11

2119 Words
Aku tidak tahu kenapa. Tapi berat rasanya ketika berusaha buat tidak peduli. Terasa ada noda lekat menempel di sekitar jantung yang tidak mau lepas. Aku masih bisa bernapas lancar seperti sedia kala. Tapi tidak tahu kenapa d**a ini rasanya sesak sekali setiap kali bernapas. Aku ingin menahan rasa sesak ini sendiri, agar tidak terlihat oleh orang lain kalau aku sedang merasa tidak baik-baik saja. Tapi ingin juga rasanya menumpahkan rasa ini ke bunda, ke ayah, atau ke Nissa. Agaknya, sementara aku harus duduk diam bersama angin dan menumpahkan segalanya. Esoknya, suasana menjadi semakin canggung karena Malik tidak bertegur sapa denganku. Bagaimana harus bertegur sapa, melirik saja tidak. Yang biasa rewel mengajak ke kantin, malah ganti diajak ke kantin. Yang biasanya ngobrolin tentang buku, malah lebh asyik bersenda gurau dengan orang lain. Mulai hari ini pun, Rada mulai pindah dari bangku sebelahku. Enggar menjadi perempuan yang terpaksa tempat duduknya diambil alih oleh Rada, sekarang duduk di sebelahku. Dan dia merupakan orang pertama yang menyadari keanehan antara aku dengan Rada. Lalu disambut dengan rasa penasaran lain dari Ica dan Fyora yang juga memberikan pertanyaan yang sama. Sesekali Edward dan Dicky juga ikut memastikan apa yang terjadi denganku dan Rada. Demi apapun, keadaan ini sangat menggangguku. Beberapa ada yang menanyakan, sejak kapan Malik dekat dengan Rada, aku hanya apatis. Aku tidak tahu menahu dan tidak menjawab pertanyaan mereka. Hingga aku menepis egoku dan menanyakan ke Edward soal itu barangkali dia tahu. Awalnya, Edward memang tidak tahu menahu dan juga dia sungkan untuk menanyakan langsung ke Malik karena dianggap masalah itu terlalu privasi. Menyadari raut wajahku yang sedikit berubah, Nissa menggertak. “Si Malik udah punya cewek? Kirain dia coba deketin kamu loh, Grace.” Aku nggak menanggapi itu. Yang jatuhnya membuat Nissa mengambil kesimpulan sendiri karena melihat aku yang dianggap seperti dipermainkan oleh Malik. “Kurang ajar! Belum lama umurnya di sekolah ini, sudah berani nyakitin orang!” Belum sempat aku membalasnya, dia pergi ke arah kelas di saat yang lain sudah pulang. Hanya menyisakan Malik dan Rada yang ada di dalam. Nissa setengah berlari menuju kelas dan aku mengejarnya dari arah belakang dan meneriakinya supaya tidak melakukan apapun. Tidak hanya reputasinya, namun juga aku semakin terlihat banyak masalah akhir-akhir ini. Dia tidak mempedulikanku dan tetap menerobos pintu kelas. Aku tidak punya pilihan lain selain juga harus turut ikut terlibat dalam amarahnya Nissa yang sebenarnya aku nggak butuh dia melakukan itu. Tapi tetap aku mengerti kalau reaksinya itu adalah manifestasi kepeduliannya padaku, sayangnya terhadapku. Sesaat Malik ngobrol dengan Rada, dengan sedikit bersenda gurau, Nissa mendekat dan mencengkeram kerah baju dari Malik. Hal itu membuat Malik langsung mendongak seketika. Melihat Nissa melakukan itu, sejurus kemudian Rada berdiri dari duduknya dan berusaha mendorong Nissa menjauh dari Malik. Aku berusaha melerai keributan itu. “Apaan, sih?! Dateng-dateng cari ribut!” “Maksudmu apa, ha?! Koen pacaran ambek de’e? (Istilah bahasa jawa kasar yang artinya: kamu pacaran sama dia?) Malik tidak sempat menjawab apa-apa. Aku menarik Nissa dengan paksa dan berusaha mengajaknya keluar kelas, sebelum keributan ini di dengar oleh orang lain. Aku nggak mau semakin terekspos gegara masalah yang tidak jelas dan tidak terlalu berhubungan denganku sebetulnya. “Nggak masalah denganmu gimana, Grace?! Kamu kira aku nggak merhatiin kamu yang dari kemarin diajak keluar terus sama Malik? Terus sekarang maksud dia apa?!” Nissa menggertak. “Ya, tapi sekarang bukan waktu untuk emosi dengan teriak-teriak, bahkan sampai merusak hubungan persaudaraanmu sama dia…” “Dia bukan saudaraku! Aku nggak menganggap dia sebagai sepupu kalau dia nggak bisa menghormati sahabatku, apalagi secara terang-terangan di depan mataku dia menyakiti seorang perempuan.” “Udah, Niss. I’m okay, kok.” Setelah itu kami pulang dengan perasaan yang masih menyisakan kesal. Aku yang membonceng Nissa. Aku nggak mau kekesalannya tadi sampai terbawa di jalan. Selama di jalan, dia diam saja. Aku coba merayunya supaya tidak perlu khawatir soal diriku. Mungkin di matanya, baru kali ini aku terlihat dekat dengan laki-laki. Sekalipun dekat dengan laki-laki, aku dibuat sakit hati. “Jangan tetap memasang wajah seperti itu di depan bunda,” pintaku. Begitu turun dari motor, dia mengangguk takzim. “Dia bilang akan ke rumahku buat menjelaskan maksud dia,” tutur Nissa. Honestly, aku tidak mengambil pusing soal ini. Tugas sekolahku justru lebih mendesak dan lebih penting untuk aku kerjakan. Daripada memikirkan Malik yang tidak punya kejelasan. Aku cuma berdeham, itu sudah membuatnya mengerti kalau aku mendengarkan ucapannya. *** Belum lama ini, keteraturan hidupku dikendalikan penuh oleh perasaan. Hanya sesaat aku mengandalkan pikiran karena hanya untuk sedikit mengingatkan. Kapan aku harus makan, kapan aku harus bangun untuk mengejar impian. Ternyata benar, semakin kita melibatkan perasaan, akan sangat sulit untuk meminimalisir kekacauan. Tapi, selama ini, aku masih hidup dengan keteraturan. Namun, mengapa aku bisa mengundang lawan? Padahal aku berusaha agar tak terlalu terlihat mencolok di mana-mana. Aku nggak bisa memungkiri kalau berubahnya Malik memang mempengaruhi kebiasaan hidupku selama dua bulan terakhir ini. Yang biasanya dengan sikap jahilnya, mengupayakan segala cara untuk sekada mengajakku pulang bersama. Yang sering menipu Nissa untuk mengambil alih tempatnya di jok motor depan. Yang sering meminta ditemani ke toko buku dan membicarakan karya John Grisham untuk mengolah pikiran. Kini, jauhnya dia membuat kinerja otakku menjamur. Agaknya, untuk menjaga biar otakku tetap waras, aku harus semakin giat berlatih mengerjakan soal matematika dua kali lipat di saat sikap Malik masih dalam arus ketidakjelasannya. Aku masih berusaha untuk menafikkan persoalan ini untuk tidak terlalu ambil pusing. Toh, Malik bukan siapa-siapaku. Tapi, meskipun begitu, dia adalah temanku yang membuat kehidupan di sekolahku semakin terasa menarik. Tidak sesepi sebelum-sebelumnya. Hanya dia yang mampu menjangkau idealisme-ku hanya dalam kurun waktu dua sampai tiga bulan. Yang bagi orang lain untuk melakukan itu sangatlah sukar. Kak Tio saja yang berusaha menggapaiku sejak aku masih kelas sepuluh, masih kepayahan melakukannya hingga butuh sampai waktu satu tahun berlalu, itu pun dia tidak punya pengaruh apa-apa yang krusial dalam keseharianku. Di lain sisi, hal ini berdampak dengan gimik di kelas. Sebelumnya aku bisa bertingkah biasa saja, memimpin ketertiban kelas dengan lugas, berbaur dengan wajar bersama teman-teman, bersenda gurau. Namun akhir-akhir ini, aku belum bisa melakukan segala sesuatu secara maksimal. Masih penuh rasa canggung yang mengganggu. Mengatur kelas yang akan bertugas menjadi regu upacara senin depan. Sementara Malik hanya membuang muka dan memilih menjauh berdua dengan Rada. Ini sangat mengganggu. Kalau tidak cepat-cepat dibereskan, akan semakin mengganggu proses belajarku juga. Dan akan mempengaruhi keadaan kelas di mana aku adalah ketuanya. Kalau sampai itu terjadi—keadaan kelas semakin tidak harmonis sebab ketuanya memiliki masalah pribadi—bisa-bisa aku yang kena tegur wali kelas pertama kali. Setelah aku mengatakan pada teman-teman untuk bisa meninggalkan lapangan upacara karena kami sudah selesai berlatih, aku pergi ke kantin bersama Ica dan Fyora. Waktu itu Ica dan Fyora berjalan lebih dulu dan aku tertinggal karena sedang mengikat tali sepatu. “Mau pacaran sama Tio?” “Hah?” responsku padanya sambil melirik sosoknya yang bertubuh tinggi itu. Aku masih mengikat tali sepatu. “Sejak kapan kamu di situ?” tanyaku. Dia tidak menggubris. “Kamu tadi ngomong apa?” tanyaku agak sedikit tenang. Sebenarnya aku samar-samar mendengar ucapannya tadi. Tapi aku sengaja menyuruhnya untuk menanyakan ulang. “Mau pacaran lagi sama Tio?” “Lagi?” Alisnya naik-turun, pertanda jawaban iya. “Emang aku pernah?” “Bukannya kamu nolak ajakanku ke kantin waktu itu dan memilih berduaan dengan Tio di tribun lapangan basket?” Oh, jadi gara-gara kesalahpahaman ini yang membuatnya akhir-akhir ini terlihat beda? “Tahu nggak? Sikapmu itu bener-bener freak! Kalau pun aku pacaran sama Tio, apa hakmu buat marah? Asal kamu tahu ya, Malik Adnan Pratama! Waktu itu aku habis wawancarain dia soal tim ekskul basket. Kalau Kak Tama masuk, aku juga ogah buat wawancarain Tio. Lagi, tahu apa yang aku obrolin sama ke Tio? Nggak, kan? Lalu apa hakmu buat sok dingin ke aku? Aku nggak masalah kamu kayak gitu. Tapi, anak-anak yang lain ngiranya kita ada masalah. Lain kali, sebelum menjudge orang, setidaknya kamu punya alasan yang tepat. Aku nggak nyangka, kamu punya sisi bodoh kayak gini,” tegasku. Aku sampa lepas kontrol telah menyebut nama Kak Tio tanpa sebutan “Kak”. Tapi nggak masalah, biar Malik tahu kalau kondisi emosiku bagaimana. “Kalau nggak pacaran, kenapa harus berdua?” Dia masih membantah. “Hah?! Terus kamu menyimpulkan kalau aku lagi ngomong berdua sama cowok, berarti aku pacaran sama dia? Bodohnya kamu ini!” Setelah memaki dia, aku pergi meninggalkannya. Di satu sisi aku merasa lega sebab sudah tahu alasannya kenapa dia berubah. Di sisi lain aku juga agak merasa bersalah telah mengucapkan sesuatu yang penuh dalam kendali amarah padanya. Bukan suatu hal yang biasa aku lakukan. *** “Katanya dia udah ngomong sama kamu?” “Udah.” “Ya, semalem itu dia ke rumah. Ngomong panjang lebar, menye-menye pokoknya. Aku baru tahu kalau sisi lain dari sosok Malik yang penuh dengan riwayat berandal juga bisa menye-menye. Terakhir, dia nitip salam ke aku buat disampein ke kamu, supaya kamu maafin dia.” Aku terdiam sejenak. “Aku nggak anggap itu sebagai kesalahan, jadi nggak perlu minta maaf juga. Kesalahan pengambilan kesimpulan seperti itu terjadi di kepala, jadi dia cukup perbaiki isi kepalanya aja.” “Wah! Bijak banget, sih, sahabatku yang cantik ini…” Nissa memelukku manja. “Baru tahu?” “Ish!” Kami berada di tepi rawa yang letaknya tidak jauh dari rumah Nissa. Kami biasanya menghabiskan waktu sore untuk menunggu senja ya, di sini. Atau kalau misalnya dari kami yang suasana hatinya lagi kacau. Ya, pasti larinya ke sini. Ada kalanya memang bercengkerama dengan semesta sambil disuguhkan cahaya temaram sangat menenangkan. Kamu harus coba. “Tahu nggak sih, Grace? Kita nggak bisa menentukan kalau kita bakal merasakan jatuh cinta sama siapa. Meski kita punya tipe laki-laki idaman, itu nggak menjamin kalau kita akan jatuh cinta ke laki-laki yang kita idam-idamkan itu. Cinta itu nggak bisa diprediksi, juga nggak bisa dipilah-pilah berdasarkan alasan subjektif. Cinta akan datang bila memang tepat diperuntukkan buat kita.” Nissa mengalunkan cerita. Aku mendengar sambil menikmati cahaya temaram. Suara gelembung air yang bermunculan di permukaan. Burung-burung cantik mulai kembali pulang ke rumahnya. “Sebelum kenal Pra, aku menginginkan tipe laki-laki dengan kualifikasi a,b,c,d. Yang pintar secara akademis, ganteng, baik, punya tingkat sosialisasi yang tinggi, romantis, dan yang penuh pengertian. Tapi aku mengerti, semua itu hanya nafsuku sendiri untuk menginginkan kesempurnaan dari laki-laki yang bisa bersamaku. Padahal cinta tidak seperti itu. Cinta nggak berdasarkan klasifikasi yang kita bangun. Justru cinta sendirilah yang membangun. Membangun keromantisan, membangun pengertian, menutupi kekurangan-kekurangan. Honestly, munculnya Pra, sangat mengubah diriku yang dulu terobsesi akan kesempurnaan. Pra yang sangat sederhana. Dia yang selalu menyendiri ketika teman-teman yang lain istirahat, kalau dibilang ganteng mungkin iya. He he he… Kalau pintar dari sisi akademis, dia nggak terlalu. Tapi dia adalah sastrawan terhebat sepanjang hidupku. Sekaligus, dia adalah penyanyi yang memiliki suara paling merdu di dunia, dan gitaris yang berbakat. Lihat, berdasarkan tipe laki-laki idamanku yang kusebutkan di awal, sangat berbeda dengan sifat Pra yang aku cintai. Dia yang nggak pandai bersosialisasi. Dia yang nggak ahli sains. Dia bukan olahragawan yang hebat. Tapi, karena aku mencintainya, kekurangan yang ada pada dirinya seolah-olah berubah menjadi kelebihan. Hingga pada akhirnya dia rela menutupi penyakit kronisnya demi menjaga kecemasanku tidak berlebih-lebihan. Karena dia tahu kalau aku sudah cemas terhadap orang yang aku sayang, aku akan seperti apa. Aku nggak akan segan-segan main tangan dengan orang yang menyebabkan masalah ke orang yang aku sayang. Seperti yang aku lakukan ke Malik tempo hari. Sampai aku hanya tahu Pra dalam kondisi kritis karena penyakit jantungnya dan akhirnya dia meninggal. Bagiku, itu adalah momen romantis yang paling hebat sekaligus terakhir yang pernah kutemui dalam hidupku. Menyembunyikan sesuatu agar orang yang dia sayangi tidak merasa khawatir.” Sedetik kemudian, Nissa tersedu-sedu dengan menangkup kedua lututnya. Prasetya atau yang biasa dipanggil secara singkat dengan sebutan “Pra”, dia adalah makhluk paling fenomenal yang masuk ke dalam hidup sahabatku, Nissa. Mempunyai tinggi 170 cm, berat badan 55 kg, dan rambut hitam lurus yang biasa di sisir ke samping. Punya kebiasaan membaca n****+, menulis puisi, dan bermain musik—tidak ada orang yang tahu kecuali Nissa tentang bakat bermain musiknya Pra. Duduk di bangku sendirian selama berada di kelas sepuluh. Tapi kerap ditemani Nissa, ketika keduanya sudah saling berhubungan dekat. Pra tidak pandai bersosialisasi, mungkin sesuai yang dibilang Nissa dari informannya—Pra sendiri—bahwa Pra bukan nggak pandai bersosialisasi, melainkan hanya menjaga diri untuk tidak terlibat dengan hiruk-pikuk orang di sekitarnya. Hubungan mereka cukup menarik. Nissa awalnya tidak mempedulikan siapa sosok Pra. Tapi, berawal dari tugas puisi berkelompok dua orang, yang menjadikan Nissa berpasangan dengan Pra, di situlah Pra mulai menunjukkan tajinya seperti idolanya, Joko Pinurbo. Berawal hanya dari membaca puisi buat Nissa, hubungan mereka mulai menjadi dekat. Hingga tidak hanya Nissa yang merasa kehilangan, tapi seisi kelas merasa kehilangan sosok laki-laki yang jarang-jarang mempunyai hobi menulis itu. “Aku tahu. Aku tahu maksudmu. Terima kasih telah membantu menyederhanakan masalah ini.” Aku memeluknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD