Part 1
BROKEN
*
Pagi.
Sebelum matahari masuk lewat jendela kamar, Andra lebih dulu terbangun karena aroma masakan yang berasal dari dapur.
Perlahan Andra membuka mata, meraba sesuatu di sampingnya. Seperti biasa, sudah tak ada Andini di sebelahnya, hanya tersisa bagian kasir kosong yang terasa dingin karena telah ditinggali beberapa menit yang lalu. Ah, bahkan mungkin satu atau dua jam yang lalu.
Matanya benar-benar terbuka, sedetik kemudian ia juga mendengar suara anak kecil yang mungkin sedang bermain. Suara dari buah cintanya dengan Andini. Andra bangkit dari tidurnya, duduk dan sedikit meregangkan ototnya. Biasanya sang istri akan membangunkan saat semua hidangan telah siap. Namun, seringkali ia terbangun sendiri, dibangunkan aroma masakan Andini yang menggugah selera.
Andra melangkah ke kamar mandi untuk mencuci muka, setelah itu ia keluar menuju dapur di mana ia melihat sang istri sedang mengaduk sesuatu di atas kompor.
Sedikit lama Andra berdiri di dinding pembatas antara dapur dan ruang tengah. Ia mengamati bagaimana istrinya cekatan dalam hal memasak, sebenarnya dalam segala hal Andini terbilang gesit.
“Papa!” Bocah dua tahun yang sedang duduk di dalam stroller bayi itu berseru.
Hal itu membuat Andini menoleh, dan melihat sang suami telah bangun dengan senyuman di wajahnya.
“Loh, Mas udah bangun?” tanya Andini pada suaminya.
Andra mendekat, lalu mengecup kepala buah hatinya yang masih asik mendorong gerobaknya dengan kaki. Anak tercinta hasil pernikahannya dengan Andini yang mereka berinama Riyan, tapi keduanya lebih suka memanggil dengan nama Iyan.
“Iya. Masakan kamu tuh kayak alarm buat aku,” goda Andra pagi-pagi.
Andra semakin dekat dengan Andini, lalu lelaki itu mulai memeluk istrinya dari belakang. Ia meletakkan dagunya di ceruk leher wanita yang telah dinikahinya tiga tahun yang lalu. Ia bisa merasakan kelembutan dan kasih sayang di sana.
“Mas, ini bisa gosong lho.” Andini protes dengan suara manja seperti biasanya. Ia sedang memasak telur gulung kesukaan Iyan.
“Lima menit aja,” ucap Andra masih dengan posisinya.
Andini tertawa, ia bahkan tidak bisa menggerakkan tangannya karena tertahan oleh pelukan Andra.
“Satu menit saja ini bisa gosong, Mas.”
“Oke.” Andra melepas tangannya dari pinggang ramping sang istri. Lalu ia berdiri di samping Andini, mengamati setiap gerakan istrinya.
Andra menatap lembut wajah Andini. Istrinya tetap saja cantik meski rambutnya digelung asal, hingga terlihat beberapa helai terurai di bagian cambang dan belakangnya. Tetap saja penampilan seperti itu tak mengubah getaran dalam hati Andra saat dekat dengannya.
“Yaudah, aku mau olahraga dulu ya.”
Andini mengangguk sambil tersenyum. Sedetik kemudian ia langsung mendapat sebuah kecupan dari suaminya.
Andra berbalik ke belakang, ia melihat Iyan masih asik dengan dirinya sendiri, dengan permainannya. Ia mendorong gerobak dengan kakinya ke sana ke mari. Sesekali mainan di tangannya menimbulkan bunyi yang lucu disertai lampu kerlap kerlip. Bocah itu masih cadel dalam berbicara, hingga saat ia bernyanyi Andra tertawa mendengarnya. Lucu sekali.
“Iyan anak siapa?” Seringkali Andra mencandai Iyan dengan pertanyaan itu. Karena ia suka mendengar aksen cadelnya.
“Mama,” kata Iyan.
“Terus papa?”
“Oma.”
Itu artinya. Iyan anak mama. Papa anaknya Oma, nenek Iyan. Jawaban anak itu masih sama.
Pecahlah tawa Andini diiringi wajah merengut yang dibuat-buat oleh Andra. Seringkali ketika orangtua bertanya pada anaknya seperti itu, anak-anak akan menjawab dengan polosnya. Karena memang mereka lebih dekat dengan ibunya. Termasuk Iyan.
Andra menghabiskan seharian waktunya di kantor, lalu saat pulang ke rumah bocah itu sudah tertidur. Namun, Andra berusaha memberikan waktu untuk anaknya saat weekend.
