Sepanjang hari, Kiral menjalani hari dengan uring-uringan dan tidak fokus. Beberapa kali ia hampir terlibat serempet oleh pengendara lain. Kiral benar-benar bagaikan anak ayam kehilangan induknya. Hingga pada saat ia kembali ke kantor. Kiral kembali melakukan kesalahan. Ia menghilangkan nota penerimaan uang dari konsumernya.
“Saya tidak mau tahu, ya, Kiral apa saja masalah dalam rumah tanggamu. Yang saya mau kamu tetap profesional. Masalah keluarga jangan dibawa ke tempat kerja!” tegas pria dengan kepala plontos dan berbadan tambun tersebut.
“Maafkan saya, Pak, saya benar-benar tidak bermaksud tidak fokus bekerja,” sahut Kiral lirih dengan wajah tertunduk.
“Kamu kira dengan permintaan maaf kamu, bukti itu masih bisa kembali? Sekarang bagaimana, kalau besok mereka mengatakan sudah melakukan p********n sepenuhnya. Sedangkan, yang kamu terima hari ini hanya separuhnya saja! Coba kamu jelaskan, bagaimana caramu mengatasinya.”
“Besok saya akan kembali menemui pemilik toko itu, dan mencoba menjelaskan semuanya, Pak.”
“Kalau mereka tidak menerima alasan apa pun, berarti gaji kamu terpaksa saya potong.”
“Terserah, Bapak saja.”
Kiral kembali diam dan terlihat tidak begitu peduli dengan ocehan sang atasan. Kiral masih tampak sibuk dengan pikirannya sendiri. Setelah cukup puas melampiaskan amarahnya. Sang atasan pergi meninggalkan Kiral yang masih terdiam di dalam ruangan penyerahan dokumen.
“Kamu ‘sih bukannya aku sudah bilang, kamu harus hati-hati dengan bukti transaksi uang,” ujar istri dari atasan Kiral.
“Antahlah, Buk. Saya sedang banyak masalah, jadi kurang fokus,” sahut Kiral lirih.
“Apa kamu masih berhubungan dengan Perin?”
“Saya berniat mengakhiri hubungan ini, Bu. Tapi, ternyata Perin malah tidak setuju. Di sisi lain saya sudah berjanji pada istri saya untuk meninggalkan Perin.”
“Kiral. Kalau pendapat saya pribadi. Bagaimana pun istrimu lebih berhak memiliki kamu. Dia sudah menemani, menerima, dan menjaga kamu selama ini. Sedangkan, Perin dia datang di saat kamu sedang jenuh.”
Kiral tampak berpikir sejenak dengan apa yang dikatakan sang atasan. Sebagai wanita tentu saja, Beliau sangat prihatin dengan apa yang terjadi pada rumah tangga Kiral, dan istrinya. Kiral memang dikenal dekat dengan atasan wanitanya.
Biasanya ia akan betah berlama-lama bercerita kepada wanita paruh baya tersebut, hanya untuk meminta pendapat Beliau saja. Namun sayangnya, tindakan yang ia lakukan akhir-akhir ini tidak pernah ia tanyakan terlebih dahulu. Ia melakukan semuanya karena dorongan keinginan mengenang masa muda.
Kiral memang masih tergolong muda untuk ukuran orang yang sudah memutuskan untuk berumah tangga. Karena ia juga tidak pernah tahu, kalau masa depan mereka akan seperti ini. Dulu yang ada dalam pikiran keduanya adalah, hidup bersama dengan damai dan bahagia. Tapi, itu jelas hanya khayalan belaka. Karena sebenarnya rumah tangga adalah perjalanan berat yang sebenarnya.
“Kiral, sebaiknya kamu pulang dan redamkan amarah istrimu. Setelah itu kamu bisa menyelesaikan masalahmu dengan Perin,” ujar sang atasan memberikan saran.
“Baiklah, Bu, terima kasih atas saran dari Ibu,” ungkap Kiral dengan lega.
“Sudah. Sekarang kamu harus lebih menghargai istrimu, dan jangan pernah sedikit pun bandingkan ia dengan wanita mana pun.”
“Baik, Bu. Kalau begitu saya permisi dulu.”
Kiral bergegas meninggalkan ruangan Beliau dengan wajah berseri. Ia tidak menyadari bahwa di rumah telah menanti sebuah kekuatan besar. Kiral mengendarai kendaraannya dengan raut wajah harap cemas.
Nafia duduk di ruang tamu bersama sang buah hati yang tampak riang memainkan boneka kelinci. Nafia dengan tatapan kosongnya, terlihat sangat tertekan dan seolah ia tengah menahan emosi. Wajah itu tampak mengeras, dengan mulut terkunci rapat. Sorot matanya tertuju pada satu titik.
Potret kebahagiaan ia bersama Kiral saat baru saja selesai mengucapkan janji suci yaitu ijab kabul. Tapi, entah kenapa seakan ada luka di hatinya. Sehingga perlahan air bening itu mengalir di ekor matanya. Nafia, wanita yang selama ini berusaha menjadi istri yang baik untuk Kiral.
