Hari demi hari telah aku dan umi lalui, setelah meninggalnya ayah dan kami di usir oleh bundanya ayah, umi tak pernah putus asa, umi selalu semangat dan bangkit dari masa lalu, umi tak pernah patah semangat, selalu berusaha untuk mencari uang yang halal, membiayai hidupku, pengasuhku dan umi sendiri dengan pengalaman, keahlian dan titel sarjananya umi melamar pekerjaan di perusahaan-perusahaan maupun di tempat lain sehingga umi mendapatkan pekerjaan di perusahaan ternama, tak hanya itu umi juga sering mengajarkan ibu-ibu maupun anak-anak belajar mengaji jadi umi dan aku tak kesusahan dalam materi.
Beranjak aku usia 10 tahun, aku juga membantu umi dalam prestasiku dan kelebihan ku, aku bisa menghafal Alquran, berbahasa, dan bernyanyi, jadi kadang ada lomba aku sering mendapatkan juara dan uangnya aku kasih umi, biar nanti tabunganku banyak.
Mengingat aku sudah lulus SD, jadi aku melanjutkan ke pondok pesantren Al-Khoiriyyah Cikulur, selama 5 tahun aku di sana dari Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah plus aku ngabdi di sana, lulus dengan umuran yang sangat belia yaitu 15 tahun, waktu itu aku tak ingin meninggalkan umi sendirian jadi aku menangis tak mau masuk pesantren, hebatnya umi, ia selalu buat aku luluh, semangat, percaya diri dan berkomitmen bahwa setelah lulus dari sana aku akan membahagiakan umi dengan prestasiku maupun dengan kerja kerasku.
“Mumtaz! Sini nak,kemari!” Panggil ibu kepadaku.
“Iya umi ada apa?” Tanyaku.
“Sebelum Mumtaz pergi ke pesantren, umi ingin memberikan sesuatunya buat Mumtaz” katanya.
“Apa itu umi!” Tanyaku dengan mata berbinar.
“Umi membelikan 10 pasang baju syar’i lengkap dengan hijabnya, cadarnya, handshock, kaos kaki dan sepatu” ucap umi, lalu menoleh kepadaku yang berdiri bingung.
“Kenapa Mumtaz, kok masih berdiri di situ, ayo! Sini duduklah!” Umi mengepakkan tangannya ke pinggir ranjang agar aku duduk di sebelahnya.
Aku masih bergeming dengan posisi berdiri dan bingung,
“Mii, itu semua buat Mumtaz? Tapi kenapa Mumtaz harus pake baju yang seperti itu?” Tanyaku pada umi.
“ Sinilah duduk dulu, akan umi ceritakan kenapa umi membelikan ini semua untukmu” perintah umi.
“Tapikan mii, Mumtaz tak memintanya, biarlah Mumtaz seperti ini saja sederhana, yang penting tutup aurat” lalu duduk di dekat umi, aku masih dalam keadaan bingung.
“Baiklah anakku Mumtaz yang manis, kau harus tahu nak, bahwa semakin hari kau semakin dewasa dan itu akan memperlihatkan kecantikanmu, kau sangat cantik karena kau seperti orang Arab dan turki, lalu itu akan menjadi salah satu bahaya untukmu sendiri terutama orang tuamu, dulu umi ingin sekali mempunyai ini semua dan memakainya, akan tetapi umi tak mampu membelinya, karena keadaan yang tak bisa mendukung, tapi umi ingin anak umi yang cantik ini bisa memakai cadar supaya tak menimbulkan masalah di masa depan maupun akhirat kelak, lakukanlah ini anakku, bukan hanya karena umi tapi melainkan Allah SWT” ucap umi panjang lebar.
“Baiklah umi, Mumtaz akan memakainya karena Allah SWT dan umi” aku tersenyum dan langsung memeluk umi, ada rasa bangga dalam diri ini, mempunyai seorang ibu yang luar biasa hebatnya.
“Mumtaz anakku, pakailah mulai dari sekarang dan sampai kau tiada nanti” pesan umi kepadaku.
“Iya umi, In Syaa Allah, aku akan Istiqomah untuk memakainya, terima kasih umi, aku sayang umi” sambil aku mencium pipi umi yang tak memakai cadar, yah memang umi tak memakainya karena beberapa faktor jadi ia hanya memakai baju syar’i dan hijab panjang.
