3//2
Bagian bumi yang dilewati oleh garis katulis tiwa bagian asia dari Asia Tenggara yang tidak lain adalah Indonesia sudah menyapa matahari sehingga kini kegelapan lenyap untuk sementara dan digantikan dengan terang bernerang waktunya orang-orang bekerja.
Seorang gadis berumur 18 tahun sedang menyapu bagian dalam toko kue tempat ia bekerja, setelahnya ia membereskan meja yang agar meja tetap bersih dan cantik. Yuuna berpenampilan seperti biasa menggunakan hijab pasmina dililit keleher hingga tidak membuat ia kesulitan untuk bergerak ke sana dan ke sini. Yuuna memang mempunyai tugas berkerja dari pagi sekali sampai menjelang petang. Maka dari itu Yuuna memiliki waktu petang yang panjang dan ia manfaatkan untuk belajar mengerjakan soal matematika dan kimia dari buku yang ia beli, jujur ia hanya sekolah lulusan SMP dan tidak lulus SMA karena saat kelas XI ia terpaksa berhenti karena ia dibawa oleh Romi untuk bekerja di kota karena kedua orang tua mereka sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu. Yuuna yang tidak memiliki keluarga lain selain Romi, mau tak mau ia mengikuti kemauan Romi, tetapi satu tahun ini Romi menjadi kasar dan selalu menyiksanya hingga puncaknya Romi menyeretnya dari tempat kerjanya sebagai seorang kasir mini market dan kebetulan ia sudah akan pulang lalu tiba-tiba Romi datang dan menyeretnya pergi begitu saja. Dengan kasar Romi menamparnya menarik rambutnya untuk mengikuti langkahnya dengan beberapa temannya saat itu.
Tiba-tiba satu suara mengalihkan perhatian Yuuna yang sedang merapikan roti-roti yang ada di rak bagian depan dekat dengan dinding kaca depan. “Yuu… selamat pagi!” sapa suara perempuan yang suka tidak ingat umurnya yang sudah 25 tahun tetapi masih seperti seumuran dengan Yuuna yang baru saja 18 tahun itu.
“Pagi… juga kak Indri,” jawab Yuuna dengan nada tidak seperti Indri yang sangat semangat sambil tersenyum.
“Semangat atuh Yuu… kita cuma beberapa hari lagi loh kerja di sini, terus kita akan bekerja di luar kota! Yuuhu… everybodihhh…! Indri coming!” teriak Indri dengan semangat paginya.
“Biasa deh kak, udah tua juga suka lupa umur nih orang,” celetuk Jaeyo yang memang dia yang selalu berkomentar di depan Indri secara langsung.
Indri yang mendengar ejekan Jaeyo, langsung merubah gerakannya yang awalnya mengangkat tangan dengan semangat agar aura positifnya juga tertular pada rekan kerjanya yang lain kini malah berganti dengan wajah masam dan tangan yang mengecak pinggang tanda ia kesal dengan orang yang baru saja mengatainya yang tidak lain Jaeyo musuh baginya di toko tersebut. “Ada masalah?! Daripada kamu umur 22 tapi energy kaya kakek-kakek lamban gak punya semangat hidup,” kecus Indri sambil menatap Jaeyo dengan tatapan tajamnya, mereka seperti sedang mengibarkan bendera perang kubu masing-masing dan tidak ada yang mau mengalah. “Kamu juga seperti anak-anak tidak boleh mengatai orang yang tua darimu seperti tadi,” nasehat Indri sambil tersenyum mengejek pada Jaeyo. Indri juga berjinjit untuk memberikan usapan di kepala Jaeyo yang jauh lebih tinggi dari Indri.
Sedangkan Jaeyo, ia hanya hanya terdiam mendapatkan perlakuan seperti itu dari Indri. Jaeyo menatap lekat wajah Indri yang sangat dekat dengannya itu, Jaeyo melihat kening, alis mata, mata Indri, pipi Indri, hidung, bibir, lalu kembali lagi di mata yang masih saja menunjukkan kebahagian itu. Jaeyo membenci satu fakta yaitu tentang ia tidak suka kebahagiaan Indri saat itu. “Kamu masih menganggapku anak kecil. Padahal apapun yang aku lakukan dan membuat masalah padamu adalah caraku agar kamu melihatku dan memberikan senyuman itu, senyum dan tawa yang menjadi canduku,” batin Jaeyo kemudian ia tersenyum tipis setelah Indri benar-benar melepaskan kepalanya dan kembali dengan posisi yang benar.
“Jangan bengong dan senyum gitu, kamu malah jadi mirip psikopat,” seru Indri memperingatkan Jaeyo sambil tertaawa kecil. Tetapi jauh di dalam hatinya ada rasa tidak rela dengan tawa itu, tawa yang sebenarnya menertawakan dirinya sendiri, kebodohannya.
Sedangkan mereka yang menyaksikan drama dari Indri dan Jaeyo hanya bisa menyimak percakapan mereka dan tatapan mereka yang sudah dapat dideskripsikan bahwa mereka sebenarnya saling sayang tetapi diantara mereka tidak ada yang cerdas untuk mengungkapkannya hanya memendamnya dan meninggalkannya disebuah catatan café di pesanan coffe seperti biasa yang dilakukan Jaeyo mengungkapkan perasaannya tetapi percuma tidak akan ada satupun orang yang menyadarinya.
“Mereka itu saling tidak sadarkan?” tanya Harumi berbisik pada Yuuna yang sedang berdiri di sampingnya untuk menjaga kasir.
“Aku juga tidak tau pasti dan aku tidak bisa menebaknya,” jawab Yuuna karena ia sendiri masih ragu terhadap ekspresi dari masing-masing orang itu terutama kepada Indri, ia tahu Indri karena ia sering bermalam di rumah Indri atau rumah kontrakan Yuuna bersama Harumi dan juga Mika.
Indri memang terbilang orang yang selalu terlihat bahagia, cerewet, dan sangat penyayang. Tetapi, untuk masalah hatinya sendiri ia seperti orang yang tidak peduli pada diri sendiri. Maka dari itu yang Yuuna lihat, “Kak Indri menyembunyikannya,” batin Yuuna.
Kini dua orang itu masih cekcok dengan urusan mereka sendiri. Hingga suara deheman dari seseorang yang baru saja masuk melalui pintu masuk toko terdengar di telinga mereka, “heemmmhm! Heeemmhm!”. Mendengar deheman keras tersebut sontak mereka secara bersamaan melihat kearah pintu masuk dan melihat ada bos mereka yaitu Ibu Jamal sedang berdiri di sana sambil tersenyum mengangkat kedua alisnya mengisyaratkan, “ada apa ini?”.
Mereka terdiam sambil cengengesan membenarkan posisi berdiri mereka masing-masing karena merasa segan dan malu pada sang bos.
“Pagi Bu…” sapa Indri pertama. Ia memang selalu menjadi pertama dalam hal mencairkan suasana karena ia pun yang paling tua di antara kariyawan Jamal yang lain.
“Pagi juga Indri,” balas Bu Jamal sambil tersenyum dan berwibawa. Lalu Ibu Jamal melihat kearah kariyawannya yang lain.
“Pagi Bu…” sama mereka secara bersamaan sambil tersenyum dengan sopan termasuk juga Yuuna dan Harumi yang berada di balik meja kasir.
“Pagi juga semuanya,” balas Bu Jamal dengan ramah. “Semangat bekerjanya,” ucap Bu Jamal dengan memberikan ucapan semangat pada karyawannya.
“Baik Bu…” jawab bersama kariyawan Bu Jamal. Sedangkan Yuuna dari tadi merasa sangat gugup, ia sendiri tidak mengerti dengan perasaannya seperti akan ada sesuatu yang terjadi berikutnya.
Sebelum Bu Jamal naik ke tangga menuju lantai dua dimana di sana adalah letak kantornya, ia melihat kearah Yuuna dan Indri secara bergantian lalu berkata, “hari ini Ibu ada yang ingin Ibu bicara pada Indri dan Yuuna, silahkan satu jam lagi langsung ke kantor Ibu.” Bu Jamal tersenyum lalu tanpa meminta persetujuan dari dua kariyawan yang ia sebut tadi, ia melanjutkan langkahnya untuk naik satu persatu anak tangga menuju kantornya yang berada di lantai 2.
“Baik Bu…!” jawab Indri dengan semangat.
“Baik Bu…” jawab Yuuna lirih.
Karena jawaban Yuuna yang lirih dan pelan membuat Harumi yang berada di sampingnya bingung, ia pun melihat kearah Yuuna dan sedang terdiam seperti memikirkan sesuatu.
“Kamu baik-baik aja Yuu…?” tanya Harumi sambil menatap khawatir Yuuna.
Yuuna yang sadar Harumi bertanya padanya, ia pun balas melihat kearah Harumi membalas tatapan Harumi lalu ia tersenyum, senyuman yang sangat terpaksa dan penuh kegundahan. “Aku tidak apa-apa,” jawab Yuuna dengan suara pelan sambil memberikan senyumannya pada Harumi.
“Berceritalah jika ada sesuatu yang menjadi buah pikiranmu, walau aku belum tentu bisa membantumu tetapi setidaknya kamu akan sedikit ringan jika ada yang mendengarkan kegundahanmu,” ujar Harumi seakan ia bisa membaca pikiran Yuuna yang sedang mengalami kegundahan.
Yuuna tersenyum lembut pada Harumi. “Aku tidak apa-apa, terimakasih kamu sudah mengkhawatirkanku,” ucap Yuuna seakan ia bisa mengatasi kegundahannya agar tidak membuat khawatir sahabatnya itu.
“Baiklah aku tidak akan memaksa, tapi ingat jika kamu ingin bercerita katakana saja padaku,” ucap Harumi sambil tersenyum ramah dan menyentuh bahu Yuuna.
Yuuna mengangguk sebagai balasan untuk ucapan Harumi tadi. Lalu mereka kembali fokus pada pekerjaan mereka memperhatikan keadaan toko dan juga melayani pelanggan mereka pagi itu.
Di tempat lain terlihat seorang laki-laki dewasa sedang mencoba mentrapi kakinya agar masa penyembuhannya lebih cepat. Sudah satu bulan gips yang melekat pada kakinya di lepas, tetapi kakinya masih belum sempurna bergerak seperti sebelumnya ia bergerak.
“Pelan-pelan saja Jun…” tegur sang nenek pada cucunya tersebut.
Laki-laki itu bernama Junni yang tinggal bersama neneknya menemani sang nenek dimasa tuanya, sedangkan kedua orang tuanya berada di Arab.
“Iya Nek… Nenek di sana saja jangan membantuku, aku sedang berusaha… duh!” ucap Junni yang sedang berusaha melangkan kakinya yang terseret untuk melangkah dengan baik, karena ia bosan untuk terus duduk di kursi roda walau gips yang mengekang kakinya yang patah sudah dilepas.
“Iya… Nenek-kan memperingatkanmu, kalau dipaksa mau patah lagi!” ujar sang nenek dengan sadisnya. Sang cucu yang mendengar ucapan sang nenek malah menghela nafas kasar, begitulah sang nenek yang ucapannya selalu menyakitkan tetapi ia sangat sayang pada neneknya.
“Untung Nenek sendiri, untung sayang,” ucap Junni sambil melanjutkan langkahnya dengan pelan dan hati-hati. Ia sedang berlatih melangkah di halaman rumahnya yang cukup luas dan sangat rumbun dengan tamanan sang nenek. Lebih tepatnya bukan tanaman sang nenek, karena sang nenek hanya menyuruh orang untuk menanamnya dan ia akan mengatur letak-letak tanaman yang ia inginkan tersebut di halaman rumah bahkan mengelilingi rumah dimana tanah rumah itu terbilang sangat luas.
“Iya untungkan Nenek Maria yang menjadi Nenekmu,” celetuk sang nenek. Junni memang harus ekstra sabar menghadapi neneknya yang sangat ajaib itu. Junni tidak membalas ucapan sang nenek dan hanya melanjutkan langkahnya secara perlahan karena ia tidak ingin saat ia mengajar terus-terus harus menggunakan kursi roda yang membuat dirinya kesusahan dan tidak bisa bergerak bebas untuk mengajarkan mahasiswanya.
“Jun! kamu lihat kacamata Nenek tidak?!” teriak sang nenek dari tempat duduknya tadi. Mereka tidaklah memiliki jarak yang jauh tetapi karena sang nenek memangnya itu ajaib, mau tak mau Junni berbalik dan melihat kearah sang nenek, dan dimana saat pertama kali ia melihat sang nenek yang sibuk mencari kacamatanya yang tidak ia temukan, sedangkan kacamata itu Junni lihat ada di atas kepala neneknya sendiri. Junni melihatnya hanya menghelakan nafas dan geleng-geleng kepala, ia sangat ingin berlari kepada sang nenek yang sudah membesarkannya itu lalu mencium seluruh wajah sang nenek yang sangat menggemaskan menurutnya.