Sekarang aku mau menjelaskan dulu di bagian ini, tentang mengapa aku menyertakan tentang konsep ajaran feminisme dalam bagian ceritaku. Begini, secara nggak langsung, sejarah feminisme itu bercokol lama di kepalaku hingga membentuk semacam konsistensi di dalam cara berpikirku. Hampir sekitar tujuh puluh persen perempuan ketika aku tanya tentang sejarah feminisme, tapi semuanya nggak tahu.
Nah, itulah kenapa dalam cerita ini, aku singgung tentang poin-poin krusial dari sejarah feminisme untuk menjadi edukasi baru, tidak hanya aku bercerita tentang pengalaman cintaku. Let met tell you something.
Mempelajari pemikiran Mary Wollstonecraft yang mengkritik Rousseau terhadap proyeksi Shopie sebagai perempuan, bahwa Wollstonecraft berpendapat bahwa asupan n****+, puisi, musik, dan perhatian kepada penampilan terus-menerus, akan menjadikan Shopie sebagai kelemahan, bukan sebagai pelengkap suaminya. Dia—Shopie—akan menjadi makhluk dengan daya pikir yang lemah, dan bukan mempunyai penalaran yang baik. Hormonnya akan semakin meluap, hasratnya meledak-ledak dan emosinya akan mengalami pasang-surut yang cepat. Dampaknya kemudian, maka Shopie akan kesulitan atau bahkan tidak bisa menjalankan tugas kesehariannya sebagai seorang istri, dan terutama sebagai ibu.
Penawaran yang diberikan kepada Shopie agar bisa seperti Emile adalah dengan mendapatkan pendidikan yang memungkinkan dirinya untuk mengembangkan kapasitas rasional dan moral, yang mampu untuk menggali potensinya sebagai manusia yang lengkap. Terkadang, Wollstonecraft menyampaikan argumentasinya yang lebih berfokus kepada kesetaraan pendidikan dalam istilah utilitarian. Dia mengkalim bahwa, tidak seperti perempuan lain yang cenderung lebih emosional dan bergantung pada orang lain, yang mana mereka terbiasa untuk mengindari tugas-tugas domestik dan lebih memilih untuk memanjakan hasrat tubuhnya. Perempuan yang cenderung emosional seperti itu lebih identik menjadi anak perempuan yang pengamat, saudara perempuan yang penuh kasih sayang, istri yang setia dan ibu yang berakal.
Bagaimanapun juga, tidak semua argumentasi Wollstonecraft dalam konsep pendidikan adalah utiliter. Wollstonecraft menegaskan, jika nalar adalah poin untuk membedakan antara manusia dengan binatang, maka perempuan dan laki-laki keduanya mempunyai kapasitas ini. Maka dari itu, masyarakat harus mampu menyediakan sistem pendidikan yang sama kepada perempuan, seperti juga yang diberikan kepada laki-laki, sebab semua manusia berhak atas pendidikan yang sama. Semua manusia berhak atas peningkatan kapasitas nalar dan moralnya. Sehingga mereka sungguh-sungguh dapat menjadi manusia yang utuh.
Setiap jengkal dalam A Vindication of the Right of Woman, Wollstonecraft mendorong perempuan untuk menjadi pengambil keputusan yang otonom. Sementara, untuk mencapai itu, langkah utama yang harus diberikan adalah melalui pendidikan. Meskipun Wollstonecraft menganggap bahwa otonomi perempuan tidak lepas dari pengaruh ekonomi dan politis laki-laki, dia mengatakan bahwa perempuan yang sangat terdidik tidak harus mandiri secara ekonomi, taau aktif secara politis untuk menjadi manusia yang otonom. Bahkan Wollstonecraft mengabaikan gerakan perempuan untuk memperoleh banyak suara sebagai sesuatu yang membuang-buang waktu, karena anggapannya, seluruh representasi hukum semata-mata adalah cara penanganan yang nyaman untuk mencari suaka sebuah despotisme atau tirani.
