!" Raffi mencubit hidung istrinya yang memang sudah dua malam ini sering sekali mengganggunya. "Habis aku kan udah minta izin kemarin. Soalnya aku suka banget liat kotak-kotaknya Bang Raffi. Terus suka bayangin, gimana Bang Rafi latihan bisa sampai kayak gini di rumah Ayah? Padahal kan Bang Raffi--" "Disabilitas, aku nggak bisa jalan? Kamu mau bilang gitu?" "Iya iyalah!" jujur Mutia. "Tapi jangan ngambek ya. Aku nggak maksud ngehina malah aku tuh sebenarnya muji Bang Raffi soalnya orang yang bisa jalan aja banyak perutnya buncit! Ingat nggak sama adiknya Bang Raffi?" "Ish, kamu lagi mikirin mantan suamimu sambil ngelus-ngelus perutku gitu?" "Hyakks, enak aja!" Mutia menyangkal sambil bergidik. "Aku tuh lagi nggak mikirin dia dan ngapain coba Bang aku mikirin cowok kayak gitu? Amit-amit! Aku pas nikah sama Bang Raffi, dia itu udah hilang dari ingatanku!" seru Mutia yang kembali bersandar menempel pada Raffi, mencoba mencari kenyamanan. "Mutia ngapain tanganmu ke bawah-bawah lagi?" "Hmm, selama ini kan aku cuma boleh pegang sampai sini doang kalau tidur," ujar Mutia yang heran pada dirinya sendiri kenapa dia bisa seberani ini bicara dengan Raffi. Itu sesuatu yang tabu dan memalukan sebetulnya untuk Mutia tapi memang dia tidak tahan karena sesuatu di dalam dirinya seperti bergejolak, ingin sekali melihat dan memegang sesuatu yang lain yang sebetulnya sudah bisa dilihatnya setiap kali dia membantu Raffi mandi. "Mutia, kamu lagi mau ya?" tanya Raffi, yang membuat Mutia tidak bisa menutupi senyum di bibirnya. "Bandel! Ditanya malah senyum-senyum bukan jawab!" "Hihi, maaf ya Bang Raffi, habis, aku punya suami menggoda banget sih. Jadi aja akunya jadi error gini pikirannya tiap deket-deket suamiku." Kembali Raffi tidak bisa menutupi senyumnya saat mendengar pernyataan dari istri kecilnya yang sedang haus belaian. "Sini!" "Bang, ta-tapi-" Mutia memang menginginkan itu. Rasa seperti yang kemarin dia rasakan dan selama beberapa hari ini tidak pernah lupa diberikan oleh Raffi setiap malam. Cuma masih ada yang belum puas dari dalam dirinya yang ingin meminta lebih, makanya dia merajuk. "Apa Mutia?" "Oh, aku itu Bang, hmm ... Setahuku kalau yang begitu itu kan yang itu dimasukin ke aku kan?" Ini kata-kata yang sudah paling halus yang bisa dikatakan Mutia. Karena pikirannya sudah dirasuki oleh nafsu yang membara. Mutia puas dengan tangan Raffi dan itu memang selalu saja membuat dirinya ketagihan, tapi ada rasa yang ingin dicobanya juga. Makanya saat bicara begitu tangan Mutia semakin turun ke bawah, lebih berani, karena Mutia tahu Raffi lebih pemalu dari dirinya. "Mutia, kamu mau pegang itu?" "Iya. Apa itu boleh dibuka, Bang?" Masalahnya Raffi kalau tidur sangat sulit sekali untuk diacak-acak bajunya karena dia menggunakan celana panjang dan kadang dia juga menggunakan celana jeans bukan celana bahan. Makanya agak sempit dan mengganggu untuk Mutia. "Mutia, kamu tahu kan kenapa dia belum masuk?" Mutia mengangguk lemas tapi tak bisa menutupi gelora dalam dirinya yang memang ingin melihat itu. "Jadi menurutku sebaiknya dia gak usah dibu--" "Tapi aku mau, Bang!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD