Saat mengamati rekaman CCTV beberapa saat lalu, Ghidan yakin mobil mini cooper berwarna mencolok itu awalnya dikendarai oleh Annette. Namun, malam ini justru dikendarai oleh Vivian. Hal yang kemudian disimpulkan oleh Ghidan bahwa kedua gadis itu bersekongkol dan ada kemungkinan juga mereka akan bertemu di satu tujuan yang sama.
Sayangnya, semua asumi itu semakin membuat Ghidan bingung setelah mendapat informasi tambahan tentang Annette. Lantaran, Yudho tak hanya memberi informasi seputar latar belakang Annette tapi juga fakta mencengangkan mengenai jejak kriminal gadis itu yang tengah ia coba samarkan dengan melibatkan Vivian yang tak tahu apa-apa.
"Ghi, dengerin gue baik-baik, saat ini timsus BNN sedang mengawasi jaringan obat-obatan internasional yang baru saja masuk ke Bali. Sindikat besar yang diketuai Fernando Liem, yang masuk Indonesia dengan nama samaran Fredi Syahalim."
"Gue nggak butuh informasi itu, Yud," sela. Ghidan masih tak paham.
"Dengerin gue dulu, Kampret, ini masih ada hubungannya dengan Anne yang kata lo tadi."
"Oke, lanjut." Ghidan memasang earphones sambil bersiap membuntuti mobil Vivian.
"Fernando atau Fredi ini ternyata sedang dekat dengan Annette."
Ghidan mengerutkan kening, kini mulai tertarik dengan informasi baru dari Yudho. "Terus?"
"Salah satu tugas Annette ini mencari orang baru yang bisa diperalat untuk menyebar barang bukti." Ghidan menelan ludah susah payah mencoba sabar mendengarkan penjelasan Yudho sampai selesai. Hingga mau tak mau ia harus bergerak cepat menyelesaikan tugasnya untuk membereskan Annette dan Vivian.
"Kalau lo mau gue bantu cepet beresin tugas dari Mas Irawan, temukan alamat Annete dan Fredi selama di Bali. Lalu temukan bukti kejahatan mereka yang sering disembunyikan mereka di kendaraan masing-masing. Ingat, elo harus gerak cepat dan sebersih mungkin sebelum kasus ini mencuat ke permukaan, Ghi. Ini info valid dari temen gue yang kerja di BNN dan sekarang ada di Canggu, dia butuh alamat Annete, se-ce-pat-nya!" pungkas Yudho memperingatkan Ghidan.
Ghidan mengangguk paham. "Gue paham, Yud, thanks infonya. Ini gue lagi gerak cepat biar Annette nggak sampe menghilangkan barang bukti. Setidaknya, biar hukumannya semakin lama."
Menurunkan kaca helm, Ghidan lantas menaikkan kecepatan motornya begitu melihat mobil yang dikendarai Vivian mulai terlihat. Hingga tak berselang lama terdengar suara benturan yang memekakkan telinga. Lantaran Ghidan sengaja menabrakkan motornya pada bagian sisi kiri mobil Vivian ketika mobil gadis itu hendak memasuki kompleks villa Amerta.
"Eh, b*****t gembel!! mata lo ketinggalan atau gimana sih?" maki Vivian begitu keluar dari mobil sambil memegangi pelipisnya yang nyeri akibat benturan. "Mobil baru gue jadi baret-baret nih, tau nggak!!!"
Tak terpengaruh dengan caci maki Vivian, Ghidan justru memasang tampang datar dan tak berdosa saat melewati gadis itu untuk memeriksa bagian dalam mobil.
"Telinga lo rusak juga ya, Malih?" sambung Vivian makin meninggikan suara.
"Tanggung jaw—, awwwhh, sakit!!" belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Vivian kembali mengaduh karena lengannya ditahan oleh Ghidan dengan sangat kuat.
"Di mana tempat tinggal Annette?" tegas Ghidan menatap Vivian tajam.
Vivian terdiam sejenak saat mendengar nama Annette disebutkan oleh pria asing di depannya. "Mana gue tau, b*****t!!"
"Hubungi dia!" tegas Ghidan kini tak sungkan mendorong tubuh mungil Vivian hingga punggungnya membentur body mobil.
"Lo nggak denger ya—"
"Ini mobil Annette Priskila kan? jadi... kamu pasti tahu di mana perempuan itu tinggal," sambung Ghidan dengan suara berat.
"Ini mobil gue sekarang!" Vivian menunjuk mobil di sebelahnya.
"Saya ulangi sekali lagi—"
"Gue juga ulangi sekali lagi," sela Vivian tak mau kalah. Gadis itu bahkan sampai berjinjit untuk balik menantang Ghidan dengan menekan d**a bidangnya. "Sekarang ini mobil gue! dan elo udah kurang ajar nabrak gue tanpa mau tanggung jawab? heii, Hulk! are you kidding me?"
"Saya ada urusan sama Annette. Tapi, berhubung kamu yang bawa mobilnya, dan kebetulan juga kamu ikut menjebak Pak Irawan, oleh karena itu saya tanya sama kamu duluan."
Mendadak saja Vivian ingat kejadian beberapa saat yang lalu saat ia diminta Annette untuk memotretnya saat berdekatan dengan Irawan. Seniornya di kampus dulu. "Ngawur, gue nggak jebak siapa pun kok!" elak Vivian enggan disalahkan.
"Kamu yang ambil foto ini diam-diam kan?" Ghidan semakin memojokkan Vivian saat menunjukkan salah satu foto di ponselnya. "Jadi kamu terlibat, dan harus ikut tanggung jawab atau—"
"Atau apa?" pekik Vivian menutupi panik karena ternyata tindakan kecilnya membantu Annete tadi akan berbuntut panjang.
“Atau kamu akan dapat hukuman lebih berat karena terlibat sindikat penjualan obat-obatan terlarang jaringan internasional," jawab Ghidan terdengar sangat yakin.
"Bullshit!" umpat Vivian lantas tertawa kecil. "Ngarang lo kurang kreatif!"
"Mau taruhan?" tantang Ghidan menatap nyalang ke arah Vivian.
Vivian berdecih lantas mengibaskan satu tangan ke udara. "Sorry, gue nggak punya waktu."
"Segera bawa mobil ini ke tempat Anne dan kamu akan bebas dari tuntutan hukum karena terlibat jaringan obat terlarang." Ghidan menggertak dengan mendaratkan kepalan tangannya ke atap mobil.
Vivian melotot tak terima "Enak aja! mobil ini bakalan gue pake buat bayar huta—" gadis itu mendadak menutup mulut lantas bersedekap salah tingkah. "Po- pokoknya nggak bakal gue kembaliin ke Annete atau siapa pun. INi, mobil gue, titik!"
Ghidan tersenyum miring meremehkan. "Bukannya bisa bayar hutang, yang ada malah kamu akan jadi pesakitan di balik jeruji besi bareng Annete Annete itu!"
"Lo apaan sih? omong kosong!" Sekuat tenaga Vivian mendorong d**a Ghidan sampai pria jangkung itu sedikit berjarak darinya.
“Mau bukti?” Ghidan mengeluarkan sarung tangan dari saku celana lalu membungkus kedua telapak tangannya dengan cepat. Seolah hal seperti ini sudah sering ia lakukan dan familiar dalam kehidupannya sehari-hari.
Ghidan membuka pintu bagasi mobil lantas memeriksa setiap sudutnya dengan cekatan. Karena tak menemukan apapun, pria jangkung itu beralih memeriksa kursi penumpang bagian belakang dengan sangat teliti. Hingga hampir setengah jam berselang, ia berhasil menemukan benda mencurigakan yang membuatnya sedikit lega. Benda berukuran sebesar batako yang ia temukan di bagian bawah kursi yang sengaja ditutup dengan tumpukan high heels dari brand terkemuka.
"Kamu nggak sadar kalau lagi dimanfaatin sama Annete?" Ghidan membanting bungkusan berwarna cokelat berukuran sedang yang tadinya ada di dalam paperbag dengan merk jam tangan ternama. “Sini mendekat, coba lihat sendiri isinya!” Ghidan menggerakkan jari telunjuknya memberi isyarat agar Vivian mendekat.
Melangkah ragu, Vivian akhirnya mendekat karena enggan mendengar bentakan dari pria asing itu lagi. Sayangnya, keyakinan Vivian luruh seketika saat melihat betapa banyaknya butir pil terlarang yang dimasukkan ke dalam beberapa kotak arloji.
“Ini …,” Vivian hampir kehilangan kata-kata saat menunjuk barang haram di depannya.
“Annete butuh orang baru yang bisa diperalat untuk menyembunyikan barang bukti ini.” Ghidan mencoba membuat Vivian mengerti.
"Gue nggak yakin!"
"Annette dengan begitu mudahnya ngasih mobil mahal ini ke kamu, dan kamu percaya gitu aja? Nggak curiga sama sekali?" Ghidan menggeleng pelan saat melihat ekspresi terkejut sekaligus ketakutan di wajah Vivian.
“Bullshit, Anne nggak mungk—”
“Dia sudah masuk target operasi pihak berwajib. Kalau kamu nggak mau terlibat, segera hubungi Annette dan kembalikan mobil ini,” seru Ghidan dengan suara pelan. Meski sudah yakin tak ada orang lain di sekitar mereka karena di bagian depan kompleks villa cenderung sepi, Ghidan tetap harus waspada.
“Tapi gue butuh mobil ini, Kingkong!” lirih Vivian masih sempat memaki Ghidan dengan panggilan-panggilan aneh yang melintas di kepalanya. Kedua bahu gadis itu luruh bersamaan saat menyadari hidupnya akan kembali jatuh ke kubangan yang sama. Jeratan hutang.
“Anggap saja kamu sedang nebus kesalahan yang tadi. Jadi … hubungi Annette sekarang, minta alamatnya dan kembalikan mobilnya lengkap dengan barang bukti ini,” ulang Ghidan lebih tegas lantas mengembalikan barang temuannya ke tempat semula.
Vivian membasahi bibirnya berkali-kali. Bayangannya untuk mendapatkan banyak uang secara instan lenyap sudah. Yang ada justru dirinya kini berada dalam masalah karena dijadikan kambing hitam oleh sahabatnya sendiri. “Terus?”
“Saya akan ikuti dari belakang? Saya hanya butuh alamatnya.” Ghidan kembali mengingat pesan Yudho kalau temannya sangat butuh informasi tentang tempat tinggal Annete yang kemungkinan besar ditinggali juga oleh Fredi, yang kini menjadi target utama.
“Maksud gue, lo bisa jamin kalau gue aman dari masalah ini? gue nggak terlibat apapun by the way, tadi tuh, gue tulus mau nolongin Anne. Jadi gue nggak salah kan kalau nerima pemberian ini kan?” Vivian menoleh pasrah pada mobil mewah yang ternyata hanya bisa ia miliki beberapa jam saja. “Gue nggak terlibat, gue nggak sekongkol.” Vivian menutup wajahnya dengan telapak tangan saat menggeleng frustasi.
“Kalau kamu koperatif, saya jamin kalau kamu akan bebas dari tuduhan apapun terkait kasus Annete yang ini.”
Vivian mengangguk sekali dengan gerakan lemah. Kembali meratapi jalan hidupnya yang tak sesuai rencana, gadis itu lantas duduk berjongkok di samping mobil setelah mengeluarkan ponsel dari saku blazernya. Berniat mencari kontak Annete yang sempat ia dapatkan saat bertukar nomor tadi.
“An, sorry ganggu malam-malam, lo lagi di mana…” seru Vivian begitu panggilannya terhubung.
“Hmmm,” Vivian mengangguk saat mendengar jawaban dari lawan bicaranya. “Gue boleh mampir situ bentar kan?”
Ghidan yang berdiri tak jauh dari Vivian hanya diam karena tak bisa mendengar respon dari Annete. Namun dari gelagat gugup Vivian, Ghidan bisa tahu kalau gadis itu tengah ketakutan setengah mati.
“Nggak kok, gue nggak mau pinjem duit.” Vivian menunduk semakin mengeratkan pelukan pada lututnya. “Gue cuma butuh alamat tempat tinggal lo, selama di Bali. Hmmm … gue mau kirim makanan karena lo udah baik banget ngasih mobil ini ke gue.”
Vivian melirik ke arah Ghidan, namun hanya bertahan beberapa detik sebelum ia memalingkan wajahnya lagi. Ekspresi pria asing di depannya ini terlalu kaku dan tak bersahabat. Membuat nyali Vivian mendadak ciut dan tak bisa berlama-lama menatapnya.
“Udah nih, puass!” ujar Vivian pada Ghidan setelah ia mengakhiri pembicaraan dengan Annette. Gadis itu menunjukkan layar ponselnya yang menunjukkan pesan singkat dari Annete yang berisi alamat salah satu villa mewah di dekat Pantai Canggu.
“Buruan jalan,” balas Ghidan dingin sambil mengendik ke arah mobil.
“Terus gue nanti gimana baliknya, Beruang Kutub? ini udah tengah malam, duit gue habis, dan temen yang gue tumpangin rumahnya pasti udah in the hoy sama cowoknya. Nggak bisa diganggu mereka mah kalau lagi berduaan,” keluh Vivian menghentakkan kakinya.
Ghidan menarik napas panjang saat memejam sejenak. “Saya bonceng!”
“Beneran ya—”
“Setidaknya berhenti dulu jadi gadis berisik, nanti akan saya antar pulang.”
***