Membaca Wollstonecraft, aku jadi mengetahui bahwa keinginan Wollstonecraft adalah personhood—manusia yang utuh. Perempuan bukan mainan atau lonceng laki-laki yang harus berbunyi pada telinganya. Dalam arti lain, perempuan bukanlah alat atau instrumen bagi laki-laki untuk sekadar menjadi objek kenikmatan, kebahagiaan, dan kepuasaan belaka saja. Tapi, perempuan adalah tujuan, agen penghasil pikiran, yang harga dirinya ada dalam kemampuannya untuk menentukan nasibnya sendiri. Memperlakukan perempuan hanya sebagai alat itu sama halnya menganggap perempuan bukanlah sebagai manusia. Dia ada bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain. Misalnya, bila seorang suami memperlakukan istrinya seperti tanaman hias yang dipajang di setiap sudut rumah, istri itu nggak lebih hanya sebagai objek kenikmatan dan kebahagiaan inderawi saja. Juga bila memperlakukan perempuan hanya sekadar sebagai objek, itu berarti membiarkan perempuan diperlakukan secara sewenang-wenang sebagai target dan bukan menganggap dirinya sebagai suatu entitas yang utuh. Alih-alih mengatakan untuk mengambil tanggung jawab untuk megembangkan perempuan menjadi pohon beringing yang besar, di saat yang sama, laki-laki juga membentuk perempuan menjadi pohon bonsai yang justru lebih kecil bentuknya. Yang biasa dilakukan dengan manifestasi kekerasan, pengekangan, dan d******i kekuasaan yang otoriter. Tidak satu wujud perempuan pun, menurut Wollstonecraft, yang membiarkan kekerasan itu dilayangkan untuk dirinya.
Banyak perempuan zaman sekarang yang tidak menyerap ajaran itu. Alasan seorang istri menikah dengan laki-laki kaya pilihannya kebanyakan hanya berdasarkan upaya untuk mencari suaka. Tapi, mereka tidak sadar secara sepenuhnya bahwa dia telah menukar kebebasannya menjadi perempuan kepada laki-laki yang menjadi suaminya itu dengan kenikmatan dan kepuasaan individu saja. Oleh sebab itu, tidak jarang terjadi kekerasan dalam rumah tangga yang merugikan perempuan karena ketidakselarasan dalam melihat suatu persoalan. Maka, untuk melihat keseluruhan problem itu, agaknya kita mempertimbangkan pasangan ideal menurut Rousseau, yaitu laki-laki yang rasional seperti Emile, dengan perempuan yang emosional seperti Shopie.
Sejak aku hendak masuk SMA, aku terus mengupayakan untuk mempertahankan prinsip itu. Agar ada keteguhan dan ada upaya prventif dan selektif dalam memilih pasangan.
***
Menjelang sore di hari sabtu, Malik tiba-tiba ke rumahku. Tepat bunda juga sudah pulang dari kampus. Dia yang mengetahui kalau temanku yang pernah memberikan arum manis telah menyapanya di depan pintu rumah sore ini.
Aku terkejut dan bergegas keluar rumah. Aku sempat membentaknya dengan intonasi suara yang sedikit berat sebab kutahan. Aku tanya ada urusan apa dia ke rumahku.
“Aku tamu, dan tamu biasanya dilayani layaknya rohaniwan yang butuh makanan.”
“Oh, ke sini jadi butuh makan? Ya udah, sebentar…”
“Eh, maksudku, layanin tamu dengan hormat. Aku tamu di sini,” ujarnya dengan gayanya yang sengak.
“Mentang-mentang udah tahu rumahku. Nanti aku pindah aja ah.” Mau tidak mau, aku menyuruhnya masuk dan nyuguhi beberapa camilan. Dia duduk takzim. Sementara bunda sedang di dapur dengan Bi Asih.
“Ada apa?”
“Ada kabar buruk.”
“Kabar buruk apa?” sontak aku sedikit kaget, sedikit takut juga. Dia bilang padaku, jangan-jangan ada hubungannya denganku.
“Jangan keburu ngasih tahu bunda,” tuturnya sedikit berbisik.
Haduh!
“Aku sebentar lagi operasi?”
“Operasi apa?”
“Pencangkokan rindu.”
“Bangke!”
Seraya Malik ketawa ngakak, tiba-tiba bunda dateng dari arah belakang.
“Kayaknya seru banget, nih.”
Kami berdua terkejut, kemudian Malik melirihkan tawanya.
“Ajak Malik makan bareng sama kita, Sayang.”
Hah? Wajahku mencerminkan reaksi protes ke bunda. Makan bareng di rumah sama laki-laki asing?
“Iya, sambil ngobrol di meja makan.”
Aku masih saja heran, mengapa bunda bisa selembut ini ke laki-laki yang notabene masih baru aku kenal.
Aku tidak mempunyai alasan untuk membantah atau menyangkal perintah bunda. Semestinya yang menolak adalah tamunya. Di sisi lain, aku memperhatikan Malik yang malah terlihat senang-senang saja ketika ditawari makan bersama. Dia seperti tidak punya kemampuan buat menolak. Ya sudah, dengan sangat terpaksa aku makan bersama dengannya.
“Situ duduk di sampingnya Malik…”
“Ah, bunda. Aku nggak…” Aku menggerutu.
Takut suasana makan kali ini jadi nggak nyaman, aku menurut.
“Kalau sampean ndak mau, mending bibi aja yang di samping masnya.”
“Bi… Bibi di samping saya, ya…” Bunda menyangkal ketika Bibi ingin mengambil alih tempat dudukku di samping Malik. Em, baru saja aku merasa senang karena nggak akan duduk di samping Malik.
Malik mengambil nasi dan lauk tanpa ragu-ragu. Disambut sumringah oleh bunda. Bunda adalah tipikal orang yang senang dengan orang yang tidak malu-malu ketika diajak makan. Kita makan bersama di meja makan hari ini. Aku agak risih ketika di sela-sela makan, bunda melirik aku dan Malik bergantian. Seolah wajahnya itu ingin mengatakan, “cocok, ya.”
Ketika makan bersama selesai, dan beberap piring kotor yang ada di meja makan telah diangkut oleh Bi Asih, bunda menyuruh aku dan Malik untuk tetap duduk seperti semula. Bunda sepertinya ingin mengatakan sesuatu.
“Ada masalah apa kalian?”
Deg!
What? Aku salah mendengar, kah? Perlu untuk kamu ketahui, ekspresi bunda benar-benar jauh berbeda dengan yang sebelumnya. Seperti sedang menginterogasi. Atau kamu bisa memakai istilah lain yang lebih ngeri.
Sambil kedua tangannya terlipat di atas meja. Bunda melirik kami berdua tajam. Malik yang tak kuasa menatap mata bunda, lebih memilih menunduk daripada saling beradu mata dengan bunda.
Mulutku terasa membisu. Aku yang biasa ceplas-ceplos ke bunda, mendadak menjadi seperti tuna wicara yang hanya bisa mengatakan melalui ekspresi wajah kalau aku tidak ada masalah apa-apa dengan Malik.
Aku tidak tahu, itu hanyalah prasangka atau bunda memang benar-benar tahu. Kalau memang tahu, dari mana sumbernya? Aku sudah memastikan sendiri bahwa Nissa akan tutup mulut soal masalah ini. Tapi bunda tahu dari mana? Apakah Malik tanpa sepengetahuanku, mengajarkan ilmu meramal pada bunda ketika mereka pertama kali bertemu di ruang tamu?
Atau bunda mempunyai mata-mata baru sejak mengetahu aku dekat dengan seorang laki-laki? Pikiran dan batinku menggerutu.
“Tidak. Bunda nggak mempunyai atau menyuruh salah seorang teman kalian di sekolah buat menjadi mata-mata bunda untuk mengawasi kalian. Buat apa?” Bunda seperti mampu membaca gerutuanku. Sekali lagi aku mencurigai, apakah bunda belajar ilmu meramal dari kebiasaan Malik yang kerap seratus persen benar ketika membaca batinku.
“Sisa lebam yang ada di wajahmu itu, kamu dapat dari mana?” tegas Bunda seraya menatap Malik dengan tajam.
Aku tidak pernah membayangkan. Ada salah seorang tamu di rumah yang mana itu adalah temanku sendiri, dicecar sedemikian rupa oleh bunda. Seperti telah melakukan perbuatan kriminal terhadap putrinya.
“Bunda persingkat saja, apa yang terjadi dengan kalian akhir-akhir ini?” Bunda menggertak.
Aku semakin meradang. Malik semakin berkeringat, padahal tadi tidak ada hidangan yang pedas.
“Bunda sudah dapat informasi dari Pak Bagus, wali kelas kalian…”
Oh, s**t! Aku memaki.
“Intinya, kalau sampai mempengaruhi nilai kalian, nggak hanya kamu atau Malik, lebih baik jangan terlalu dekat. Karena untuk melibatkan perasaan, butuh kematangan. Kematangan mental, tanggung jawab, dan akal. Kalau masih suka cari-cari masalah yang nggak penting dan itu mengganggu kondisi emosi kalian, lebih baik tidak berinteraksi.”
Aku tidak habis pikir dengan bunda. Kenapa harus “kalian”, tidak hanya aku saja karena aku adalah putrinya? Kenapa bunda bilang nggak hanya aku atau Malik? Yang lazimnya seorang ibu di manapun hanya mengkhawatirkan anaknya sendiri. Sumpah, bunda memang di luar akal sehat banget. Serius, habis ini aku ingin sekali ngobrol berdua dengan bunda terhadap sudut pandangnya tentang Malik.
“Maafin saya, Tante. Saya hanya berusaha menyampaikan perasaan saya tanpa harus secara terang-terangan menunjukkan apa maksud dari kepedulian saya ke Grace. Bahkan, lebam ini pun dengan berusaha keras saya menyembunyikannya dari Grace. Laki-laki yang bermental menurut saya adalah yang mampu menjaga orang terdekatnya untuk tidak merasa khawatir.”
Bunda mengangguk takzim. Kenapa si Malik kalau sudah berurusan dengan bunda, menjadi orang yang benar-benar santun, sementara kalau denganku, kerap kali malah terlihat menyebalkan.
Aku menggelengkan kepala. Melihat Malik dengan dipenuhi keheranan.
“Kenapa?” Bunda beralih tanya padaku. Aku mengercap.
“Dan jangan berurusan dengan kakak kelasmu yang namanya Tio itu. Bunda pernah bilang, kan? Untuk tidak terlibat dalam kerumitan atau masalah, tegaskan satu orang yang perlu disingkirkan.”
Pembicaraan itu mulai mencapai titik k*****s ketika bunda menggertak diriku yang nggak pernah cerita. Sampai dia sendiri tahu apa yang terjadi padaku melalui orang lain yaitu wali kelasku sendiri. Lalu Malik berusaha menyalahkan dirinya sendiri karena beranggapan bahwa karena dirinya lah, aku turut terlibat dalam masalah. Bagaimana tidak, persoalan ini bisa menjadi agak krusial ketika terdengar ke telinga bunda, sebab selama ini bunda nggak pernah mendapati aku mempunyai masalah di sekolah. Meskipun aku bukan biang keladinya.
Tapi, bunda termasuk orang yang rasional. Terlepas dari dirinya termasuk orangtuaku dan Malik adalah tamu atau orang luar yang mustinya disingkapi dengan sikap lembut layaknya orang lain di luar sana. Kalau di antara kami ada yang melakukan kesalahan, pasti olehnya ditegur. Siapapun orang itu. Entah anaknya sendiri, atau tamu di rumahnya. Hal ini berbeda dengan kebiasaan orang tua lain yang cenderung menyalahkan anaknya sendiri dalam segala hal. Tidak pernah melihat kebenaran yang sesungguhnya dengan merasa tidak enak untuk menyalahkan orang lain, padahal orang tersebut yang salah, bukan anaknya.
Hari ini, meskipun bunda cukup meledak-ledak, tapi dalam setiap jengkal ucapannya, mengandung rasa pengertian untuk menjaga kami selaku anak muda, untuk tetap berhati-hati dalam segala hal. Mengupayakan untuk tidak mencari masalah, juga berani untuk berterus terang terhadap orang tua.
Honestly, Malik termasuk orang yang tatak karena berani meminta maaf langsung ke bunda. Dan rela memposisikan dirinya sebagai orang yang bisa disalahkan dalam kejadian yang telah terjadi akhir-akhir ini. Walaupun dari sudut pandangku, Malik tidak ada unsur mencari masalah atau dia bisa dianggap bersalah. Mungkin memang hormon laki-laki yang sedang cemburu itu suka membuat akal sehat nggak bekerja.
Hari ini juga, aku bisa mencapai rasa lega. Aku jadi lebih tahu cara bunda menyingkapi diriku yang beradaptasi ketika dekat dengan seorang laki-laki. Aku adalah anak satu-satunya. Gertakan yang disampaikan bunda—apapun itu—hanya bertujuan untuk memberi gambaran dan pengetahuan baru padaku tentang bagaimana menyingkapi persoalan. Serta tidak pandang bulu untuk menjustifikasi orang salah. Tapi rasa penasaranku masih sama, kenapa bunda seperti sangat memperhitungkan Malik akhir-akhir ini? Seolah-olah menganggap Malik bukan hanya sekadar sebagai teman biasa buatku. Padahal telah aku bilang berulang kali kalau aku tidak ada hubungan lebih dengannya.