Ada yang Lebih Hebat

4284 Words
“Saya akan teruskan, teringat di kepala saya bahwa heritage yang penting sampai sekarang ditemukan di Mesir kira-kira sekitar empat ribu sebelum masehi, yaitu seni tulis-menulis. Kemudian ada juga di Babilonia. Sebetulnya, saya nggak ingin masuk ke dalam kajian semiotik di mana semua itu terjadi sebab manusia punya kuriositas dan mengolah tanda sebagai objek penemuan-penemuan baru.” “Mengolah tanda maksudnya gimana, Rada?” “Misalnya tentang tulisan, di masing negeri-negeri itu, tulisan berawal dari gambar-gambar yang dijumpai mereka. Jadi objek gambar yang mereka temukan atau mereka jumpai, mengalami konvensionalisasi. Itu namanya konsep semiotik, kecerdasan semiotik. Sama seperi Newton yang menelisik kenapa apel itu bisa jatuh dari atas pohon yang kemudian diolahnya berdasarkan pengalamannya itu dan alhasil menemukan teori gravitasi yang sangat penting. Oleh sebab itu, kata-kata lalu dimunculkan dengan ideogram-ideogram seperti yang masih terdapat di Cina. Nah, dalam jangka waktu ribuan tahun, sistem yang merumitkan itu berkembang menjadi seni tulis menulis atau tulisan alfabetis.” “Ohhhhh!!!!” Tepuk tangan dari para murid yang lain termasuk aku membuat Pak Tinggar semakin tercenung. Murid yang tadinya dikira tidak disiplin, tidak punya kemampuan atau pengetahuan sejarah, kini mencuri perhatian yang mustinya ditujukan buatnya.” “Yang terakhir sebelum dilanjutkan oleh Pak Tinggar karena sekarang adalah jam kelasnya, saya mengingat tiga sungai krusial. Awal perkembangan peradaban Mesir dan Mesopotamia berkaitan erat dengan kawasan-kawasan sungai Nil, Efrat, dan Tigris yang mampu mendorong pertanian tumbuh pesat dan sangat produktif. Dalam banyak hal peradaban itu sama dengan peradaban yang ditemukan oleh orang-orang Spanyol di Meksiko dan Peru. Ada raja yang disembah dan memiliki kekuasaan despotis, juga di Mesir, semua tanah adalah milik raja. Ada kepercayaan bercorak politeistik, dengan satu mahadewa yang memiliki hubungan yang erat dengan raja. Ada aristokrasi militer, juga aristokrasi ahli teologi atau pendeta. Aristokrasi pendeta ini kerap kali dapat mengambil alih kekuasaan raja, kalau sang raja lemah atau terlibat dalam perang yang lama misalnya, tidak selesai-selesai. Dan ada juga golongan pengolah tanah, mereka adalah para b***k yang dipunyai raja, golongan bangsawan, dan para pendeta. Mungkin sekian dari saya, pengantar dari lahirnya peradaban Yunani yang saya mulai dengan menginjak dua wilayah yaitu Mesir dan Babilonia. Sisanya, biar Pak Tinggar yang memanfaatkan waktunya. Terima kasih…” Closing statement Rada titu disambut gemuruh tepuk tangan, pasalnya yang dilakukan Rada tadi sangat berbeda dengan ekspektasi mereka. Termasuk juga aku. Aku tidak menganggap remeh dengan mengira Rada tidak punya kemampuan. Tapi, karena kebanyakan dari kita tidak pernah mendapatkan materi tersebut, ya otomatis aku mengira Rada juga tidak tahu. Eh, tahu-tahu dia menjelaskan itu dengan lugas, gamblang, dan kalimat yang benar-benar mudah dipahami. Bahkan ketika Rada mengucapkan kalimat penutup—saat yang lain bertepuk tangan—Pak Tinggar justru memperlihatkan wajah gugup dan malu. Tidak seperti dirinya beberapa menit lalu yang terlihat garang, tegas, dan sigap melakukan ini-itu. Namun, setelah Rada beraksi, sontak hal itu seperti membuat Pak Tinggar: udah lah, aku duduk aja. Biar Rada yang ngajar. Di bangku, aku menahan diriku agar tidak tertawa. Tapi, rasanya ingin sekali membahas ini dengan seseorang yang mempunyai analisis yang sama denganku soal kejadian itu.   “Aku duduk di sini, ya, Grace…” Rada tiba-tiba menghampiri ke bangkuku dan duduk di tempat asalnya, yaitu di sebelahku. Nadanya nampak ramah sekali. “Oh, iya, duduk aja, Rada,” timpalku. Pak Tinggar mengambil alih pelajaran. “Baik, sekarang giliran saya ngomong. Terima kasih buat Rada sebab telah menjelaskan pengantarnya.” Reaksi sebagian murid yang tadinya antusias dan gembira ketika Rada menjelaskan, mendadak berubah lagi seperti semula: senyap, tegang, dan menakutkan. Pak Tinggar membuka power point. Dengan postur yang sedikit gemuk, kaca mata kotak yang tebal, serta mimik wajah yang datar, cukup membuat kami malas untuk sekadar melihatnya. Untungnya, dia guru, dan bukan selebritis. Yang musti kita perhatikan cara mengajar dan substansi materinya, dan bukan klasifikasi barang yang menempel di tubuhnya atau sekadar mimik wajah yang tidak bersahabat. “Saya akan meneruskan penjelasan Rada tentang Mesir dan negeri-negeri di sekitarnya. Juga tadi Rada juga menjelaskan sekilas tentang filsafat dan aroma intelektual dari peradaban Yunani awal. Nah, ini alur lahirnya peradaban Yunani. Terdapat klasifikasi penting antara sistem kepercayaan atau teologi Mesir dan Babilonia. Perhatian bangsa Mesir itu lebih tertuju pada kematian, dan mereka diadili sesuai dengan cara mereka hidup di dunia oleh Osiris, yaitu dewa maut kepercayaan orang Mesir terdahulu. Bangsa Mesir percaya kalau jiwa manusia pada akhirnya akan kembali ke tubuh. Nah, hal ini yang mengilhami pembuatan mummi dan pusara-pusara batu yang indah di Mesir. Kalian bisa melihat piramid-piramid ini. Piramid ini dibangun oleh para raja di penghujung milenium keempat sebelum masehi dan di awal milenium ketiga sebelum masehi. Sesudah masa itu peradaban Mesir semakin mengalami pendangkalan. Sementara konservatisme agama memperlambat kemajuan. Kira-kira tahun 1800 sebelum masehi, Mesir ditaklukan oleh salah satu suku bangsa Semit bernama Hyksos yang menguasai negeri itu selama kira-kira dua abad. Mereka tidak meninggalkan bekas permanen di Mesir, namun keberadaan mereka tentu telah mendorong tersebarnya peradaban Mesir ke Siria dan Palestina. Nah, dibandingkan Mesir, Babilonia mengalami perkembangan yang lebih sarat akan peperangan. Pada awalnya, ras penguasa bukanlah Semit, melainkan Sumeria yang asal-usulnya tidak diketahui. Mereka menciptakan abjad paku yang setelah itu diambil alih oleh bangsa Semit yang menaklukan mereka. Ada satu periode di mana terdapat sejumlah kota yang masing-masing berdiri sendiri dan saling memerangi, namun akhirnya kota Babilonlah yang unggul dan membangun sebuah imperium. Para dewa sesembahan kota lain diturunkan derajatnya, sedangkan marduk, dewa kota Babilon menempati posisi seperti yang nantinya dipegang Zeus dalam susunan dewa-dewi Yunani. Segala peristiwa sejenis pernah terjadi di Mesir waktu masa yang jauh lebih awal,” “Agama bangsa Mesir dan Babilonia, sebagaimana kepercayaan kuno lainnya, pada dasarnya berupa kultus kesuburan. Bumi adalah betina, matahari adalah jantan. Lembu jantan lazimnya dianggap manifestasi kesuburan pria oleh sebab itu para dewa lembu banyak dipuja. Di babilon, Ishtar adalah dewi bumi yang tertinggi kedudukannya di antara dewi-dewi lain. Di seluruh Asia Barat, Bunda Yang Agung, dipuja dengan pelbagai nama. Ketika Bangsa Yunani yang menduduki Asia Kecil mendirikan kuil untuk memuliakannya, mereka menyebut sang dewi itu sebagai sang Artemis dan mengambil alih kultus yang sudah ada. Inilah sebetulnya asal mula dari Diana dewi bangsa Ephesus. Agama Kristen mengubahnya menjadi Maria Sang Perawan, dan adalah Konsili Ephesus yang mengukuhkan gelar Ibunda Tuhan bagi Bunda Maria.” Semua murid Pak Tinggar di kelas mendengarkan dengan takzim. Tidak ada yang berani mengobrol atau sekadar berbisik satu sama lain. Dengan kesenyapan ini, membuat beberapa murid menguap berkali-kali. Dan secara terpaksa menyembunyikan cara menguap karena tidak ingin ketahuan oleh Pak Tinggar sebab dia tidak segan-segan untuk mencecar murid yang dia temui saat menguap di kelasnya. Aku masih menahan-nahan diri untuk ingin bertanya kepada Rada, mengapa dia bisa tahu sementara yang lain belum. Apakah dia pernah mendapatkan materi itu sebelumnya atau dia memang berinisiatif mempelajari sendiri. Pak Tinggar membetulkan laptopnya yang tiba-tiba mati sebab kehabisan daya baterai. “Kamu sejak kapan belajar materi itu?” Aku mencoba memberanikan diri buat bertanya. “Em, dari kelas sepuluh kemarin, sih.” “Wow! Bagus-bagus. Ngomong-ngomong, penjelasan kamu tadi juga enak banget. Mudah mahaminnya.” “Ya, mungkin tadi mood lagi bagus aja kayaknya. He he he…” Nada ucapan Rada terlihat santai dan enak didengar. Seperti Rada yang sebelum-sebelumnya aku kenal ketika sebelum terjadi masalah. Mungkin itu efek dari dia yang dapat aplaus dari teman-teman juga ucapan terima kasih dari Pak Tinggar, makanya suasana hatinya jadi bagus dan enak diajak ngobrol. Aku melirik ke arah bangku Malik dan secara kebetulan dia melihat ke arahku. Mungkin dia tahu kalau dari tadi aku ngobrol sama Rada dan terlihat akur. Dua visi kemungkinan yang aku prediksi yaitu apakah Malik senang ketika melihat aku akur kembali dengan Rada, atau Malik tidak setuju kalau aku terlalu akur dengan Rada. Tapi, setelah aku renungkan sebentar, nampaknya aku musti tidak mengkhawatirkan atau mengira-ngira kemungkinan jawaban dari dua visi itu. Atau dalam hal ini, lebih baik aku kembali menyimak dan berjalan sejenak dalam konstelasi peradaban Yunani yang dalam pengantar Rada tadi dibuka ruang petualangan menjadi terlihat asyik untuk diselami. “Baik, saya lanjutkan materinya. Nah, ketika agama mempunyai keterhubungan dengan pemerintahan suatu imperium, maka dari itu unsur-unsur politik memberikan lumayan banyak pengaruh dalam mempengaruhi corak-corak primitif dari suatu agama. Dewa atau dewi lantas dikaitkan dengan negara, dan mereka nggak hanya memberikan anugerah panen semata yang berlimpah, melainkan juga memberikan kemenangan dalam sebuah peperangan. Kasta pendeta atau ahli agama yang kaya menyempurnakan ritual dan ajaran-ajaran agama, sekaligus menyusun dewa-dewei dari berbagai bagian imperium itu menjadi satu rangkaian. Lalu, berkat kaitannya dengan pemerintahan, dewa-dewi juga lantas dikaitkan dengan moralitas. Para penyusun undang-undang menerima kode-kode hukum dari dewa tertentu, sehingga seorang pelanggar hukum bisa dicap sebagai orang murtad. Kode hukum tertua yang masih dikenal hingga saat ini adalah kode Hammurabi, raja Babilonia, kira-kira sekitar tahun 2100 sebelum masehi, itu merupakan kode yang menurut sang raja diberikan oleh dewa Marduk kepadanya. Keterkaitan agama dengan moralitas berkembang erat di sepanjang zaman kuno. Tapi berbeda dengan Mesir, agama orang Babilonia lebih mengutamakan kesejahteraan di dunia daripada di dunia akhirat. Ilmu sihir, pernujuman, dan astrologi, meski bukan sesuatu yang khas Babilonia, lebih banyak dikembangkan di sini daripada tempat-tempat lain, dan terutama lewat Babilonialah tradisi itu tetap bertahan sampai ke zaman antik selanjutnya. Dari Babilon pun lahir beberapa hal yang diklasifikasikan sebagai ilmu pengetahuan, misalnya pembagian hari menjadi dua puluh empat jam, dan lingkaran menjadi tiga ratus enam puluh derajat, juga ditemukannya siklus gerhana, yang memungkinkan terjadinya gerhana bulan bisa diramal dengan tepat, dan gerhana matahari dengan beberapa perkiraan. Sebagaimana kita lihat nanti, pengetahuan bangsa Babilonia ini sampai ke tangan Thales, seorang filsuf yang tadi sempat disinggung oleh Rada.” *** “Sepertinya kamu dianggap punya kelebihan dalam sejarah. Wawasan dan cara berbicaramu terhadap publik juga lumayan. I mean, aku mengerti kenapa dia iri sama aku sehingga sampai melakukan hal kayak gitu. Tapi, aku nggak mau ingat-ingat lagi, sih, soal itu. Biarin aku sama dia bersaing di ranah akademik yang