“Anak mama sama papa, oke?” Andini mendekat, ia berkata demikian di depan Iyan agar anak itu mengerti. Selayaknya anak-anak, mereka tak selalu bisa mengerti apa yang dimaksud oleh orangtuanya. Namun, mereka bisa meniru apa yang diucapkan dan dilakukan orangtuanya.
“Anak mama papa.” Iyan mengulang perkataan Andini.
“Pinter.” Andini memuji Iyan. Sedangkan Andra langsung mencium kepala anak itu, lalu mengacak rambutnya yang pendek itu.
Setelah menghabiskan sedikit waktu untuk bermain dengan Iyan, Andra kembali naik ke atas. Ia ingin melakukan rutinitas setiap pagi. Andra terbiasa mengolah tubuhnya di dalam sebuah kamar khusus olahraga. Tak heran tubuhnya terlihat sehat dan kekar.
*
Setelah sarapan, Andra kembali ke kamar dan membersihkan diri, bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Sementara Andini, ia membereskan meja makan yang sempat berantakan karena ulah Iyan yang menumpahkan minuman, menaruh sendok sembarangan dan menjadikan mainan. Setelah itu, ia membawa Iyan ke kamar mandi untuk dibersihkan. Setelah wangi dan rapi, Andini mengantarkan Iyan pergi bekerja hingga sampai di depan pintu.
“Bye, Pa.” Andini melambaikan tangan pada Andra, menatap putranya dalam gendongan agar meniru ucapan dan gerakannya.
“Bye, Pa!” ulang Iyan meniru, sambil membuat gerakan kiss bye di bibirnya. Imut.
Andra tak tahan melihat tingkah lucu bocah itu. Ia kembali berbalik dan mencium gemas pipi gembil anak itu. Ia kembali mengacak rambut Iyan yang telah disisir rapi oleh Andini, membuat perempuan itu mendelik pada suaminya.
“Iyan ganteng ya. Mirip siapa?”
“Papa.” Karena tak mendapat jawaban dari Iyan yang sibuk berceloteh sendiri, Andini menjawabnya. Ah, perempuan itu seperti sedang mengakui pesona sang suami yang tak pudar meski telah memiliki satu anak.
“Kamu bilang aku ganteng?” tanya Andra pada istrinya yang mendapat menunjukkan kemerahan di pipinya.
“Ih, geer!”
“Yes, kamu bilang itu barusan.” Andra menuntut kejujuran sang istri.
“Aih,”
“Nggak jujur dapet hukuman, lho!” Andra mengancam dengan mata menatap manja.
“Iya, ih. Dari dulu. Wlee.” Andini menjulurkan lidahnya sambil memejamkan mata, saat ia membuka mata, sebuah kecupan mendarat di bibirnya.
“Maas!” teriak Andini.
“I love you.”
“I love you too,” balas Andini.
Andini tersenyum menatap kepergian sang suami. Andra terlihat membuka pintu mobil setelah mengecek ponselnya. Setelah suaminya pergi, perempuan kembali masuk ke dalam rumah, dengan penampilan yang masih sama seperti tadi. Rambut yang masih diikat asal, juga daster rumahan yang memperlihatkan sebagian kaki jenjangnya.
Andini merasa kebahagiaannya semakin sempurna setelah menikah dengan Andra. Apalagi setelah mereka dikarunia seorang anak yang lucu dan pintar. Ia bahkan rela meninggalkan pekerjaannya demi merawat buah hatinya sendiri. Bukan Andini atau Andra tak mau membiayai seorang baby sitter, tapi Andini sendiri menolak setelah peristiwa itu.
Iyan masih usia 10 bulan saat itu. Andini mempercayai seorang baby sitter untuk menjaga Iyan, karena ia sendiri harus bekerja di sebuah perusahaan yang berbeda dengan Andra. Iyan sering menangis entah sebab apa, puncaknya anak kecil itu mengalami muntah parah hingga mengeluarkan banyak isi perut kecilnya. Setelah ia teliti, ternyata baby sitter terlalu banyak memberikan biskuit, diluar batas kewajaran. Padahal Andini selalu menyiapkan nasi khusus untuk anaknya.
Iyan sempat juga dirawat di rumah sakit, karena terjatuh dari kursi tamu. Setelah peristiwa itu, Andini resign dari pekerjaannya. Ia tak menyayangkan posisi jabatannya sebagai sekretaris, karena ia lebih menyayangkan kehidupan Iyan di tangan orang lain.
*