Sepanjang perjalanan Alanis hanya diam, sedangkan Petra ketar-ketir. Takut jika Alanis pergi meninggalkannya, melihat wanitanya yang hanya diam tanpa membahas masalah yang baru saja terjadi.
Sesampainya di apartemen, Alanis langsung masuk ke dalam kamar. Duduk di atas ranjang dengan pandangan menerawang.
"Sayang..." Seru Petra sambil mengikuti Alanis ke dalam kamar, kemudian jongkok di hadapan wanitanya. Memandang wajah Alanis dengan pandangan sendu, sedangkan kedua tangannya menggenggam tangan Alanis.
"Kayaknya, Ibu kamu bener. Seharusnya kamu nikah dengan wanita lain, bukan wanita kayak aku. Pengangguran, janda lagi."
"Lani!" Tekan Petra dengan sorot keras.
"Aku nggak suka kamu bicara seperti itu."
Alanis lantas memandang wajah Petra dengan datar. "Kenapa? Itu memang kenyataannya kan? Lagian kedua orang tua kamu itu harus tahu, kalau aku emang janda."
"Aku nggak nyalahin kamu, untuk kamu jujur sama orangtuaku. Tapi aku nggak suka, kamu merendahkan diri kamu sendiri Lan."
Mendengar Petra yang kembali membelanya membuat dirinya memalingkan wajah ke arah lain.
"Aku nggak akan batalin rencana pernikahan kita, sekalipun orangtuaku tidak merestui. Aku tidak peduli, aku akan tetap menikahimu."
Jika wanita lain diposisi Alanis, mungkin akan tersentuh dan semakin mencintai Petra. Tapi ini Alanis, wanita yang sudah tidak percaya akan cinta.
"Kau tidak akan menyesal? Menikahi wanita sepertiku?"
Petra jelas menggeleng tegas, dengan sorot mata yang lembut.
"Tidak, aku sudah memimpikan hal seperti ini bersamamu."
Alanis mendengus yang membuat Petra tersenyum.
"Kau benar-benar mencintaiku ya?"
"Sangat, dari dulu hingga sekarang."
"Ck dasar pembual, aku tidak percaya kata-katamu."
Petra malah menarik tangan Alanis, membuat wanita itu tertarik ke hadapannya. Sehingga wajah Petra dan Alanis begitu dekat, hidung mereka nyaris bersentuhan.
"Tak apa, kau cukup perhatikan saja semua sikapku. Dan kau akan menilai, aku mencintaimu atau tidak." Jelasnya kemudian melumat bibir Alanis, keinginannya sedari tadi.
Pada awalnya Alanis hanya diam, mendapat serangan tiba-tiba dari Petra. Namun kini Alanis mengalungkan kedua tangannya dileher Petra, lalu membalas ciuman calon suaminya itu dengan sama bergairahnya. Dan sudah seperti yang sudah, sudah. Jika pada akhirnya mereka kembali memadu kasih untuk yang kesekian kalinya.
***
Orangtua Petra benar-benar menentang keras keinginan anaknya untuk menikahi Alanis. Berbagai cara telah dilakukan orangtua Petra untuk memutuskan hubungan dengan Alanis. Salah satunya dengan Petra yang selalu kedatangan seorang wanita di klinik bersalin. Wanita itu mengatakan jika dia adalah wanita yang telah dijodohkan dengan Petra. Petra jelas tidak setuju dan menolak, karena Petra tetap keukeuh pada pendiriannya. Tidak hanya sekali Petra kedatangan wanita tak di undang, melainkan berkali-kali dengan wanita yang berbeda pula. Petra tak ingin Alanis salah paham pun selalu mengatakan pada calon istrinya itu. Yang sayangnya tidak sesuai ekspektasi Petra, misalnya Alanis cemburu. Petra tidak sedikitpun melihat calon istrinya itu seperti itu, Petra justru disuruh untuk menerima saja wanita yang disodorkan ibunya pada Petra. Yang jelas Petra tolak mentah-mentah.
Mungkin Alanis pun masih marah padanya, karena sampai saat ini dirinya masih bekerja sebagai dokter kandungan. Petra belum menyerahkan surat pengunduran, dia masih bingung akan bekerja di mana. Dan untungnya Alanis masih mau menerimanya, apakah dia melamar saja bekerja di perusahaan Adjie? Tidak-tidak jika dirinya bekerja di sana, Alanis pasti menentang keras. Wanita itu tidak akan mau jika harus berhubungan dengan Adjie. Terakhir kali mereka berhubungan dengan Adjie dan keluarganya tahun lalu, saat Raline menelepon Alanis. Wanita itu yang baru diketahui Petra jika Raline sahabat wanitanya, menelepon untuk meminta maaf. Meminta maaf atas apa yang diperbuat, karena Raline akan menikah dengan benar dalam artian sah di mata negara.
Sebenarnya di sini tidak ada yang salah, mereka sudah ditakdirkan harus seperti ini. Menderita dahulu lalu berbahagia, meskipun dirinya tahu jika di sini yang menderita bukan hanya Alanis saja tapi juga Raline. Mereka berdua menderita, hanya saja Raline lebih ikhlas dengan takdirnya berbeda dengan Alanis. Dan menurutnya itu wajar, melihat dari kondisi psikis Alanis selama ini.
Perceraian orangtua Alanis dulu, membuat psikis wanitanya jadi seperti ini. Dia tidak menyalahkan Alanis juga yang mempunyai mental lemah, itu wajar bagi anak dari keluarga broken home. Selalu anak yang menjadi korban. Begitu Adjie hadir dalam kehidupannya, membuat Alanis berpikir jika dirinya tidak akan melepaskan Adjie bagaimanapun caranya. Alanis yang tidak ingin perceraian orangtuanya menurun kepadanya, membuat Alanis melakukan segala cara mempertahankan Adjie. Untuk tetap berada di sisinya, yang berakhir Alanis ikut terluka.
Hari ini pasien yang datang ke klinik bersalin tidak banyak, dan dirinya bisa cepat pulang. Tapi sepertinya dia tidak akan langsung pulang, dia akan menemui ayahnya. Ada sesuatu yang ingin dia bicarakan dengan ayahnya itu.
***
Alanis terbangun dari tidur nyenyaknya, ketika dirinya akan bangun. Sebuah lengan kekar memeluk tubuhnya, membuat dirinya mengurungkan niatnya untuk bangun. Alanis tahu, lengan siapa ini yang memeluk tubuhnya. Tapi dia tidak tahu kapan Petra pulang, karena ketika dirinya tidur pun, Petra belum kembali dari pekerjaannya.
"Jangan bangun, temani aku tidur." Ujar Petra serak, sambil terus memeluk tubuh Alanis dengan mata yang masih tertutup.
Alanis diam, mengikuti perkataan Petra.
"Kau tidak bekerja?" Tanya Alanis setelah beberapa saat hening.
"Bekerja di mana?"
Alanis mendengus sambil mencubit gemas lengan Petra, membuat pria berkacamata itu meringis kesakitan.
"Sakit sayang." Keluhnya dengan manja sambil mempererat pelukannya.
"Serius, ini sudah siang. Kau akan dipecat nanti."
"Kau khawatir jika aku dipecat? Manis sekali." Balasnya, dengan membenamkan wajahnya pada leher Alanis yang terhalang oleh rambut.
Alanis kembali mendengus, namun kali ini perasaannya berdebar. Berdebar akan tindakan Petra yang selalu intim kepadanya.
"Ck tentu saja, kalau kau dipecat bagaimana hidup kita? Katanya kau mau menikahiku?!"
Petra seketika tertawa mendengarnya, tawa yang membuat Alanis terkadang selalu merasa nyaman. Pria itu membalikkan tubuh Alanis, agar bisa melihat wajah wanitanya.
Alis Alanis tertarik ke atas melihat wajah tampan Petra tanpa menggunakan kacamata. Mata Petra berwarna cokelat terang, terlihat memukau di matanya, berbeds dengan mata milik Adjie. Berwarna hitam, dingin dan sedikit menakutkan, jika pria itu memandangnya terlalu intens. Sialan berhenti untuk memikirkan pria itu, Lan.
"Kau mau menemaniku belanja?"
Alanis mengernyitkan keningnya.
"Kau tidak melantur?"
Petra tekekeh sambil mencubit hidung Alanis gemas, yang membuat wanita itu mengaduh.
"Aku sepertinya memerlukan beberapa pakaian untuk ku bekerja."
"Bukan kah kau sudah punya banyak? Lagi pula di klinik pun pasti diberika secara cuma-cuma kan?"
"Klinik? Siapa yang mau pergi ke klinik?" Tanya Petra main-main membuat Alanis memutarkan bola matanya.
"Jika kau terus bermain-main, aku akan meninggalkanmu di sini." Ancam Alanis yang mulai beranjak dari tidurnya.
Petra segera menahannya.
"Maaf, aku senang menggodamu."
"Aku sudah resigne dari klinik itu. "
Mata Alanis membulat, tak percaya dengan perkataan Petra.
"Kau serius?"
Petra mengangguk.
"Kenapa? Apa karena perkataanku dulu?" Tanya Alanis lagi.
Petra diam beberapa saat, kemudian menggeleng.
"Tidak, sudah saatnya aku kembali meneruskan perusahaan ayahku."
Mata Alanis memicing, tidak semudah itu percaya.
"Jangan berbohong, itu pasti karena perkataanku kan?"
"Tidak sayang, itu bukan karena ucapanmu. Aku juga sudah bosan setiap hari selalu melihat kelamin wanita lain ketika bersalin."
Alanis mendengus tidak percaya.
"Aku tidak percaya kalau kau bosan, kau pasti kesenangan."
Petra menggeleng lalu tertawa, gemas sekali melihat tingkah cemburu Alanis.
"Kau cemburu?" Tanya Petra balik yang membuat Alanis melotot mendengarnya.
"Kau demam ya? Bicaramu dari tadi melantur."
Petra kembali tergelak mendengar ucapan Alanis, ia dengan gemas menarik Alanis ke dalam pelukannya, memeluk tubuh wanitanya dengan erat. Menenggelamkan wajah Alanis ke dalam dadanya, Alanis yang kesal akan tindakan Petra hanya memukul-mukul punggung calon suaminya itu. Napasnya sesak, karena Petra mendekap wajahnya erat.
"Lebih baik kita tidur lagi, aku masih mengantuk." Ucap Petra yang kembali memejamkan matanya. Sedangkan Alanis hanya bisa pasrah akan tindakan Petra.
***
Pesta pernikahan itu digelar begitu khusu dan khidmat, di hadiri oleh keluarga kedua belah pihak dan beberapa rekan dari Petra. Sedangkan Alanis? Tidak, Alanis tidak mengundang seorang pun teman. Dia tidak memiliki lagi teman, bahkan Raline saja tidak dia beritahu pada Adjie pun sama, dia tidak memberitahu mantan suaminya itu. Sesuai dengan keinginan dirinya yang ingin menutup semua masa lalunya dengan Adjie dan keluarganya. Biarlah orang-orang menyebut dirinya kekanakan dia tidak peduli, mereka tidak pernah tau apa yang dirasakannya selama ini.
Pada akhirnya orangtua Petra menyetujui anaknya menikah dengan Alanis, apa mau dikata. Petra rela keluar dari klinik demi Alanis dan bekerja di perusahaan keluarganya. Mungkin itu menjadi alasan kedua orangtua Petra untuk merestui pernikahannya dengan Alanis.
Tidak ada yang aneh dengan pernikahan Petra dan Alanis, semua berjalan lancar sebagai mana semestinya. Petra yang memuja Alanis, dan Alanis yang masih belum bisa membuka hatinya pada Petra. Mereka berdua tidak pernah bertengkar seperti pasangan suami istri pada umumnya, kebayakan Petra mengalah pada Alanis. Dan di lain kesempatan Alanis yang mengalah pada Petra.
Karena Petra anak satu-satunya di keluarganya, Petra dan Alanis selalu mengunjungi kedua orangtuanya. Setiap dua minggu sekali, atau sebulan sekali mereka bergantian mengungjui keluarga masing-masing. Petra selalu diterima oleh orangtua Alanis, sedangkan Alanis? Kedua orangtua Petra masih saja belum menerima sepenuhnya. Terkadang mereka selalu menyindir Alanis, yang jelas tidak mempan bagi Alanis. Sampai pada puncaknya, mereka kembali menanyakan soal anak.
Ketika mereka mulai menanyakan anak, sekali dua kali Alanis akan membalas dengan santai. Tapi ketika setiap bulan ditanyakan dengan waktu pernikahan mereka yang kedua. Alanis mulai muak, dia selalu menolak jika Petra mengajaknya untuk menemui orangtuanya. Selalu ada alasan bagi Alanis untuk menolak, dan Petra memaklumi. Mungkin bagi Petra, mereka belum pantas atau siap menjadi orangtua. Makanya mereka belum diberi momongan juga hingga saat ini. Tapi terkadang Petra penasaran dan ingin mengetes Alanis, apakah kondisi rahim istrinya itu baik-baik saja atau tidak. Tapi, begitu dirinya mengutarakan keinginannya untuk konsul atau mengikuti program hamil. Alanis kembali marah, dan membuat mereka kembali bertengkar. Puncaknya hari ini, keluarga Petra sedang ada acara pernikahan. Petra mau tidak mau harus datang, karena sepupunya itu dekat dengannya. Tapi Alanis tidak mau, karena Alanis tahu jika dirinya akan kembali disudutkan oleh keluarga Petra.
"Ayolah sayang, hanya sebentar."
"Tidak, kau bisa pergi sendiri."
"Lan,"
"Tidak!"
"Aku sudah muak mendengar ocehan keluargamu tentangku!"
Petra yang sudah rapi dengan tuxedo hitamnya menghela napasnya berat, mengusap wajahnya dengan kasar. Kemudian berjalan menghampiri sang istri yang tengah duduk di sofa kamar sambil memakan camilan.
"Maafkan keluargaku oke, itu pasti membuat hatimu terluka."
"Tentu saja, selama dua tahun ini mereka selalu mencampuri pernikahan kita!"
"Karena mereka menyangi kita."
"Omong kosong macam apa itu! Mereka bukan menyangi kita, tapi mereka memang senang mengurusi kehidupan orang lain."
"Lebih baik kamu pergi saja sekarang, sepupu kesayanganmu sudah menunggumu." Sindir Alanis yang membuat Petra kembali menghela napasnya.
"Apa aku terima saja tawaran ibu mertuamu ya? Menginjinkan kamu menikah lagi, misalnya." Sahut Alanis santai, kelewat santai malah. Berbeda dengan tubuh Petra yang menegang di tempatnya.
***