Siapa sangka akan mendapatkan pengkhianatan besar. Dari sang suami yang selama ini ia percaya. Selama ini Kiral, menjadi sosok pria yang selalu diharapkan akan menjadi kebanggaannya. Nafia juga selalu berusaha menjaga dirinya agar tetap terlindung dari fitnah.
“Andaikan kamu tahu, Bang, aku tidak pernah sedikit pun memikirkan pria lain selain kamu. Tapi, kenapa kamu tega berbuat demikian padaku?” gumam Nafia meratapi nasibnya.
“Aku selalu berdoa agar kamu terhindar dari hal buruk. Tapi, rupanya aku lupa mendoakan untuk menjauhkan kamu dari zina.”
“Kini aku hanya bisa berserah diri pada Yang Kuasa, Bang, apa pun keputusannya akan kucoba melalui semuanya.”
Kiral sudah tiba di depan rumahnya. Ia turun dari motor bebek kesayangannya. Baru saja ia akan mengetuk pintu depan. Secara tiba-tiba ada seseorang yang memanggilnya. Dan suara itu terdengar sangat dikenal oleh Kiral.
Suara seorang wanita dengan nada lembut, dan terdengar sangat indah. Kiral terlihat terpaku, mematung tak bergerak dengan mimik muka mengeras. Kiral terlihat sangat terkejut bercampur, gugup, takut, dan resah. Semuanya membaur menjadi satu.
“Iki!” pekik gadis yang terlihat cantik dengan balutan gaun malam selutut berwarna merah hati. Dia langsung berlari kecil menghampiri Kiral yang masih tertegun tak bergerak.
“Mau apa kamu ke sini! ” tegas Kiral pada Perin yang saat ini menatap pria itu dengan manja.
“Habisnya kamu cuekin aku, ‘sih,” sahut gadis itu manja.
“Kamu sudah gila! Kamu tahu di rumahku ada istriku. Kalau dia sampai melihat kamu bagaimana!”
“Ya aku tinggal jelaskan ke dia. Kalo kalian seharusnya bercerai saja.”
“Jangan gila kamu!”
Bagaimana pun Kiral sudah berjanji akan meninggalkan Perin. Jadi jelas saja dia tidak ingin Nafia sampai bertemu dengan Perin. Kalau sampai hal itu terjadi. Bisa-bisa Nafia akan meninggalkan dia selamanya. Mana mungkin harapan Kiral sebelumnya akan dikabulkan.
“Kenapa? Apa kamu sudah kembali jatuh cinta pada istrimu itu! Terus aku mau kau apa ‘kan? Apa kau lupa apa yang sudah kita ....” kalimat Perin terhenti ketika jari Kiral menghentikannya.
“Perin kita sudah sering kali membahas ini. Aku sudah menjelaskan padamu. Hubungan kita tidak akan pernah berhasil.”
“Pokoknya aku tetap tidak setuju. Apa pun alasannya.”
“Perin tolonglah jangan berbuat nekat kamu.”
“Biarin! Aku enggak rela kamu balik ke wanita itu!”
“Kamu gila! Dia itu istriku!”
“Aku juga calon istrimu! Kau sudah merenggut masa depanku! Jangan seenaknya kamu pergi!”
Mendengar kalimat yang diucapkan Perin seketika Kiral langsung terdiam membisu. Tampaknya kali ini dia benar-benar kehabisan kata-kata. Penyesalan itu mulai tampak menghiasi wajah Kiral yang manis. Ternyata hubungannya bersama wanita kedua sudah teramat jauh. Kiral selama ini tidak pernah mendengar nasihat yang diberikan oleh semua orang.
Namun kini ia tampak sangat menyadari bahwa kelakuan mereka salah total. Saat ini juga Kiral sudah hampir kehilangan Nafia. Wanita yang selama ini selalu menemaninya setiap waktunya. Nafia juga selalu setia mendampingi Kiral dalam keadaan susah maupun senang. Namun ada satu hal yang belum Kiral sadari hingga detik ini pun. Nafia memang teramat marah padanya, akan tetapi wanita itu belum sedikit pun bercerita pada siapa pun tentang perbuatan Kiral padanya.
“Pe, aku mohon. Jangan bahas malam ini dulu. Aku mohon —” bujuk Kiral.
“Oke. Malam ini aku akan pulang. Tapi, besok aku mau kita ketemu,” sahut Perin tegas.
“Baiklah.”
“Ya udah. Selamat malam calon suamiku, much!”
“Egh.”
Wajah Kiral sangat kusut. Dia tampak sangat marah pada dirinya sendiri. Perin dengan percaya diri dan merasa menang. Membalikkan badannya dan beranjak menjauhi Kiral. Sedangkan Kiral berjalan gontai mendekati pintu rumahnya.
Kepalan tangannya sudah bersiap untuk mengetuk pintu kayu di hadapannya. Namun entah kenapa dia tampak mengurungkan niatnya. Kiral tampak gelisah dengan kedua matanya yang terpejam. Kepalanya tertunduk dalam kesedihan. Suara jangkrik malam menjadi pengiring kesedihan bagi Kiral.