36

2604 Words
“Mungkin aku baru kenal kamu beberapa bulan ini. Aku nggak sedekat seperti Nissa yang dari kecil sampai sekarang masih sahabatan sama kamu. Tapi, kalau untuk membantu orang baik kayak kamu, aku mau mengorbankan tenaga dan waktuku.” “Iya. Mungkin satu kegelisahanku yang mengendap lumayan lama. Bahwa kamu mungkin hanya menganggap kita adalah hanya teman sekelas biasa. Kamu berangkat dan pulang sekolah dengan Nissa setiap hari. Nissa yang sudah seperti saudara kamu sendiri. Sering main ke rumahmu seperti bukan suatu hal yang tabu. Tapi kalau ada seseorang yang minta tolong ada temanku yang lagi dalam keadaan susah, bahkan di waktu malam pun, aku rela keluar rumah.” “Dan orang yang musti bertanggung jawab itu adalah Malik. Sebab dia yang mengumpulkan kita.” Aku, Ica, dan Fyora, berkerumun seperti biasa saat sebelum mata pelajaran pertama dimulai. Aku masih duduk sendiri. Rada belum masuk. Mungkin kalau pun masuk, dia nggak berani duduk di sebelahku. Padahal ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan padanya terkait kericuhan yang dia perbuat. “Dia bener-bener ngejer waktu Fyora ancam kalau dia bakal diaduin ke kepala sekolah dan bisa dikeluarin,” tutur Ica. “Sumpah dia, tuh. Baru kali ini aku lihat orang yang bener-bener dangkal banget. Apa ya, nggak mikir?” “Udah, udah… Kalau soal Rada, biar aku yang atasin. Sekarang waktunya belajar.” Aku tahu bahwa yang dilakukan Rada itu nggak sepele. Itu adalah tindakan kriminal. Bisa masuk ke dalam ranah percobaan pembunuhan. Dan kalau aku berkenan, aku nggak akan menahan teman-teman buat bertindak seperti yang awalnya ingin mereka lakukan. Ica akan melaporkan Rada ke orang tua Rada, sekaligus berencana mengadukan ke polisi, dan Fyora hampir saja akan mengadukan Rada ke kepala sekolah agar Rada dikeluarkan dan membuat sekolah ini gempar karena hal buruk yang telah dilakukan Rada padaku, sementara Edward yang saat itu juga ada di sana, lebih memilih untuk mengontrol diri seperti Malik. Aku berusaha lebih memahami persoalan ini. Yang mungkin di masa depan, pengalaman ini bisa menjadi kisah yang menarik untuk dapat aku jadikan motivasi. Bahwa setiap keinginan berlebih, selalu ada ruang jahat untuk menggapainya. Dan apakah pencapaian yang selama ini dilakukan dengan cara jahat, patut dibanggakan? Atau bangga dengan lebih memilih berusaha dengan segala usaha yang baik, meskipun pencapaian kita masih jauh dari keberhasilan? Semua ukuran itu tidak ditemukan titik temu yang jelas. Orientasinya ke mana? Apakah pada berhasil atau tidaknya pencapaian? Kalau begitu, kita bisa mengesampingkan baik atau buruknya upaya yang kita lakukan, asal keinginan subjektif kita berhasil dicapai? Mungkin itu sebabnya lahir para penjahat. Sebab segala hal yang diusahakan hanya bergantung pada kepentingan pragmatis, bukan kepentingan jangka panjang. Lalu apa yang disebut dengan kepentingan jangka panjang? Apakah perbuatan baik selalu diorientasikan pada takdir alam? Ataukah semata-mata kita hanya mengharapkan surga? Bukankah itu juga pragmatis, namanya? Sebab ada alasan materil di balik usaha kita melakukan hal baik. Kelas pertama sudah dimulai. Aku melirik Malik seperti biasa. Sementara dia tengah bersenda gurau dengan Edward seperti rutinitasnya. Keadaan berjalan seperti biasa. Urusan hanya tinggal aku dan Rada pribadi, dan kemungkinan nanti juga melibatkan wali kelas, sebab Malik yang merencanakan pertemuan dengan Pak Bagus untuk menyelesaikan masalah ini. Aku baru sadar, berupaya agar hidup tidak selalu monoton itu juga perlu. *** “Habis dari rumah Nissa, aku langsung menuju ke rumah Edward. Sekalian saja aku lewat depan rumahmu karena searah sama rumah Edward. Dan kebetulan ketemu Bi Asih yang habis belanja sayur, sekalian aku nyapa orangnya. Nggak sengaja nyeletuk pertanyaan, nanyain kamu udah pulang atau belum. Nah, berawal dari itu aku langsung telepon Nissa.” “Iya, dia nanya kalau aku pulang sama kamu atau nggak. Nah, aku bilang, kan, kalau aku pulang dianter kamu. Semestinya kamu juga udah pulang waktu itu. Tapi, kata Malik, kamu belum pulang.” “Terus aku bilang ke Bi Asih buat ngabarin aku kalau misalnya kamu sampai maghrib belum ada di rumah. Dan memperingatkan Bi Asih supaya kalau itu terjadi, biar bilang ke bunda kalau kamu masih di rumah Nissa, takutnya bunda panik. Karena setahuku, Nissa pernah bilang kalau kamu bukan tipe orang yang suka keluar sendirian setelah pulang sekolah, apalagi pulang telat. Ya, akhirnya, Bi Asih ngabarin aku beneran, setelah sebelumnya aku ngasih nomor teleponku ke dia.” “Dan ingat ketika kamu nganter aku pulang, Grace? Aku bilang kalau aku seperti lihat teman sekelasmu? Ternyata benar, kan? Jadi karena kecurigaanku itu, aku menyuruh Malik memastikan dan mencari tahu Rada di rumahnya.” “Dan sampai di rumah Rada, aku tidak menemuinya di sana. Aku bertanya ke orang tuanya, lalu orang tuanya bilang kalau Rada semenjak pamit berangkat ke sekolah sampai waktu itu belum juga pulang. Padahal kita tahu sendiri kalau Rada nggak masuk sekolah. Jadi, aku memilih untuk menunggu dia pulang ke rumah terlebih dahulu. Karena aku yakin kalau dia pasti pulang, seenggaknya untuk memastikan ke orang tuanya, kalau dia benar-benar terlihat masuk sekolah. Dan ternyata benar, ketika aku menunggunya di gang dekat rumah dia, sambil memantau rumahnya, sekitar jam tujuh malam, dia tiba di rumahnya. Sebelum dia masuk dan bertemu orang tuanya, aku mergokin dia, dan dia terlihat panik saat itu juga. Hal itu membuat kecurigaanku makin besar. Sementara ketika aku ajak dia ke suatu tempat, dia berusaha tetap tenang, walaupun awalnya dia sempat menolak, tapi aku tahu kalau dia nggak bakal benar-benar mau menolak, apalagi aku yang mengajaknya. I mean, aku adalah seseorang yang dijadikan alasan kenapa dia melakukan hal sebodoh itu sama kamu. Sementara, ketika aku ajak ngobrol, aku perhatikan napasnya sedikit tersengal, hal ini biasa terjadi kalau seseorang lagi dalam keadaan takut.” “Lalu apa yang membuat dia lantas mengaku?” “Polisi lebih mudah melacak dan menemukan dari aku. Akan sangat berbahaya kalau yang justru menemukan adalah polisi daripada aku sendiri. Aku bilang begitu. Aku salut atas seberapa besar ketertarikannya padaku sampai harus melakukan hal itu. Dia sempat tidak gentar ketika aku cecar dengan ancaman, dan lain sebagainya. Tapi, kalau orang yang sebenarnya baik, tapi seketika melakukan hal yang bodoh, dia akan gampang buat mengakui. Dan aku tahu kalau Rada adalah orang baik. Tapi, sebab dia terlalu bodoh, makanya dia sampai melakukan itu.” “Jadi itu alasannya kenapa kamu nggak melakukan tindakan yang lebih padanya untuk membuatnya dia jera?” tanya Nissa. “Aku hanya menegaskan satu hal ke dia bahwa sampai kapan pun, laki-laki enggan menerima perempuan yang melakukan sesuatu tanpa didasarkan penggunaan otak dan memperhitungkan aspek moral. Justru hukuman terberat dia saat itu sudah berhasil dia dapatkan. Yaitu, gagal mendapatkan apa yang dia inginkan.” “Kamu, maksudnya?” “Iya, Grace,” tegasnya. “Sampai mereka berdua harus bilang ke orang tuanya ada kerja kelompok. Tapi ya, benar juga sih, kita sedang melaksanakan tugas secara