Meggie melirik tangan Bram yang berada di samping wajahnya dengan merona.
“Kau adalah wanita yang cantik sekali Meg. Dan yang menjadi satu-satunya masalah dalam hidupmu adalah kau hanya tergila-gila dengan kamera. Apakah kau pikir kamera tersebut bisa membuat merasakan kepuasan yang lain?” ucap Bram pelan.
Meggie menyadari bahwa Bram sedang mencoba merayunya kembali dan Meggie berusaha keras untuk tetap focus pada niatnya datang.
“Aku cukup puas dengan apa yang aku kerjakan dan seperti yang kau katakan bahwa aku harus bersikap obyektif dan saat ini kamera adalah bagian terpenting bagiku.”
“Sampai berapa lama?” tanya Bram dengan jarinya yang mulai menyentuh pipinya.
Tubuh Meggie tersentak ketika Bram merapatkan tubuhnya ke tubuh Meggie dan menahannya pada dinding kemudian membungkuk untuk menyentuh bibirnya dan menciumnya.
Ciuman itu tidak lama tetapi sangat instens dan membuat Meggie terlena. Bibirnya terbuka secara sukarela terhadap lidah Bram sehingga dia dapat merasakan kehangatan mulut Bram.
Bram memandangnya tajam. Suaranya terdengar lembut dan merayu saat dia bicara.
“Kau lihat Meggie? Apakah kamera mu dapat memberikan apa yang aku berikan padamu?”
Wajah Meggie merona karena malu dan juga marah mendengar ucapan Bram. Bukan saja karena ucapannya tetapi dia membenci dirinya yang begitu mudah terlena dengan perbuatan Bram.
Meggie marah karena sensasi kehangatan ciuman yang diberikan oleh Bram terhadap dirinya membuat Meggie seperti ditelanjangi. Dan dia tidak bisa menghentikannya.
“Terima kasih Bram. Aku tidak pernah mempunyai masalah dengan kamera ku dan kau benar, aku tergila-gila dengan kamera. Tapi tidak dengan obyek foto ku. Aku harus pergi dan memeriksa daftar para klien wanita yang pernah dekat denganmu dan … Tidak puas,” sahut Meggie setelah menyingkirkan tangan Bram.
Meggie berjalan keluar menuju pintu ketika ia mendengar ucapan Bram di belakangnya.
“Aku tidak bisa menunggu Meggie. Aku bukan laki-laki yang sabar.”
“Aku tidak pernah memintamu menunggu Bram.”
“Bukan dalam pekerjaan Meg. Kalau terpaksa aku akan membawamu keluar dan mengambil kamera mu itu dari hatimu. Dengan atau tanpa persetujuanmu.”
Meggie menatap Bram dengan tajam. Dan kali ini ia merasa sulit untuk menahan kesabarannya.
“Kenapa Bram? Kenapa kau ingin mengambil kamera dari hatiku? Apakah kau berpikir dapat melakukannya dengan mudah?”
Bram mengangkat pundaknya dan terlihat sekali kalau dia berusaha mengendalikan dirinya.
“Aku pikir kau perlu pengalihan perhatian Meg. Jangan biarkan hati mu berada di benda mati yang tidak dapat memberimu kepuasan,” jawab Bram dengan menekankan kata kepuasan.
Meggie tidak tahu apa lagi yang harus dia ucapkan pada Bram. Dan tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Meggie keluar dari ruang kerja Bram dan menutup pintu di belakangnya sebelum Bram berbicara lagi.
Tietha mengangkat kepalanya dari mejanya dan segera memahami keadaan Meggie yang terlihat kacau.
“Ada apa Meg? Kenapa kau terlihat kacau begitu?” tanyanya.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan bos mu itu Tietha. Apakah kau yakin kalau dia adalah Bramasta Wijaya? Bagaimana pun kau sudah lama bekerja dengannya,” jawab Meggie dengan suara parau.
“Bagaimana kalau kita makan sesuatu yang bisa mendinginkan kepala?” tanya Tietha dan dia segera mengambil tasnya dan menggandeng lengan Meggie.
Tietha membawa Meggie kesalah satu gerai restoran yang menyediakan es cream yang cukup banyak peminatnya.
“Apakah kau selalu ke sini?” tanya Meggie setelah dia duduk di kursi yang ada di gerai tersebut.
“Selalu. Terutama saat pendingin di ruangan sudah tidak mampu lagi mendinginkan kepalaku,” jawab Tietha tertawa.
“Apakah dia sering melakukannya?”
“Tidak. Kecuali ada yang mengganggu nya,” jawab Tietha menerima mangkuk es cream yang sudah mereka pesan. “Bagaimana enak bukan?”
“Sangat,” jawab Meggie sambil menyuap es cream ke dalam mulutnya.
“Ada apa? Apa kau sakit hati dengan Bram?” tanya Tietha.
“Tidak. Aku tidak sakit hati dengan Bram. Aku hanya tidak tahu apa masalahku.”
“Aku tahu masalahmu. Bramasta Wijaya.”
“Maksudmu?”
“Ya, sejak dia datang ke kantor, Bram benar-benar menjengkelkan. Tidak ada seorang pun staf yang bisa memuaskannya.”
“Bagaimana bisa?” tanya Meggie heran.
“Aku akan mengatakan padamu kalau kau berjanji untuk tidak mengatakan aku ikut campur dengan urusanmu.”
“Baiklah. Aku berjanji,” jawab Meggie tertarik.
Tietha telah bekerja sebagai asisten Bram dan sekaligus sekretarisnya sebelum Meggie melilih perusahaan Bram sebagai agensi nya.
Tietha banyak mengetahui masalah yang terjadi di dalam kehidupan Bram sehingga Meggie yakin kalau Tietha bisa mengatasi masalah yang terjadi. Bukan saja terhadap dirinya tetapi juga dengan para wanita lainnya.
“Jadi kau tahu bukan kalau aku adalah duri dalam daging buat Bram?” tanya Meggie menaikkan sebelah alisnya.
“Benar. Bram selalu merasa jengkel padamu. Dan terlihat jelas sekali,” jawab Tietha tertawa geli.
“Benar. Dan aku juga tidak tahu apa yang membuatnya jengkel. Saat itu aku bahkan belum pernah bertemu dengannya,” kata Meggie geli.
“Tapi sekarang kau bukan lagi duri dalam daging buatnya. Aku merasa Bram menganggap mu seperti rasa gatal yang tidakbisa di garuknya. Kau mengerti maksudku bukan?”
“Aku rasa kau tidak perlu bertanya apakah aku memiliki hubungan dengan Bram atau tidak bukan? Aku yakin kau sudah melihatnya dengan jelas,” kata Meggie.
“Ya. Tapi kau belum mengerti apa yang aku katakana Meg. Selama ini aku melihat wanita datang dan pergi dalam kehidupan Bram.”
“Beberapa di antaranya ada yang pergi dengan tenang karena Bram memberikan konpensasi dan beberapa lagi pergi dengan sakit hati dan mengeluarkan opini yang sangat merugikan.”
“Lalu apa hubungannya denganku?” tanya Meggie tidak mengerti.
“Di antara wanita itu tidak ada yang mempengaruhi Bram seperti dirimu,” jawab Tietha serius.
“Ku kira aku mengerti apa maksud mu. Tapi aku harus mengatakan bahwa penilaianmu salah. Aku tahu apa yang dikehendaki oleh Bram.”
Tietha tertawa mendengar ucapan Meggie. “Maaf Meggie. Kalau semuanya yang dikehendaki oleh Bram, Kau salah. Aku sering melihat Bram menghadapi para wanita yang mendesaknya untuk mendapatkan hak istimewa tersebut.”
“Apa kau juga melihat apa yang terjadi di dalam ruangan Bram? Tietha? Aku nyaris tidak bisa melepaskan diri darinya.”
“Bram sudah lama tidak berhubungan dengan wanita yang bekerja dengannya. Kalau dia melakukannya padamu, maka Kau adalah pengecualian Meg. Dia pasti sudah melihat sesuatu yang istimewa pada dirimu.”
“Bagaimana kau tahu Bram dengan begitu mendetail?” tanya Meggie menatap Tietha dengan tajam.
“Aku adalah asisten sekaligus sekretarisnya. Aku bahkan tahu lebih banyak tentang Bram dari pada istrinya kalau dia masih bersamanya,” jawab Tietha tertawa.
“Sebenarnya sudah berapa lama kau mengenal Bram? Maksudku sudah berapa lama kau bekerja dengannya?”
“Cukup lama. Kami melewati masa-masa yang cukup sulit ketika Bram harus membuktikan pada kakeknya bahwa dia bisa membangun usaha dan bisnis nya sendiri.”
“Maksudmu?” tanya Meggie dengan menyipitkan mata.
“Aku yakin kalau Bram sedang memikirkan sesuatu. Dan hal tersebut pasti berhubungan dengan mu,” kata Tietha menatap mata Meggie.
“Aku rasa dia memikirkan artikel yang sedang aku buat. Bagaimanapun hal ini tidak mudah. Karena aku pasti akan menggali rahasia terdalam dalam hidup Bram.”
“Ya semoga saja. Bram bukan orang yang perlu membuktikan suatu pendapat tentang dirinya. Dia tidak pernah peduli bagaimana orang memandang dirinya. Ketika dia ingin melakukannya, maka dia melakukannya untukmu,” kata Tietha memandang ke dalam mata Meggie sehingga Meggie memalingkan wajahnya.
“Apakah kau sudah selesai? Masih ada beberapa hal yang harus aku lakukan.” Kata Meggie.
“Sudah. Ayo kita kembali!” kata Tietha sambil bangun dari duduknya.
“Tietha. Bram sudah mengijinkan aku untuk memeriksa beberapa arsip. Barangkali kau bisa membantuku dengan siapa aku harus bicara. Aku harus bekerja dengan cepat.”
“Baiklah. Kau tahu Bram adalah bos yang sangat baik. Tetapi dia bisa sangat menjengkelkan kalau dia sudah menginginkan sesuatu.”
“Dan kau harus ingat bahwa dia tidak akan berhenti sebelum keinginannya tercapai,” kata Tietha mengingatkan.
“Aku tahu dan terima kasih atas peringatan mu Tietha,” jawab Meggie tersenyum.