fair.” “Paling tidak, aku tahu kalau dia tidak sebodoh yang aku kira.” “Ha ha ha…” Aku dan Malik nyekikik. “Apa kalau aku pegang tangan seseorang itu termasuk perbuatan pelecehan?” “Kalau orang itu keberatan dan dia merasa kalau kamu memegang tangannya itu adalah suatu hal yang merugikan buatnya, hal itu bisa adukan sebagai perbuatan pelecehan. Tetapi, kalau orang itu nggak keberatan, ya, tidak masalah. Dalam soal kriminal, beberapa hal bisa dianggap sebagai delik kalau ada pengaduan dari seseorang. Tapi kalau tidak, ya, tidak jadi soal.” “Tapi, kan, delik aduan itu dalam perkara hukum perdata, kalau dalam ranah pidana mungkin seperti menggunjing, mencaci-maki, membully.” “Iya, sih, tapi kalau megang tangan orang itu dilarang tanpa aduan, tidak ada orang pacaran berceceran di pinggir jalan,” jawabku. “Kalau aku pegang tangan kamu, itu termasuk tindakan kriminal?” “Iya, soalnya aku merasa dirugikan.” “Kenapa? Apa yang merugi dari sekadar dipegang tangannya?” “Aku yang mengatakan nggak, tapi kamu melakukan iya dengan paksaan. Yang dirugikan adalah konsisten hakku buat mengatakan tidak,” tegasku. “Susah… Susah. Ha ha ha… But, I like it.” “Dih!” Aku menampar bahunya. “Oh iya, lalu apa yang Pak Bagus obrolin sama kamu dan Edward?” “Sesuatu yang nggak terlalu serius, sih. Em, orangnya cuma nyuruh aku sama Edward kalau ke depannya hati-hati buat menghadapi perempuan. Juga turut ikut tanggung jawab semisal seperti aku kemarin yang jadi faktor kenapa Rada melakukan itu. Aku nggak boleh bodo amat atau membiarkan hal itu terjadi. Ya, kayak gitu-gitu, sih. Mungkin tepatnya, aku juga akan jaga jarak dengan Rada. Biar sensitifitas perasaan dia nggak semakin ke mana-mana. Dan itu juga didukung oleh Pak Bagus. Karena takutnya, kalau misalnya aku tetep welcome sama dia, bisa saja dia nekad lagi ngelakuin hal yang sama sebab perasaannya semakin bertumbuh.” “Jadi yang salah dari kemarin-kemarin kamu juga, dong?” “Dih, apaan?” “Iya loh, kamu yang ngasih peluang sama dia. Tapi, kenapa kamu bilang kalau kamu bakal jaga jarak? Rada pinter, loh.” “Memilih perempuan itu juga dengan kelengkapan-kelengkapan. Tapi, terlepas dari itu, aku kan, pernah bilang kalau cinta itu nggak bisa diasumsikan akan jatuh ke siapa. Makanya, aku nggak punya kriteria tentang perempuan. Karena kalau punya kriteria, ya jelas nggak nemu-nemu nanti. Oleh sebab itu, aku biarkan perasaanku mengalir dan biar Tuhan yang bakal menggerakkan ke siapa dan bagaimana kelanjutannya. Aku hanya hamba. Tuhan yang membolak-balikkan perasaan suatu kaum.” Angin menerpa pohon-pohon dan menjatuhkan genggaman dedaunan yang saling bergandengan satu sama lain. Malik menemaniku menyaksikan itu dengan menunggu Nissa keluar dari kelasnya seperti biasa. “Grace… Kamu nggak tanya kenapa aku membuntutimu?” “Grace!!! Ayo pulang!!!”  *** Menjelang usia tiga belas tahun, seorang gadis kecil sangat dekat dengan kakak perempuannya, dan dia merasa bangga telah mendapat kepercayaannya ketika kakaknya diam-diam bertunangan dan kemudian menikah: berbagi rahasia adalah sesuatu yang bisa diterima hanya di kalangan orang-orang dewasa. Gadis kecil itu tinggal dengan kakaknya selama beberap waktu, namun ketika kakaknya memutuskan untuk membeli seorang bayi, gadis kecil itu merasa cemburu dengan saudara iparnya dan kepada bakal si bayi. Gadis kecil itu mulai merasakan beberapa masalah internal dan ingin dioperasi karena radang usus buntu. Operasinya berhasil, namun selama tinggal di rumah sakit, gadis kecil itu hidup dalam keadaan agitasi yang keras: dia bertindak kasar dengan perawat yang tidak disukainya: dia coba merayu dokternya dengan mengatakan dia tahu segalanya dan berusaha mendapatkannya untuk melewatkan malam bersamanya—mungkin saja dokter itu tidak akan setuju, tapi berharap ini akan menerimanya sebagai seseorang