berkelompok,” sambungnya kepada Ica dan Fyora yang sibuk melahap siomay di piringnya masing-masing. “Melaksanakan tugas apa? Tugas menyelamatkan tuan putri?” Edward tiba-tiba datang kemudian menyambar. “Udah baikan perutmu?” timpal Malik. “Udah, tinggal nunggu ditraktir Grace aja. He he he…” “Iya, iya. Hari ini kalian semua aku traktir. Tapi khusus siomay-nya Mas Arif aja, ya.” Lalu disambut riang oleh mereka. Khususnya Ica dan Fyora yang hendak mengeluarkan uang sakunya untuk membayar siomay yang usai mereka makan. Traktiran itu aku anggap gaji mereka setelah menyelesaikan perang. Aku beruntung, aku telah dipertemukan orang-orang baik. Juga aku merasa beruntung, bisa mendapatkan aspek positif dari masalah yang terjadi. “Lalu bagaimana dengan anak kelas tiga itu?” Edward nyeletuk. “Tio, maksudnya?” “Iya, pokoknya anak kelas tiga yang habis nempeleng mukamu.” “Bukan muka kali, Ward. Pelipis. Kalau muka yang ditempeleng, sekarang aku udah nggak nganteng lagi kali. He he he…” “Pelipis letaknya di?” “Muka. Ha ha ha…” Malik nyekikik. “Ya, aku anggap, tonjokannya dia itu hukuman buatku karena telah melanggar kesepakatan, sekaligus sebagai tanda kalau kesepakatan antara aku dengannya udah berakhir. Sebenarnya aku pengin bales nonjok dia, tapi karena dia udah dicecar habis-habisan sama Grace, aku anggep itu gantinya tonjokanku buat Tio. Bahkan lebih nampol. Ha ha ha…” Yang lain pada memperhatikan Malik yang ketawa terbahak, sementara yang lain agak bingung. “Udah, kalau soal itu biar dipendam sama pihak terkait,” sambungnya. Kemudian yang lain terlihat kesal. “Eh, terus gimana sama kalian yang minggu depan diundang Bu Ersa hadir dalam sebuah acara?” “Em, belum tahu, sih, kelanjutannya gimana. Nanti ada pelajarannya Bu Ersa, sekalian aku tanya. Tapi sejauh ini, diskusi kita masih terus jalan. Walaupun nggak ada acara itu pun, aku sama Malik sering membahas soal-soal kayak gitu.” “Iya, bener memang. Mereka itu klop banget. Aku yang kadang nggak paham, cuma bisa melototin mereka bantah-bantahan pendapat. Tapi, adem banget sih, kalau mereka sedang bicarain sejarah, dan ilmu pengetahuan yang lain,” Nissa menyambar. “Sibuk berarti, ya? Kan kamu juga salah satu anak pers yang juga ada peran buat ngeliput acara turnamen basket yang bentar lagi juga jalan, kan?” “Kalau soal itu, sih. Biar aku yang handle,” timpal Nissa yang kusambut dengan pelukan. “Setidaknya, untuk mencapai yang kita inginkan, sebisa mungkin untuk tidak menyakiti orang lain,” tutur Malik. “Malik Adnan Pratama quotes for today,” Edward menyambar disusul dengan tawa yang lain. *** “Sebelum mulai kelas kita, saya ingin agar kelas ini lebih interaktif lagi. Keaktifan kalian akan mempengaruhi nilai kalian. Entah itu kalian bertanya atau menyampaikan argumen.” Bu Ersa memulai dengan memberi disclaimer. Sekumpulan murid yang terbiasa tidur di kelas saat pelajaran Bu Elsa jadi panik seketika. Suasana agak gaduh. Tapi, menurutku hal ini perlu dilakukan agar mengubah kebiasaan buruk dari murid yang suka tidur di kelas. “Saya kemarin bilang pada ketua kelas untuk disampaikan ke yang lain agar mempelajari pemikiran Betty Friedan tentang perbedaan dan kesamaan perlakuan perempuan dan laki-laki, apakah sudah dipelajari?” Bu Ersa bertanya dengan nada sedikit ketus. Pernyataan ketus itu—didukung dengan mimik wajah yang selaras—membuat para murid bergeming. Selama kurang lebih satu menit, para murid menggantung pertanyaan Bu Ersa. Tidak ada yang berani menjawab. Hal ini justru mengindikasikan bahwa di antara murid di kelas kami tidak benar-benar melaksanakan perintah Bu Ersa. Padahal di hari minggu malam, informasi mengenai materi yang akan dibahas pada hari selasa sudah aku bagikan melalui grup line kelas. Dan sebagian anak di kelas sudah merespon itu, ada yang hanya jadi sider—silent reader. “Sudah kamu sampaikan, Grace?” “Eh, sudah, Bu.” “Sudah dipelajari?” “Sudah, Bu.” Beberapa anak di belakang menjawab dengan sedikit ragu-ragu. Sementara yang duduk di depan, lebih memilih diam. Mereka takut kalau mereka harus diminta untuk menjelaskan tentang apa yang telah dipelajari. Ini jebakan. “Ketua dan wakilnya, siapa?!” Aku dan Malik mengangkat tangan dengan sigap. “Silakan maju!” tegas Bu Ersa. Setelah kami berdua maju, Bu Ersa menyuruh kami menyeret dua meja berserta empat kursi. Dan ditata berhadap-hadapan dengan para murid yang lain. “Sudah, kalian berdua duduk di situ.” Kelas kami kembali bergeming setelah itu. “Baik, yang ingin saya tanyakan adalah, pernah kalian menemui pernyataan kalau perempuan tidak boleh melakukan pekerjaan mengangkat benda-benda berat?” “Pernah,” dijawab oleh para murid. “Lalu, apakah yang saya lakukan barusan adalah kesalahan?” Kelas kembali bergeming. Ada yang bergumam, menjawab dengan ragu-ragu. Terdengar ada yang mengatakan kalau hal itu adalah kesalahan. Ada yang malah dari wajahnya tidak terlihat kebingungan sama sekali, karena nggak mau mikir. “Lantas, kebiasaan kalian piket di kelas, yang selalu menempatkan laki-laki untuk mengangkat meja, mengangkat kursi, apakah itu bukan sesuatu yang arogan? Yang mana arogan itu identik dengan kelaki-lakian? Enggar, dan Vina, silakan maju ke depan.” Dengan langkah ragu-ragu, mereka berdua maju dan duduk di sebelahku. “Silakan jelaskan konsep Betty Friedan tentang perlakuan laki-laki dan perempuan.” Bu Ersa meminta kami berempat untuk mendiskusikan materi ini. “Saya ambil catatan dulu ya, Bu,” pinta Enggar. “Saya juga, Bu.” Vina ikut-ikutan. “Kalian berdua nggak?” tanya Bu Ersa. Aku dan Malik menggeleng. “Enggak, Bu.” Dibalasnya dengan senyuman Bu Ersa. “Yang lain saya harap juga ikut aktif. Kalau tidak, kalian yang tidak aktif dan tidak tahu materi yang dibahas, akan mendapatkan tugas sendiri membuat konsep sejarah feminisme abad 19 sampai abad 20 dengan cara ditulis. Tidak diketik!” Suasana di kelas mulai gaduh. Beberapa murid mulai terlihat frustasi dan membuka buku. Padahal buku yang mereka pegang—yang berdasarkan kurikulum ajaran sekolah—tidak begitu lengkap menjelaskan tentang sejarah feminisme. Mereka semua menunduk. Seolah-olah membaca buku. “Kenapa saya mengajarkan kalian sejarah feminisme itu secara spesifik? Karena di situ ada nilai hidup! Di situ ada keadilan! Di situ ada nilai untu menghargai manusia, bukan hanya perempuan seutuhnya, tapi keseluruhan manusia! Jadi, tidak hanya kita mempelajari rentetan perang dunia satu, dan dua. Atau kita belajar istilah teknis dari peninggalan-peninggalan zaman prasejarah, tapi saya mendorong kalian buat menjadi orang yang kritis, mampu untuk menilai segala sesuatu secara konseptual. Itu bagian manfaat dari belajar feminisme.” Kelas kembali senyap. Pernyataan tegas Bu Ersa menghantam kemalasan masing-masing murid yang cenderung menganggap remeh ilmu sejarah. “Silakan dimulai. Apa argumen Betty Friedan dalam arus pemikiran feminisme?” Enggar dan Vina mulai sibuk membuka buku catatan, padahal itu hanyalah gelagat saja. Tidak ada catatan tentang konsep feminisme Betty Friedan. Para murid juga begitu. Tidak kepala di antara mereka yang tersungkur di meja. Sibuk bergelagat membaca buku, padahal itu hanyalah ekspresi kepanikan belaka. “Menurut saya, Betty Friedan terlihat tidak menyadari pandangan lain selain perspektif perempuan terdidik, heteroseksual, kelas menengah, dan berkulit putih, yang menganggap peran menjadi seorang istri dan ibu tidak memuaskan. Seingat saya, dia menulis kalau alih-alih melakukan sesuatu untuk tujuan yang lebih bermakna, perempuan seperti ini hanya menghabiskan terlalu banyak waktu untuk sekadar mengerjakan tugas rumah, dan mempercantik dirinya di depan cermin, sekaligus memanjakan anak-anak yang sudah sangat menyebalkan.” Malik memaparkan. “Iya, dan Betty Friedan menyimpulkan kalau perempuan kontemporer perlu memperoleh pekerjaan yang bermakna seperti dalam pekerjaan di sektor-sektor publik secara full time. Ketidakhadiran istri dan ibu akan memungkinkan suami dan anak-anak menjadi lebih mandiri, mampu memasak makanan mereka sendiri, dan dapat mencuci baju mereka sendiri. Ada yang menarik sebetulnya dari Betty Friedan, dia tidak memiliki kesabaran yang besar bagi istri yang sangat patuh dan ibu yang memanjakan, dia tidak menuntut perempuan untuk mengorbankan perkawinan dan fungsi sebagai ibu untuk karier yang tinggi. Sebaliknya, dia menyatakan kepada banyak kelompok perempuan bahwa pencapaian identitas diri, kesetaraan, dan bahkan kewenangan politik, tidak berarti kamu berhenti memiliki kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, oleh seorang laki-laki atau tidak juga kamu berhenti untuk bertanggung jawab merawat anak-anak kamu sendiri.” “Ada lagi? Selain Malik dan Grace?” Ruang kelas senyap lagi. Para murid saling melirik satu sama lain. “Kalau nggak ada, biar saya meneruskan argumen saya.” “Silakan, Grace.” “Dalam pandangan Betty Friedan, kesalahan dalam mistik feminin bukan karena mistik feminin menghargai perkawinan dan motherhood, tetapi sebab mistik feminin terlalu tinggi menghargai dua lembaga itu, dan melihat bahwa keduanya adalah jawaban dan seluruh kebutuhan dan keinginan perempuan. Berpikir dengan cara yang telah dilakukan John Stuart dan Wollstonecraft, menurut Betty Friedan, adalah cara berpikir yang menempatkan seorang perempuan sebagai seorang istri dan seorang ibu serta tidak memiliki waktu untuk berkarier, adalah melimitasi perkembangannya sebagai manusia yang utuh. Begitu perempuan melihat pekerjaan rumah sebagaimana adanya dan melihat perkawinan dan motherhood sebagaimana adanya , dia akan menemukan banyak waktu dan tenaga untuk mengembangkan dirinya secara maksimal dalam pekerjaan kreatif di luar rumah. Hanya dengan sedikit pertolongan, setiap perempuan seperti juga setiap laki-laki, dapat memenuhi kewajiban subjektifnya, dan membuat perempuan menjadi bebas untuk menjadi peran dan tanggung jawab yang signifikan di dunia publik.” “Dan satu hal terkait distingsi perlakuan budaya antara laki-laki dan perempuan, tapi ini saya agak menyimpang dari tuturnya Betty Friedan. Dan saya akan menarik lebih awal. Dulu orang-orang Sparta di Yunani, budaya memperlakukan perempuan itu sangat istimewa. Jadi kultur moral dari seseorang akan dipengaruhi dengan kondisi tatanan sosial. Bangsa Sparta terkenal tangguh, kan? Mampu mengalahkan Athena dalam Peloponnesian War. Jadi perempuan Sparta, diperlakukan sama seperti laki-laki. Dengan basis militer bangsa Sparta, perempuan juga dilatih jasmani dan fisiknya agar kelak saat proses melahirkan seorang bayi itu lancar. Dan banyak konsep-konsep lain yang justru semua karakteristik, kultur, budaya memperlakukan perempuan, tergantung dari kelompok sosial itu sendiri memanajemen standar moral bagi perempuan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD