Lavi berjalan terseok karena cekalan serta tarikan Pras yang cukup kuat. Tak peduli berapa kali ia tersandung, pria itu terus saja menyeret Lavi. Sang gadis juga tak akan mau sekadar merintih kesakitan. Semuanya ia telan dan mengunci rapat bibirnya. Jangan sampai pria itu tahu kalau dirinya kalah. Meski rasa sakit itu semakin mendera mulai membuat gemetar tubuhnya makin jadi.
Dadanya terluka, ia tahu. Rasa panas yang menjalar juga masih belum mau pergi. Nyeri sekali setelahnya. Kalau terus dibiarkan, Lavi bisa terkena infeksi. Apalagi Lavi tak tahu benda seperti apa yang pria sialan itu gunakan.
Sementara Pras berjalan dengan pongah juga memendam kesal. Urusannya dengan Diskotek Flown membuat suasana hatinya memburuk. Terlebih melihat Lavi menantangnya seperti tadi. Akan ia beri hukuman yang setimpal karena sikap kurang ajar gadis keras kepala ini.
Dalam sekali sentak, Lavi didorong masuk ke dalam ruangan yang dibuka dengan paksa. Beberapa orang yang berjaga di sekitar pintu itu langsung menutup kembali dan berjaga di sana. Begitu Lavi menyadari ruangan ini jauh berbeda dari sebelumnya, ada rasa gelisah yang mulai menguasai. Tapi Lavi tetaplah Lavi. Tak akan ia biarkan ketakutan menguasainya.
Apa tarikan pada tubuh Lavi sudah terhenti? Belum. Pras masih menyeret gadis berambut panjang itu dengan kasar sampai tepian ranjang besar. Sekali lagi, dengan amarah yang besar, ia dorong Lavi sampai setengah terpelanting di tengah ranjang. Hebatnya gadis itu tak menatap Pras dengan sorot takut. Malah mata hitam itu terus saja menantang Pras. Padahal, apa yang ia lakukan biasanya berhasil membuat ringisan juga rintihan permintaan ampun dari para tawanannya.
Tapi Lavi berbeda.
Sialnya, Pras merasa tertantang untuk bisa menundukkan Lavi.
“Mau apa lo?” tanya Lavi begitu menyadari dirinya terbaring di ranjang. Sempat sepersekian detik tadi ia merasa pusing karena sentakan di ranjang ini. Ia pun beringsut mundur dengan cepat. “Pergi, b******n!”
“Ini rumah gue,” kata Pras sembari menyeringai tipis. Tangannya juga mulai melucuti pakaiannya sendiri. Sontak saja hal ini membuat Lavi terbeliak.
“Keluar!” usir Lavi dengan suara lantang.
“Ini kamar gue, Neng.” Pras terus mendekat.
Gadis itu mulai terlihat gemetaran. Sorot matanya tak lagi terlalu berani seperti tadi. Sampai Lavi benar-benar ada di depannya, Pras baru berhenti. Tak bisa bergerak lagi selain karena punggung gadis itu sudah tepat mengenai kepala ranjang, Pras juga mengungkungnya. Mata Pras bergerak liar menikmati tiap ketakutan yang sudah menguasai Lavi sekarang.
Tangan gadis yang tadi dicekalnya meninggalkan bekas kemerahan. Dipergunakan oleh sang gadis untuk mencengkeram kuat bagian atas kemejanya yang terbuka. Satu tangannya berusaha untuk menahan Pras agar tak terlalu mendekat. Wajahnya sekarang tak lagi menatap pria yang kini terkekeh puas.
“Tadi lo pandai banget maki-maki gue, nantang mata gue, keras kepala juga.” Pras semakin mempertipis jarak hingga ujung hidungnya tepat berada di ceruk leher Lavi yang putih. Tanpa sadar, Pras menggeram tertahan. Aroma manis yang menguar dari tubuh Lavi semakin membuat hasratnya terpacu. Dihirupnya perlahan area leher Lavi dengan sengaja. “Sekarang?” tanya Pras sepelan mungkin. “Sudah hilang?”
Yang Pras tak duga, telapak tangan itu tepat mengenai wajahnya dengan telak. Sontak Pras sedikit melonggarkan kungkungannya. Bukan karena sakit yang mendadak pipinya rasakan, tapi ia tak menyangka kalau Lavi masih menyimpan keberanian yang cukup besar. Diusapnya perlahan bekas tamparan tadi. Pras terkekeh geli jadinya.
Karena hal itu juga, Lavi berhasil menghindar. Dengan cepat ia menuruni ranjang besar yang empuk itu. Berlari menuju pintu dan berusaha untuk membukanya. Meski tahu itu sebuah kesia-siaan, Lavi tak putus asa. Siapa tahu, ada yang berbaik hati menolongnya di antara sekumpulan serigala ini.
“Buka pintunya!” teriak Lavi ke sekian kalinya. “BUKA!”
Pras memilih untuk duduk di tepian ranjang. Kemeja yang tadi ia lucuti, teronggok begitu saja di lantai. Ia tak berniat untuk kembali mengenakannya. Ia butuh sesuatu yang bisa menurunkan emosinya. Mungkin … mandi?
“Lo teriak saja sepuas lo, Neng. Enggak akan ada yang dengar.”
Lavi menoleh dan berdecih sinis melihat Pras.
“Gue kasih tahu jalan keluar, gimana?” Pras mengusap ujung hidungnya. Berdiri sembari memasukkan kedua tangan di saku. Berjalan pelan pada Lavi yang menatapnya dengan tajam. Pras terus mengikis jarak sampai ia berada di depan gadis itu.
“Jauhi gue!” desis Lavi dengan nada tak suka.
“Gue lagi baik, Neng, biarpun pening.” Pras mengusap wajah Lavi dengan lembutnya. “Balkon kamar ini langsung menuju jalan keluar. Lo bebas pakai. Gue mau mandi.” Pria itu semakin mendekat pada Lavi. Sengaja. Menatap Lavi dari jarak sedekat ini memang sangat menyenangkan.
“Pergi,” katanya pelan.
Lavi tak lantas percaya, tapi melihat Pras sepertinya serius dengan kata-kata barusan, ia pun menyingkirkan Pras begitu saja. Kepalanya penuh dengan pertanyaan apa benar Pras membebaskannya begitu saja? Tapi ini kesempatannya, kan? Ia tak akan menyia-nyiakannya. Lavi mempercepat langkah menuju balkon, tak lagi menoleh sekadar memastikan kalau Pras masih di sana.
Namun ….
“Berani lo loncat dari balkon, lo tinggal nama, Neng.”
Gerak Lavi membuka pintu balkon terhenti begitu saja. Angin yang menerpa wajahnya begitu kencang. Lavi tak bodoh untuk tahu kalau ia berada di tempat yang cukup tinggi. Apa ia tak menyadari berapa banyak anak tangga yang ia pijaki tadi?
Sial! Lavi, astaga! Tak bisakah ia berpikir jernih?
“Lo mau terjun tinggal nama, atau mau mandi bareng sama gue?”
“Berengsek!!!”
Pras terbahak kuat, tapi langkahnya lebar mengarah pada Lavi yang kini melotot menatapnya. Pria itu harus memberi sedikit pelajaran pada Lavi. Di mana gadis itu semakin mengarah ke tepian balkon.
Rambut panjang tergerai itu berantakan diterpa angin. Apa Pras tak peduli? Semakin ia mendesak Lavi, semakin gadis itu tahu, kematian sangat dekat dengannya.
“Pergi!” kata Lavi begitu ia merasakan punggungnya menyentuh bibir balkon.
“Perlu gue tegaskan berapa kali kalau ini rumah gue?” Pras melangkah satu kali. Lavi tak akan berani mengambil tindakan bodoh. Sorot matanya mengatakan hal itu dengan jelas.
“Jangan mendekat!” Lavi mencengkeram tepian balkon dengan kuatnya. Ia memejam kuat, mengabaikan segala hal yang berputar di kepalanya. “Atau gue loncat!”
“Silakan. Bukan urusan gue. Kalau lo mati, mayat lo bisa jadi stok makanan anjing peliharaan gue, kok,” sahut Pras dengan entengnya. “Lo lihat ketinggian balkon ini.”
Sumpah demi apa pun, Lavi pusing melihat ke bawah. Jaraknya jauh sekali. Kalau ia nekat terjun dari balkon ini, sudah dipastikan dirinya tewas di tempat.
Lavi gemetar karena Pras benar-benar tak mau menjauhinya barang sejengkal. Semakin menyudutkan dan membuat tubuhnya semakin terdesak. Bahkan ia merasakan bagaimana permukaan d**a Pras bertubrukan pelan dengan dadanya yang tak tertutup dengan benar.
Gadis itu juga tahu saat sorot mata Pras mulai mengarah pada dadanya yang terbuka dan terluka. Segera saja Lavi tutup dengan menarik kemejanya.
Pras terkekeh pelan. “Sudah gue cicipi tadi. Bekasnya juga masih ada.”
“Lo benar-benar berengsek, ya.” Lavi berkata dengan pelannya. “b******n seperti lo seharusnya enggak ada di dunia ini!”
Dalam sekali gerak, wajah Lavi berada dalam cengkeraman kuat Pras. Sengaja ia buat sedikit mendongak agar mata mereka saling bersihadap.
“Jaga ucapan lo, Neng!” Pras tak serta merta melepaskan Lavi karena setelahnya, ia labuhkan satu cium cukup dalam juga kasar. Tak ia beri sedikit pun pasok udara pada Lavi yang terlihat gelagapan karena ciuman penuh tuntut ini.
Sampai ia merasa ada pukulan kecil di bagian dadanya. Berasal dari Lavi. Sebenarnya ia belum ingin menyudahi, tapi pukulan itu terus diterima. Akhirnya Pras mengalah. Hal itu jelas membuat Lavi tersengal. Jejak basah serta bengkak yang Pras tinggalkan kentara sekali di belah bibir Lavi.
“Itu yang bakalan lo terima kalau sering memaki gue, Neng.”
Lavi mendongak sambil mengatur laju napasnya. Dicium dengan paksaan serta di bawah tekanan Pras membuat dirinya merasa begitu rendah. Hanya sekilas ia menatap pria yang kini menatapnya dengan pandangan remeh. Gadis itu memilih untuk menunduk sembari menahan segala gejolak yang membadai di hatinya.
Lavi tak pernah sanggup membayangkan hari-hari yang akan ia lewati di sini. Bisa jadi … ia segera menggeleng pelan menepis bayangan kelam yang harus ia jalani.
“Bagus kalau lo mengerti,” kata Pras yang melihat gelengan pelan dari Lavi. “Ikut gue.”
Gadis itu mengangkat matanya. Menatap punggung Pras yang berjalan menjauh.
“Atau lo mau loncat?”
Lavi menggeram tertahan, tangannya terkepal kuat sekali. “Mau ke mana?” Ia memberanikan diri bertanya. Hal itu juga membuat langkah Pras terhenti. Sang pria menoleh dan memberi tatapan serta seringai licik.
“Mandi. Gue bilang tadi, kan, kita mandi.”
***[]***
Lavi diam bagai patung. Matanya tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Seolah semuanya hanya mimpi. Ia meraba bagian d**a yang masih sedikit nyeri. Terbungkus plester berbalut obat luka serta pakaian yang ia kenakan jauh lebih layak ketimbang sebelumnya.
Belum genap satu jam ia mengalami kejadian yang cukup membuatnya terkejut. Sangat terkejut malah.
Lavi tak berani membantah apa yang Pras katakan mengenai ‘mandi’. Ia sudah pasrah seandainya … ya, Tuhan! Lavi sangat menjaga dirinya. Jangan sampai orang lain menyentuhnya sebelum pernikahan. Ah, tololnya Lavi. Apa yang bisa ia harapkan sekarang? Dirinya penjamin hutang yang tak akan bisa dilunasi. Artinya … ia dijual, kan?
Bahkan pria itu juga sudah menyentuh bibir dan dadanya.
Gadis itu menggeleng kuat sembari terus mengikuti langkah Pras ke kamar mandi. Lavi terkejut dengan ruangan yang cukup besar dilengkapi dengan bath up. Pun ruang ini berlapis kaca di mana ada shower besar di salah satu dindingnya. Seperti kebanyakan desain kamar mandi untuk kalangan kelas menengah ke atas.
Pras benar-benar mandi.
Tak peduli dengan keberadaan Lavi yang tertunduk dalam menghadap pintu. Bisa gila rasanya Lavi kalau sampai memperhatikan bagaimana pria bertubuh kekar dengan banyak tato di punggung itu ditimpa derasnya guyuran shower. Bagi Lavi, kamar mandi ini tergolong mewah. Wasfatel dengan cermin besar dilengkapi beberapa botol sabun serta perlengkapan khas pria.
Lavi lupa kalau Pras ini preman berkedok rentenir yang pastinya memiliki banyak uang. Untuk memiliki rumah besar seperti ini pasti hal yang lumrah.
Begitu kucuran shower terhenti, jantung Lavi rasanya ikut berhenti berdetak. Ia tak sanggup membayangkan kalau ….
“Sini,” perintah Pras.
Tuhan! Bisakah cabut nyawa Lavi sekarang saja?
“Gue bilang sini, Neng!”
Lavi berbalik dengan gemetar, pandangannya tetap mengarah pada lantai marmer yang dingin ini. Ia juga melangkah penuh perhitungan sampai ia merasa melayang.
“ARGH!” Ia tak menyangka kalau Pras menggendongnya. Mendudukkannya pada wastafel yang ada. Mata pria itu mengarah tepat pada d**a Lavi yang kembali terbuka. “Mau apa lo?” tanya Lavi begitu menyadari tatapan itu kembali mengarah ke sana.
Dasar preman b******n m***m!!! Maki Lavi dalam hati.
“Buka,” perintah Pras tanpa ingin dibantah.
Lavi masih merasa syok.
“Lo yang buka atau gue?”
Segera saja tangan Lavi membuka kemejanya. Rasanya malu sekali begitu kemeja itu terlepas dan menyisakan ia yang hanya mengenakan bra.
“Kalau luka ini enggak segera diobati, lo bisa sakit.”
Lavi menatap Pras dengan tajam serta sinisnya.
“Enggak usah menatap gue seperti itu, Neng,” kata Pras dengan kekehan. “Gue yang berbuat, gue juga yang bertanggung jawab. Lo tenang saja, Neng.”
Gadis itu memalingkan wajah tak suka. Ia pikir, Pras meninggalkannya begitu saja karena mendengar langkah sang pria menjauh. Tapi tidak. Pras kembali dengan membawa satu kotak P3K. Pria itu penuh telaten mengobati luka bakar yang Lavi alami. Tak ada gerakan yang kasar, semuanya dikerjakan Pras sangat lembut.
Wajah Pras kali ini terlihat lebih manusiawi ketimbang sebelumnya. Rambutnya yang tebal juga setengah basah, diperhatikan dengan penuh lekat oleh Lavi.
“Sebenarnya gue pengin banget tidur ditemani sama lo, Neng.” Pras menyudahi pengobatan pada luka Lavi. Untuk dua hari ke depan pastinya luka itu sudah jauh lebih baik. “Tapi gue tahu, lo pasti kesakitan karena tanda ini.”
“Lo yang bikin gue begini!”
Pras tertawa. “Memang. Sengaja juga.”
Lavi ingin sekali membulatkan tekad sekadar untuk memberikan Pras satu pukulan kencang di kepalanya. “Apa mau lo sebenarnya?”
“Lo,” tukas Pras dengan entengnya. “Yang gue mau cuma lo.”
Mereka tak ada yang saling melepaskan tatapan. Yang satu penuh benci, satu lagi penuh minat.
“Suatu saat lo bakalan tahu kenapa tanda ini hanya milik orang-orang tertentu.”
Sudah.
Setelahnya, Pras pergi begitu saja. Meninggalkan Lavi seorang diri di kamar besar itu. Sampai Lavi keluar dari kamar mandi pun, sosok Pras memang tak ada. Yang ada hanya satu setel pakaian baru serta makanan yang terlihat lezat. Hal itu pun menyisakan tanya yang sangat besar dalam benak Lavi.
Kenapa?