yang sudah dewasa. Gadis kecil itu menyalahkan dirinya sendiri atas kematian adik lak-lakinya beberapa tahun yang lalu. Dan khususnya lagi, dia merasa yakin kalau mereka tidak membuang usus buntunya atau tetap meninggalkan sebagian di dalam tubuhnya: pengakuan kalau dia telah menelan sekeping uang logam barangkali diartikan agar dilakukan rontgen terhadap dirinya. Keinginan untuk dioperasi—khususnya pembuangan usus buntu—kerap kali dijumpai pada seseorang dalam usia seperti ini: gadis-gadis muda dengan cara ini mengekspresikan fantasinya tentang p*******n, kehamilan dan melahirkan. Mereka merasakan sesuatu secara samar-samar mengancam dalam diri mereka. Mereka berharap agar pembedahan menyelamatkan mereka dan bahaya yang tidak dikenal ini yang sedang menanti mereka. Sementara bukan kemunculan menstruasi yang hanya mengungkapkan takdir keperempuannya pada si gadis. Fenomena yang lain juga meragukan telah muncul di dalam dirinya. Sejauh ini kepekaan seksualnya ada pada klistorisnya. Tidak gampang untuk mendeteksi apakah m********i kurang lazim bagi anak gadis ketimbang anak laki-laki: dia melakukannya selama dua tahun pertamanya, bahkan mungkin sejak bulan-bulan pertama dalam kehidupannya: tampaknya dia sudah meninggalkannya pada usia sekitar dua tahun, lalu melakukannya lagi di kemudian hari. Penyesuaian anatomi dari batang yang tumbuh di daging laki-laki membuatnya lebih menarik perhatian untuk disentuh daripada sebuah selaput yang terletak di daerah tersembunyi. Namun peluang untuk mengadakan kontak—seorang anak memanjat tali atau pohon atau mengemudikan sepeda—gesekan dengan pakaian, tersentuh ketika bermain atau bahkan inisiasi dari teman bermainnya, anak-anak yang lebih besar atau orang dewasa, mungkin saja kerap membuat si gadis sadar akan sensasi yang dia usahakan untuk dia bangkitkan dengan menggunakan tangan. Dalam banyak kegembiraan semacam ini, saat dimiliki, adalah suatu sensasi yang independen: kegembiraan tersebut memiliki karakter dari segala hiburan kanak-kanak yang lazim dan menyenangkan. Si gadis hampir tidak menghubungkan seluruh kenikmatan pribadi ini dengan suratan keperempuanannya: hubungan seksualnya dengan laki-laki, bila memang ada, secara esensial hanya berdasarkan rasa ingin tahu. Dan sekarang dia merasakan dirinya terombang-ambing oleh emosi di mana dia tidak mengenali dirinya sendiri. Sensitivitas daerah-daerah tertentu di dalam tubuhnya berkembang dan ini begitu banyak terdapat dalam diri seorang perempuan, sehingga sekujur tubuhnya bisa saja dianggap sebagai daerah yang sensitif secara seksual. Kenyataan ini diperlihatkan padanya melalui pelukan-pelukan keluarganya, ciuman kasih sayang, sentuhan wajar dari seorang penjahit pakaian, dokter atau tukang potong rambut, melalui belaian sayang pada rambutnya atau tengkuk lehernya, dia mulai sadar, dan sering dengan sengaja mencari mencari sensasi yang lebih dalam relasi permainan, dalam bergumul dengan anak laki-laki atau perempuan. “Tidak selalu jorok kalau membicarakan sesuatu dengan menyinggung kata-kata seksual. Seorang pembelajar feminis, akan lebih mampu menghargai perempuan dua kali lipat daripada seseorang yang hanya bertumpu pada entitas kelaki-lakiannya. Ada gerakan-gerakan laki-laki baru dari para pemuda di Amerika Serikat untuk menuntaskan diskriminasi dan ketidakadilan bagi perempuan. Hal ini justru kita bisa ambil positifnya kalau konsep Betty Friedan tentang menjadi seseorang yang androgini itu bisa dipakai buat laki-laki, tapi tidak cocok diterapkan oleh perempuan. Kalian akan menghadapi argumen-argumen yang pro dengan perempuan, untuk menciptakan diskusi yang baik, maka tidak boleh hanya ada pihak yang selalu pro. Tapi di dalamnya juga musti ada unsur kritik untuk memberikan skepitisme pada pihak lawan atas argumen pro yang dia bangun. Sebaliknya pun, kalau kalian dalam konstelasi argumen yang mendukung suatu gagasan, maka kalian harus konsisten mendukung argumen itu dengan berbagai alasan yang relevan. Agar tidak bisa dijatuhkan sekiranya ada pihak lawan yang kontra dengan argumen itu. Sebab suatu argumen bisa dikatakan baik, bila mencakup koherensi, konsistensi, dan logis.” “Juga kalau kalian mau mendapat perhatian di awal argumen kalian, mulai dengan membuat perumpamaan cerita sebelum masuk dalam wilayah yang agak teoritis. Misalnya, ada seorang gadis berumur lima belas tahun. Sehari sebelum pemakaman, kakeknya datang menginap di rumah gadis itu. Keesokan paginya, setelah ibu dari gadis kecil itu bangun, ibunya muncul dan meminta naik ke ranjang untuk bermain dengannya, gadis itu langsung bangkit tanpa menjawab ibunya. Sejak kejadian itu, gadis itu mulai takut dengan laki-laki. Ada cerita lain, seorang gadis teringat mengalami shock hebat di usia delapan atau sepuluh tahun ketika kakeknya, laki-laki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun, mengobok-obok genitalnya, memasukkan jarinya. Si anak merasakan sakit yang luar biasa namun takut membicarakan kejadian tersebut. Semenjak saat itu, dia merasa sangat takut dengan segala sesuatu yang berbau seksual. Nah, banyak kejadian kayak gitu yang tidak bisa diceritakan oleh gadis kecil karena malu. Selain itu, dia memberi tahu orang tuanya, tapi reaksi mereka justru kerap kali menghardiknya. Contohnya dengan mengatakan, jangan ngomong sembarangan. Dia juga tutup mulut terhadap jenis-jenis tindakan aneh dari orang-orang yang asing baginya.” “Saya juga bisa membandingkan cerita itu dengan poin saya ini. Saya membaca sebuah kisah dari buku klasik. Ada beberapa orang menyewa sebuah ruang bawah tanah dari seorang sepatu. Sewaktu pemilik penginapan itu sedang sendirian, dia sering muncul dan mendatangi salah pelanggan perempuan penginapannya, lalu memegang tangannya dan memeluk perempuan dalam pelukan yang panjang, bergerak ke depan dan belakang. Lagi pula, cumbuannya tidak dibuat-buat, saat kemudian pemilik penginapan itu memasukkan lidahnya di mulut perempuan itu. Lalu, perempuan itu merasa benci padanya karena tindakannya itu. Tapi dia tidak pernah mengatakan sepatah kata pun tentang pemilik penginapan itu, sebab dia benar-benar takut.” Aku yang mendengarkan cerita itu, hanya bisa memicingkan mata dan sesekali menggelengkan kepala. Pembahasan mereka mengalir begitu saja. Meski menginjak dalam penggalan-penggalan cerita yang menurutku sensitif, tapi ini nggak lebih dari sekadar edukasi untuk penguatan argumen tentang perempuan. “Sekarang masuk dalam kritik kedua bahwa perempuan tidak hidup dengan nalar dan otonomi semata. Dalam Feminist Politics and Human Nature, Alison Jaggar merumuskan kritik kedua kepada feminis liberal, yang ditunjukkan kepada konsep-konsep yang dianggapnya sebagai fundamental terhadap feminisme liberal. Layaknya Jean Bethke Elshtain, Jaggar mengkritisi feminis feminis liberal, terutama atas apa yang dipandangnya sebagai konsep feminis liberal mengenai diri. Menurut Jaggar, feminis liberal mengkonsepsi diri sebagai agen yang rasional dan otonom, yaitu diri laki-laki. Menyadari kalau tidak setiap orang dapat memahami mengapa rasionalitas dan otonomi adalah laki-laki, Jaggar secara teliti menjelaskan pendapatnya, pertama-tama dia menunjukkan kalau karena feminis liberal menempatkan keistimewaan manusia pada rasionalitas dan otonomi manusia, keduanya disebut sebagai dualis normatif—pemikir yang berkomitmen terhadap pandangan kalau fungsi dan kegiatan pikiran adalah dengan cara tertentu, lebih baik daripada fungsi dan kegiatan ragawi. Makan, minum, ekskresi, tidur dan bereproduksi bukanlah menurut pandangan ini, kegiatan manusia yang paling esensial, karena anggota dari spesies binatang lain juga melakukannya. Sementara, apa yang memisahkan manusia dari penciptaan binatang lain adalah kapasitasnya untuk berpikir, berimajinasi dan memahami.” “Setahu aku bunda, Jaggar lalu berspekulasi kalau sebab pembagian kerja seksual asal, kegiatan, dan fungsi mental semakin sering mendapat penekanan lebih daripada kegiatan dan fungsi ragawi dalam pemikiran liberal barat. Dengan mempertimbangkan jaraknya dari alam, peran domestik dan reproduksinya yang tidak banyak menuntut dan karena itu, banyaknya waktu yang dapat dihabiskan untuk menumbuhkan kehidupan nalarnya, laki-laki cenderung merendahkan nilai tubuh, dan menganggap tubuh semata-mata sebagai cangkang pelindung yang bentuknya tidak mempunyai makna penting terhadap definisi dirinya. Sebaliknya, karena hubungannya yang dekat dengan alam, peran domestik dan reproduksinya yang berat dan karena itu, banyaknya waktu yang musti dihabiskan untuk merawat tubuhnya, perempuan cenderung lebih menghargai tubuh dan menganggap sebagai hal yang esensial bagi identitas personalnya. Karena laki-laki secara tradisional adalah filsuf, menurut pengamatan Jaggar, cara laki-laki memandang dirinya kemudian mendominasi sejarah pemikiran kolektif kebudayaan barat. Akibatnya, semua liberal, laki-laki atau perempuan, feminis atau tidak, cenderung untuk menerima sebagai suatu kebenaran prioritas mental di atas prioritas ragawi, bahkan ketika pengalamannya sehari-hari berkontradiksi dengan keyakinan ini. Menurut Jaggar, kepatuhan feminisme liberal terhadap dualisme normatif adalah suatu masalah, bukan saja karena hal itu menggiring kepada devaluasi kegiatan dan fungsi ragawi, tetapi juga karena pemikiran seperti itu menggiring kepada solipsisme dan skeptisisme politik.” “Solipsisme dan skeptisisme politik itu apa?” “Nah, kalau Nak Malik belum tahu solipsisme politik yang dimaksud Sima, solipsisme politik adalah keyakinan kalau manusia yang rasional dan otonom, pada dasarnya adalah terpisah dengan kebutuhan dan kepentingan yang terpisah dan bahkan berlawanan dari kebutuhan dan kepentingan individu lain. Sementara Nak, kalau skeptisisme politik itu keyakinan kalau pertanyaan fundamental dari filsafat politik mengenai apa unsur pembangun kesejahteraan dan pemenuhan, dan apakah alat untuk mencapainya, tidak pernah mendapat jawaban yang sama. Oleh karena itu, hasil dari penekanan nalar di atas tubuh dan diri atas Liyan adalah hasil penciptaan suatu rangkaian sikap dan perilaku politik yang meninggikan kebebasan. Lalu, Jaggar mengkritisi solipsisme politik berdasarkan alasan empirik, dan mengatakan kalau tidaklah masuk akal untuk berpikir mengenai individu sebagai ada sebelum formasi masyarakat melalui semacam kontrak. Jaggar mengamati, misalnya kalau setiap perempuan hamil mengetahui kalau seorang anak berhubungan dengan yang lain bahkan sebelum anak itu lahir. Bayi manusia dilahirkan tidak berdaya dan membutuhkan perawatan yang sangat besar selama bertahun-tahun. Sebab perawatan ini tidak dapat secara layak dipenuhi oleh satu orang dewasa, manusia hidup di dalam kelompok sosial yang secara bersama-sama membesarkan keturunannya menuju kedewasaan.” “Dan ya, untuk memperkuat argumentasi empiriknya, Jaggar mengamati solipsisme politik secara konseptual tidak masuk akal. Dalam hal ini dia mendukung argumentasi seorang tokoh filsafat dari Swedia yang bernama Naomi Scheman kalau solipsisme politik menuntun keyakinan pada individualisme abstrak. Individu abstrak adalah dia yang emosi, keyakinan kemampuan dan kepentingannya semestinya dapat diartikulasikan dan dipahami tanpa mengacu kepada konteks sosial mana pun. Manusia berdasarkan pemikiran Kant, adalah jenis individu abstrak ini—suatu nalar yang murni yang tidak terpengaruh atau terinfeksi oleh ego psikologis empirik, ataupun oleh tubuh empirik biologis. Meski demikian, dengan filsafat Kant sebaliknya, menurut Naomi Scheman, kita bukan individu abstrak. Kita adalah individu yang konkret yang mampu mengidentifikasi sensasi psikologis tertentu sebagai suatu kesedihan, misalnya, hanya karena kita telah ditempeli di dalam jaringan sosial interpretasi yang berfungsi untuk memberikan makna kepada setiap gerakan dan kesakitan, setiap erangan dan raungan, setiap rintihan dan jeritan. Selain daripada jaringan interpretatif ini, secara literal kita adalah tidak berdiri, artinya, identitas kita sangat ditentukan oleh keinginan dan kebutuhan yang dikonstitusikan secara sosial. Pada dasarnya, kita adalah diri yang dibangun oleh komunitas kita, suatu fakta yang menentang mitos Amerika Serikat mengenai individu yang bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.” Malik menyeruput the hijau dan mulai memijat-mijat kepalanya. Pembahasan kali ini mungkin terlihat masih awam bagi dirinya. Tapi, dia terlihat sangat gembira ketika mendapatkan pengetahuan baru kali ini. Setidaknya, ini adalah bekal ketika dia nanti memutuskan untuk kuliah. “k*****s pembahasan malam ini tentang skeptisisme dan solipsisme politik adalah konsep keduanya runtuh bersama. Menurut Jaggar, karena skeptisisme politik juga bergantung dari konsepsi diri yang sangat abstrak dan individualistik. Berlawanan dengan orang-orang liberal atau feminis liberal yang bersikeras kalau negara harus membatasi diri dalam memberikan keistimewaan kepada konsepsi kesejahteraan manusia mana pun di atas yang lain. Jaggar menegaskan kalau negara mustinya bertindak lebih dari sekadar sebagai polisi lalu lintas, yang memberikan komentar atas tujuan yang dikemudikan oleh pengemudi, cuma memastikan kalau kendaraan keduanya tidak bertabrakan. Tidak masalah apakah kita menyukainya atau tidak, dia mengatakan biologi dan psikologi manusia mendiktekan serangkaian kebutuhan manusia dan masyarakat yang memperlakukan kebutuhan dasar ini sebagai opsional tidak dapat berharap dapat bertahan hidup, apalagi untuk memperoleh pencapaian. Oleh karena itu, menurut Jaggar, negara musti bertindak lebih dari sekadar memelihara agar lalu lintas berjalan lancar, melainkan juga memblokir jalan tertentu, bahkan jika beberapa individu tertentu ingin sekali berlalu lalang di jalan tersebut.” Malik mulai menguap. Jam dinding menunjukkan pukul jam tujuh malam. Mustinya dia lebih memilih nongkrong di café, daripada menurutiku untuk mendengarkan bunda mengoceh. Aku meliriknya. Dia mengerti kalau aku mencemaskan kalau dia terlihat lelah. Pasalnya, dia tidak menggubris itu. Hanya terus semakin mengoceh dan meladeni bunda dengan pengetahuannya yang lain. Sesekali juga menanyakan hal di luar topik seperti apakah bunda mau es potong atau tidak. Sementara bunda yang asyik berceramah, Malik memberi solusi dengan menyegarkan ulang pikiran. “Malik bawa surabi, makanan khas Bandung! He he he…” Malik mengambil bungkus makanan yang berisi surabi—salah satu makanan khas Bandung—di cantolan dashboard motornya. “Ini dibuat dengan bahan apa, Nak Malik?” “Bahan bakunya tepung beras, dan dimasak dengan tungku. Sebenarnya rasanya tawar, tapi divariasi dengan beberapa topping baru seperti strawberry, s**u, cokelat, dan lain-lain. Sekali lagi, Malik mencairkan suasana dengan sulap serabinya. Yang langsung dilalap habis oleh bunda. Bahkan bunda tertarik untuk membuatnya sendiri, dia mengajakku dan Bi Asih untuk membuat makanan serabi sendiri besok kalau senggang.   “Nanti kalau nggak mirip, bisa dari resep ibu. Kalau mau sama tungku-tungkunya sekalian. He he he…” Kami tertawa di tengah gemerlap sejarah perempuan yang sedang bertumpuk di kepala kami malam ini.  *** Aku mengingat-ingat bahwa ada yang lebih potensial daripada aku.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD