[ Daddy 04 - Kenangan Siera ]
Jangan lupa tekan Tap Love dan Komen ya guys!
.
.
.
Happy Reading!
.
.
.
[“Kami menyayangimu, Siera.”]
Satu kalimat yang begitu lembut mengalun dalam benaknya, sosok mungil Siera menatap berbinar bagaimana kedua orang itu menggenggam tangannya, langit sore yang indah menyempurnakan semua. Walau mereka kini tengah berjalan kaki setelah puas bermain di taman dekat rumah.
Bagi Siera itu saja sudah cukup, berada di samping kedua orangtuanya. Tertawa bersama, melihat langit sore sembari memikirkan masakan apa yang akan dibuat oleh sang ibu.
Genggaman hangat itu tidak akan pernah Ia lupakan, begitu erat sampai-sampai dia sendiri takut. Kalau suatu hari nanti, Siera kehilangan mereka.
Ayah, ibu. Mereka yang selalu menerima, menyayanginya sepenuh hati. Kebahagiaan Siera terasa lengkap, dia tidak perlu apapun lagi.
Tubuh mungilnya kadang melayang karena tarikan kecil, Siera tertawa senang. Menengadah, menatap sosok ibu dan ayahnya berulang kali.
[“Siera, juga sayang ibu, ayah!!”] Terucap lantang tanpa ragu.
Siapa yang menyangka kalau akan datang hari dimana ketakutan Siera berubah menjadi kenyataan. Hari itu, suara dering telephone rumah berbunyi terus menerus, tepat setelah beberapa jam kepergian kedua orangtuanya menuju Singapure guna menjenguk saudara di sana.
Karena Siera sedang menjalani ujian saat itu, dia terpaksa tidak bisa ikut. Alhasil Siera hanya bisa menginap di rumah sepupunya saja. Siera menganggap kalau dia tidak punya lagi nenek ataupun kakek.
Orangtua dari ibunya sudah lama meninggal, sementara orangtua dari sang ayah seolah tidak menghiraukan keluarga Siera lagi. Mereka membenci keputusan sang ayah karena lebih memilih menikah dengan ibunya yang berasal dari keluarga biasa, dibanding menikah dengan wanita terpandang.
Menikah dan hidup dengan kemampuan mereka sendiri. Siera sendiri tidak pernah mempermasalahkan itu. Asalkan dia bisa bersama ayah dan ibu, semua sudah cukup baginya.
[“Pesawat menuju Singapura mendadak tidak bisa terdeteksi. Sinyal hilang di tengah perairan. Saat ini tim sedang mencari keberadaan pesawat tersebut.”]
Sebuah berita terpampang jelas di manik Siera. Gadis berusia 13 tahun itu seolah bisa mengerti, mengingat Singapura adalah tempat yang ingin dikunjungi oleh ayah dan ibunya.
Melihat wajah paman, dan bibinya yang pucat pasi. Satu hal yang pasti. Hari itu, saat hujan turun dengan deras, informasi mengenai kedua orangtuanya yang hilang menjadi trauma terbesar bagi Siera.
[“Semua kru dan penumpang pesawat sudah kami temukan, tapi sayang tidak ada satupun diantara mereka yang bisa kami selamatkan.”]
Siera bukanlah gadis bodoh yang tidak mengerti apapun. Dia hanya berusaha tak percaya, dan berpikir kalau ayah, ibunya masih bisa diselamatkan. Mereka pasti baik-baik saja.
Mereka janji setelah pulang dari sana, keduanya akan mengajak Siera berjalan-jalan di taman bermain terbesar di Jakarta!
[“Maafkan, kami Siera.”]
Bayangan wajah kedua orangtuanya yang menangis, membuat tubuh gadis itu tersentak, buliran air mata mengalir. Salah satu tangan Siera bergerak hendak menggapai mereka,
Tapi sayang dia tidak bisa-
[“Belum waktunya kau ke sini, Siera.”]
[“Kami akan selalu melihatmu dari atas, putriku.”]
“Ayah, ibu-”
Tubuh Siera memberontak, dia ingin berlari, menggapai, lalu memeluk mereka. Siera ingin ikut bersama mereka! Siera sudah tidak ingin tinggal di sini lagi!! Dia tidak punya siapapun lagi, tak ada yang memihaknya!
Siera sendirian.
[“Mulai hari ini, kami berdua yang akan menjadi wali Siera.”]
Gerakan gadis itu terhenti seketika, mengingat suara dan ucapan itu dengan jelas. Sesuatu menarik tubuh Siera untuk kembali sadar, meski dia tidak mau.
“Ugh-ayah—ibu-”
Saat manik Siera terbuka sepenuhnya, tubuhnya tersentak, berjengit kaget. Napas Siera terengah, dengan sedikit peluh mengucur dari pelipisnya,
Dia kembali sadar. Rambut teracak dan kepala terasa sedikit pusing, gadis itu mendecak kecil.
“Hhhh---mimpi itu lagi-”
.
.
.
.
.
.
Bus terhenti tepat di area tak jauh dari sekolahnya. Suara klakson kecil dan panggilan memanggil nama Siera. Saking seringnya gadis itu menaiki bus, supir bus sampai hapal namanya.
“Siera, kita sudah sampai!” Memanggil nama Siera kembali, gadis itu tersadar sepenuhnya. “A-ah, iya, maaf Pak!” Bangkit, mengambil tas dan memperbaiki pakaiannya.
Siera langsung saja menuju ke depan, memasukan uang sebagai tip seperti biasa. Sementara sang sopir bus mendengus geli melihat tingkah Siera, “Ketiduran, Non?”
Tersenyum malu, “Iya, Pak. Kemarin malam saya tidak bisa tidur soalnya,” jawabnya cepat.
Gara-gara siapa Siera tidak bisa tidur dengan tenang?! Dua orang pengganggu yang tidak pernah lelah membuatnya kesal!
“Maaf ya, Non tadi saya tidak bisa bantu,” Tidak lupa mengucap maaf, manik Siera mengerjap bingung. Dia langsung ingat, kejadian tadi. Gadis itu langsung terkekeh, “Tidak apa-apa, Pak. Saya bisa kok lawan mereka sendiri,” ujarnya yakin.
“Lain kali saya larang saja mereka naik, Non.”
Hanya membalas dengan tawa, bel sekolah terdengar cukup kencang. “Terimakasih, Pak!” Gadis itu bergegas keluar, padahal dia sudah berusaha datang pagi, tapi tetap saja terlambat!
Menegapkan tubuh, manik Siera menatap ke depan. Sembari menggenggam tasnya sekilas, gadis itu menarik napas panjang. Satu hari akan Ia lewati di tempat ini,
Padahal belum beberapa minggu dia sekolah di sini. Tapi sepertinya gadis itu sudah mendapat banyak sekali musuh,
“Berjuanglah, Siera,” bisiknya pelan. Melangkah masuk ke dalam gedung sekolah.
.
.
.
.
.
‘Hah,’ desahan tipis terdengar sekilas, seperti yang dia duga. Tiada hari baginya untuk berangkat sekolah dengan tenang. Tidak di rumah, atau di sini, semua sama saja.
“Oh, lihat berandalan kita datang!”
Suara yang cukup melengking terdengar jelas saat Siera masuk ke dalam kelas, rambut pirang yang tergerai dan anting tindik tentu menjadi bulan-bulanan mereka.
Manik Siera menatap datar, ‘Mereka lagi,’ Para gadis di dalam bus tadi, mereka ternyata datang lebih cepat. Suara tawa mengejek tergaung dalam kelas, tak ada yang berani melawan, beberapa teman justru ikut tertawa.
Tatapan sinis mereka sudah biasa bagi Siera, gadis itu kembali melangkah dengan santai. Menuju meja miliknya. Tepat berada di belakang, tapi saat dia sampai. Alis itu tertekuk bingung,
‘Kursiku dimana?’ Tidak ada kursi, hanya meja saja yang kotor oleh tulisan aneh. Ah, kekanakan sekali. Menggeleng kecil. Tak jauh dari posisi Siera, beberapa jendela menarik perhatiannya. Melangkah sigap, melirik ke bawah.
Kursinya sudah ada di taman belakang, ‘Ah, kursiku di sana,’ batinnya lagi. Masih terlihat santai, melihat benda itu sudah rusak karena terjatuh dari lantai dua. Sekarang dia harus duduk pakai apa?
“Astaga, siapa yang berani mengusik tempat duduk berandalan di kelas kita?!” Lima orang tadi dengan beruntun terus menyindir, dan yang lain hanya tertawa tanpa ada niat untuk membantu.
Berdiri dengan manik menatap tegas, “Apa kau yang membuang kursiku? Sendirian atau berlima, karena kalau sendiri kekuatanmu benar-benar seperti gorilla,” balas mengejek dengan nada sinis.
Wajah salah seorang gadis langsung memerah, ketua dari geng yang mengejeknya di bus tadi, Amelie Tasya. Rambut hitam pendek yang dibuat gelombang sebagus mungkin, salah satu penguasa sekolah karena pengaruh ayahnya yang menjadi penyumbang dana di sini.
Siapa yang tidak takut padanya?
Mungkin hanya Siera saja.
“Kau menyebutku apa?!”
Siera mendengus, berjalan mendekati mejanya, gadis itu langsung mengambil sebuah kursi di dekatnya, sembari mengeluarkan handphone, merekam semua kondisi di kelas.
“Kalian tahu kalau teknologi sekarang sudah berkembang begitu pesat? Kemarikan kursimu,” Mengancam seorang gadis yang sejak tadi ikut tertawa melihat Siera. Belum sempat gadis itu melawan, “Ti-tidak, ini kursiku!”
“Kau mau video ini kubuat live di Insta-ku? Kira-kira seperti apa reaksi mereka nanti?”
“Uhk!” Tanpa basa-basi, dengan wajah pucat gadis itu langsung bangkit, tidak bisa melawan.
“Jangan berikan kursinya!”
“Maaf, Amel.”
Siera tersenyum ringan, memperbaiki rambutnya yang sedikit berantakan, “Kalian ini masih saja seperti anak kecil, memalukan.” ujarnya singkat
Belum sempat terjadi pertengkaran, derap langkah perlahan mendekat. Siera langsung bergegas duduk, tak peduli gadis di sampingnya tidak dapat tempat duduk. Dia hanya mendengus tak bersalah, Amelie pun begitu, diikuti semua anak buahnya. Saat pintu terbuka,
Seorang wanita berdada besar yang tadi sempat mengalihkan perhatian Siera di pagi hari sudah ada di depan sana, ‘Lho, bukannya tadi ibu Amanda ada di rumah?’ Membatin bingung,
Wanita cantik yang sanggup menawan hati semua lelaki karena lekukan tubuh dan wajahnya saja. Sikap ayu nan lembut, senyuman meleleh ditambah lagi beliau sudah cukup lama menjanda.
Incaran Arkhiel, lelaki pencinta kucing.
“Selamat pagi, anak-anak. Maaf Ibu sedikit terlambat karena ada urusan penting tadi,” Sekilas manik mereka saling bertatapan. Amanda masih tersenyum bahkan melempar kedipan singkat pada Siera. Gadis itu langsung teralih.
“Seperti yang kalian tahu, hari ini kita akan ada inspeksi langsung dengan kepala sekolah baru yang akan menggantikan Bapak Richard selama beberapa tahun ke depan.”
Inspeksi?! Sial!
Kening Siera tertekuk, dia tahu sekali siapa kepala sekolah baru itu. Sekilas mendengus, ‘Ck, aku harus mencabut anting-anting ini,’
“Tolong periksa kembali tas kalian, ingat tidak ada yang boleh melanggar. Ingat tidak ada barang berbahaya, rambut, pakaian, semua akan dicek. Paham?”
Ah, sial. Sepertinya hari ini Siera benar-benar tidak beruntung.