“Iya, sama- sama anakku” giliran umi mencium keningku yang di lapisi hijab.
Tiba saatnya aku harus pergi meninggalkan umi dan bi Laras untuk menimba ilmu di pesantren.
Awal-awal aku tak betah dan sering menangis tapi dengan seiring berjalannya waktu aku bisa melalui semuanya, belajar seperti mereka yang tak merasakan kesedihan, banyak hal yang aku dapatkan di sana, tak hanya pengalaman dan ilmu, melainkan teman-teman yang baik pengetahuan yang jauh lebih luas yang aku dapatkan di sekolah SD, yah dulu umi memasukkan ku ke sekolah SD bukan MI yah karena dulu jauh dari Madrasah Ibtidaiyah, jadi umi tak tega memasukkan ku ke sana karena sama harus tinggal di sana seperti Mts dan MA.
Beberapa bulan berlalu, aku orangnya cepat akrab, dan hanya aku satu-satunya murid yang masih kecil kalau di lihat usia tapi cara berfikir, bertingkah dan berbicara aku seperti seumuran mereka, mungkin sebegitu istimewanya aku jadi Allah pun memberikan kelebihan yang tidak orang lain miliki.
Aku punya teman 4 yaitu Siti Nuralisah, Pia Purnamasari, fitriani dan Mintarsih, kami berteman dengan baik dia sana, belajar bersama, bermain bersama, jajan bersama, di hukum dan bercanda bersama.
“Hei temen-temen! Kalian udah hafal juz berapa? Dan hadist nya udah berapa? Malam ini jadwalnya kita setoran hafalan ke ustadz dan ustadzah” tanya dari salah satu temanku yang bernama Fitri.
“Aduuhhh gimana nih? Ana belum menghafalnya, nanti pasti kena hukum lagi” jawabnya dengan gelisah yaitu pia.
“Iya nih, ana baru menghafal dua atau tiga ayat dan hadist” ucap alisah.
Tiba-tiba Mimin memandangku dengan heran karena hanya aku saja yang biasa-biasa saja mendengarnya, lalu menoleh kepadaku dan bertanya,
“Kok aku heran yah, setiap ada tugas dari ustadz dan ustadzah kau selalu saja santai seakan semuanya biasa-biasa saja, padahal kalau kita tak mengahafalnya kali ini kita akan di hukum lebih berat lagi oleh ustadz ah!” Tanya Mimin dengan herannya.
“Oh iya! Kita semua panik takut di hukum karena tak menghafalnya tapi kau tak panik?, sungguh aneh!” Timpal Fitri.
“Alhamdulillah temen-temen, ana sudah menghafalnya Al Qur’an sejak ana kecil dan hadist ana baru saja mengahafalnya beberapa munggu yang lalu, dan Alhamdulillah ana sudah menghafalnya” aku hanya berkata jujur dengan tersenyum.
“Wow,,,amazing! Mumtaz kau tak berbohong kan? Jika benar, berarti kau ini memang anak yang genius, hanya dalam beberapa hari kau sudah menghafal semua hadist yang ada di kitab Bulughulmaroom dan yang lainnya!” Tanya mereka dengan tidak percaya.
Begitulah hari- hariku di pesantren, menjadi murid tercerdas dan terbaik di Madrasah, menjadi lulusan dengan nilai tertinggi yaitu Mumtaz ( istimewa) dan setalah lulus aku di tugaskan untuk mengabdi di Madrasah dalam satu tahun, lulusan tercepat dengan nilai yang bagus dalam usia yang sangat belia memang tak bisa di remehkan, sedangkan teman-teman ku mereka masih di sana walaupun aku sudah keluar dari pesantren.
Tak menutup tali persaudaraan dan persahabatan di antara aku dan mereka, walaupun aku sudah lulus dan meninggalkan pesantren tapi tetap aku selalu datang ke sana, karena melupakan jasa adalah hal yang paling sulit aku lakukan.
(Bangkit, berusaha dan berjuang adalah langkah yang utama untuk seseorang yang berada dalam kegagalan maupun kesedihan).