Cara Terakhir

1536 Words
“Kau.” Livia menepis tangan Alvaro lalu berkacak pinggang mengangkat dagu menantang pria yang jauh lebih tinggi darinya. “Sedang apa kau di sini!!” seru Livia pada Alvaro sedang berusaha membersihkan bagian pakaiannya yang kotor. Namun, semakin dibersihkan semakin melebar noda kotornya. Pria itu berdecak geram, hari pertamanya ada saja yang merusak mood. Tadi Oma Maria sekarang gadis ini, ah gadis yang semalam telah ... Ia sendiri tidak berani melanjutkan pikirannya. “Seharusnya aku yang bertanya, sedang apa kau berada di rumah oma ku,” balas Alvaro menantang tatapan tajam Livia. “Oh ternyata kau cucu oma Maria. Astaga, dunia ini terlalu sempit. Semalam kau te-“ Alvaro membekap mulut Livia agar tidak melanjutkan kata-katanya. Bisa kiamat dunia ketahuan oma Maria alamat saat ini juga mereka dinikahkan. “Tutup mulutmu, jangan sampai Oma tahu,” ancam Alvaro melihat Livia yang tersenyum menyeringai bersama tatapan penuh dendam dan kebencian. Tangannya yang membekap mulut gadis itu berhasil ditepisnya. Terserah gadis itu mau menilainya seperti apa, tidak penting juga. Semalam ia juga tidak sengaja, walau tak menampik bahwa sangat menikmatinya. Pria manapun pasti merasakan yang dirasanya semalam. “Tidak janji, soalnya mulut ini suka bicara sendiri tanpa diminta. Siap-siaplah menanggung akibat dari perbuatanmu,” cecar Livia memindai lantai yang kotor terkena tumpahan bubur ayam serta pecahan mangkuk dan gelas s**u untuk oma Maria. “Kau menantangku!! Aku bisa melakukan apa saja di luar dari dugaanmu. Lebih baik tutup mulutmu dan jangan pernah buka suara. Bekerjalah dengan baik untuk oma, kalau masih ingin umur panjang dan hidup tenang,” tegas Alvaro mencengkram rahang Livia. Livia menggigit bi bir bawah menahan sakit di pada tulang wajahnya setelah berhasil melepaskan tangan Alvaro. Pria yang aneh, pelaku yang bertingkah layaknya korban. Seharusnya yang wajib marah adalah dirinya, dari sudut mana tetap ia paling dirugikan. Apa perlu dibeberkan bentuk kerugiannya untuk menyadarkan pria sok polos atau pura-pura polos. “Tidak takut, bahkan mati sekalipun aku berani selama aku benar. Kau telah mereng-“ Livia tercekat kesulitan melanjutkan kata-kata. Terlalu sakit mengulang mengucapkan kejadian itu. “Baiklah aku tunjukan padamu di mana tempat yang cocok untukmu.” Alvaro menarik kasar lengan Livia membawanya ke halaman samping di mana terdapat kolam renang. Tanpa belas kasih dia melemparkan Livia ke kolam lalu meninggalkannya. Dia harus segera tiba di kantor, untuk pakaiannya yang kotor nanti di jalan mampir di butik milik ibunya. Livia yang tidak bisa berenang berusaha keras menuju tepi kolam. Tubuhnya hilang timbul dan nafas terengah-engah. “Tolong.” “Tolooong.” Livia melambaikan tangan sebelum tubuhnya tenggelam ke dasar kolam. Alvaro melenggang pergi seakan tidak pernah terjadi sesuatu. Beruntung salah satu pelayan melihat aksinya lalu menyelamatkan Livia. Dibantu dua temannya pelayan tersebut membawa Livia yang tak sadarkan diri ke kamarnya. Menyadarkan serta menggantikan pakaiannya yang kuyup. “Malang sekali nasibmu, Li,” ungkap salah satu dari ketiganya memandang Livia iba. *** “Aku harus menyingkirkan gadis itu dari rumah. Oma tidak boleh tahu tentang kejadian antara aku dan dia. Bisa jadi aku dinikahkan dengannya. Rugi banyak aku, gadis itu yang beruntung,” gumamnya dalam hati mengepal erat telapak tangan kekarnya. Kepalanya berdenyut dan pekerjaan di kantor tidak beres ketika pikirannya tertuju pada baby sitter sang oma. Bayang-bayang hukuman yang didapat saat ketahuan terus menghantuinya. Mengusik kenyamanan dan ketentraman pikiran bahkan hidupnya. Rasanya sangat tidak adil, dari pandangannya Livia bersikap biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa. Dan kejadian saat melempar Livia ke kolam renang juga tidak lenyap dari ingatannya. Alvaro berharap Livia kapok lalu pergi, dari caranya tadi bisa ditebak tidak bisa berenang. Takut ma ti tenggelam bisa cukup membuatnya jera. “Tapi menyingkirkannya tidak mudah. Oma sangat menyayangi dia.” “Apa sih lebih pelayan itu bisa membuat Oma yang sangat keras tunduk padanya?” “Atau jangan-jangan dia menggunakan ilmu pelet.” Alvaro bergidik ngeri lalu berdiri di dekat meja kerjanya tidak henti memperhatikan Livia dan Oma Maria. Livia sedang membawa Oma berjemur di pagi hari, sinar matahari pagi katanya baik untuk kesehatan makanya Livia tidak pernah absen mengajak berjemur. Kecuali saat Matahari tidak muncul karena mendung atau hujan deras. Selama sepekan ini, diam-diam Alvaro memperhatikan dua wanita beda generasi itu. Sekilas kedekatan keduanya mirip seperti cucu dan nenek sungguhan. Sikap Oma Maria kepada Livia sangat baik, kentara sekali bentuk kasih sayangnya. Namun, bagi Alvaro keberadaan Livia merupakan ancaman. Bagaimana pun caranya ia harus menyingkirkan Livia dari rumah dan sisi Oma Maria. Semakin cepat tentu akan lebih baik. Ia segera keluar dari ruang kerja melihat Livia membawa oma Maria masuk. Matahari yang merangkak naik membuat sinarnya perlahan terasa menyengat di kulit mengharuskan Livia mengakhiri momen jemur pagi. Alvaro mengintai gerak-gerik Livia menunggu saat sendirian tanpa ada Oma Maria di dekatnya. Cara yang biasa digunakan tidak mempan mungkin cara satu ini lebih ampuh. Saat melihat Livia sendirian Alvaro langsung menariknya menuju sebuah sudut yang tidak begitu terlihat karena tertutupi oleh sebuah guci yang besar. Livia tidak siap hanya bisa pasrah mengikuti langkah Alvaro tanpa perlawanan. Berteriak juga hanya membuang tenaga, tidak ada yang berani menolongnya. Lagian Oma Maria baru saja istirahat dan Livia tidak ingin mengganggunya. “Aku ingin kau pergi dari rumah ini,” sentak Alvaro mendorong tubuh Livia kasar hingga membentur tembok. “Salahku apa? Aku tidak buka mulut tentang kejadian malam itu,” balas Livia memegang pergelangan tangannya yang sakit akibat cengkraman Alvaro terlalu bertenaga. “Salahmu banyak, salah satunya aku tidak mau kau salah bicara tentang kejadian malam itu. Pergi dari sini, aku akan memberikan kau uang berapapun yang kau minta.” Alvaro berusaha bernegosiasi meluluhkan hati Livia lau bersedia pergi. “Pe nge cut,” seru Livia mendekatkan wajah mereka menyisakan beberapa inci bahkan hembusan nafasnya dapat dirasakan Alvaro. “Terserah kamu bicara apa yang jelas aku tidak mau image bagusku berubah menjadi buruk karena kau!!” tunjuk Alvaro. “katakan berapa minimal yang kau minta, aku kirim saat ini juga.” “Lelaki egois.” Bibir ranum Livia tersenyum sinis sejurus kemudian bibir bawahnya di majukan mengolok Alvaro yang berambisi menyingkirkannya. “Kau mau berkata seperti apa pun aku tidak peduli. Terpenting kau pergi dari rumah ini dan jangan pernah kembali lagi.” Livia melipat tangan di d**a sehingga sesuatu di balik seragamnya tercetak sempurna. Satu alis terangkat saat memindai pria yang telah menghancurkan masa depannya. “Oke. Aku ikuti kemauanmu tapi, tidak gratis. Aku punya satu permintaan,” bisik Livia berjinjit agar bisa mendekatkan bibir dengan telinga Alvaro. “Miskin aja belagu.” Alvaro menjauhkan kepalanya, dia berpikir Livia akan? Ah, sudahlah mungkin dia terlalu percaya diri. “Iya suka-suka aku. Kamu mau atau tidak.” Livia menaik-naikan alis membuat Alvaro semakin kesal. Alvaro merasa Livia besar kepala karena tahu Oma Maria sangat menyayanginya. Belum tahu saja kalau darah lebih kental dari air. Sebesar apapun kasih sayang Oma Maria pada Livia tetap saja orang lain. Sedangkan Alvaro cucu kandung di mana ada darah yang sama mengalir dalam tubuh mereka. “Cepat katakan yang kau inginkan, kau telah membuang banyak waktuku.” Livia melirik Alvaro sekilas yang semakin lama semakin aneh. Bukannya tidak ia yang menarik Livia dan mengajak bicara. Lalu sekarang seolah Livia yang menyita waktunya. Lihai juga Alvaro membolak balik keadaan agar memihaknya. “Kembalikan keperawananku. Baru aku pergi. Satu lagi kau tidak perlu susah payah memberikan aku uang.” Livia menengadahkan telapak tangan depan wajah Alvaro yang seketika memerah. “Gi la kau!!” sentaknya menurunkan tangan Livia. “Gi la? Ya aku gi la. Gila karena ulahmu yang tidak punya adab,” kekeh Livia dengan mata berkaca-kaca. Beberapa saat lalu menutup mulutnya tersadar suaranya terlalu keras. “Terserah, mau tetap tinggal di sini atau pergi. Aku sudah mengingatkanmu jangan kau menyesal nantinya.” “Kita buktikan aku atau kau yang menyesal.” Livia dan Alvaro segera berpencar ketika mendengar suara Oma Maria memanggil Livia agar segera datang. Oma Maria tadi secara tidak sengaja mendengar tawa Livia yang sedikit aneh dan memancing kecurigaannya. Beberapa kali ia sempat melihat Alvaro menunjukkan sikap tidak suka pada Livia. Begitu juga Livia yang berusaha menghindar bertemu Alvaro. Hans Maria tidak bisa menebak apa yang terjadi antara mereka. Hanya bisa di simpulkan keduanya saling membenci. “Kalian sudah saling mengenal?” tanya Oma Maria melihat Alvaro dan Livia keluar dari satu titik yang sama. Oma Maria tidak sabar menunggu kedatangan Livia karena dipanggil berulang kali lantas menarik tuas kursi roda. Keluar dari kamar mencari keberadaan sang perawat kesayangan secara langsung. Livia yang pura-pura berani menghadapi Alvaro tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa tertunduk dalam diam. Diam adalah langkah terbaik dari pada keadaan kian runyam. “Gadis ini tadi memanggilku meminta tolong membunuh kecoa,” sahut Alvaro memberikan alasan yang kebetulan melihat kecoa yang melintas. Pupil sang oma tertuju pada hewan kecil yang dijadikan alibi Alvaro seperti sedang menutupi sesuatu. Hewan itu tampak baik-baik saja tidak ada bekas siksaan dan juga sebenarnya Alvaro takut pada hewan itu. Alasan tidak masuk akal terlalu di buat-buat. “Kasihan ya kecoanya menjadi korban,” desis Oma Maria tersenyum tipis. “Ah terserah Oma. Aku pamit dulu.” Alvaro segera berlalu guna menghindari banyak pertanyaan dari sang oma jika masih bertahan di sana. Lagi-lagi usahanya gagal dan keberuntungan terus mengikuti Livia. Alvaro sangat geram tetapi tidak bisa berbuat banyak. “Terpaksa menggunakan cara terakhir,” hembusnya mengayunkan kaki kembali ke ruang kerja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD