Ada Apa?

2115 Words
Hari senin, giliran kelasku yang bertugas menjadi petugas upacara. Rafi yang merupakan anggota Ekskul Paskibra mendapatkan bagian menjadi pemimpin upacara. Dicky menjadi pembawa teks Pancasila. Sedangkan Sinta, Devi, dan Rada—yang ketiganya jyga merupakan anggota ekskul Paskibra—menjadi pembawa sekaligus pengerek bendera pusaka. Aku mengajukan diri menjadi pembaca Undang-Undang, dan Enggar menjadi pembicara doa di akhir penutup upacara. Sementara, yang lain, yang tidak mendapatkan peran menjadi petugas inti, maka bertugas menjadi regu pembawa lagu-lagu kebangsaaan. Anggota kelas kami sengaja berangkat lebih awal berbeda seperti hari biasa untuk menyiapkan diri. Karena mulai dari seragam petugas upacara, dan semua peralatan upacara yang nantinya dipakai bertugas semuanya berada di sekolah. Kami juga dibantu oleh pengurus OSIS yang menyiapkan podium buat pembina dan nomor patokan yang diletakkan secara acak di lapangan upacara buat seluruh kelas. “Rada nggak dateng-dateng, sih!” Devi sudah mulai mengomel. Waktu kurang lima belas menit lagi, upacara sudah harus dimulai. Rafi nampak terlihat tenang-tenang saja dengan bagiannya. Sesekali juga ikut menggerutu buat salah satu rekan satu ekskul-nya yang tidak disiplin dengan tugasnya. Sinta yang mencoba menelepon dan mengirim pesan ke Rada berulang-ulang kali. Tetap tidak ada sambungan. Semuanya mulai panik. Disusul wali kelas juga turut kebingungan. Meskipun wali kelas bisa saja meminta bantuan salah satu anggota paskibra dari kelas lain untuk mengisi pos kosong dari Rada—kalau misalnya tidak masuk. Tapi itu sama saja seperti ketidakbecusan wali kelas buat mengorganisir team-nya. Padahal persiapan untuk menjadi petugas sudah sejak dua minggu sebelumnya. Lantas pada saat kita bertempur, ada salah seorang petugas inti yang tidak datang tanpa konfirmasi sebelumnya. “Nanti ditungguin, malah nggak dateng. Udah minta bantuan kelas lain, malah tiba-tiba dateng. Kan repot, ya…” Pak Bagus menggerutu sambil nyekikik. Dia tidak terlihat begitu gusar untuk mengatasi ini. Sebab mudah saja dia meminta tolong salah seorang anggota paskibra, sebab dia termasuk guru yang humble dan sering berkumpul dengan para murid dari berbagai macam program. “Lik!” Rafi nyeletuk. “Hem?” Malik hanya berdeham. Dia duduk dengan tangan terlipat dan paha kaki kanan yang disilangkan di atas paha kaki kiri. Di sampingnya ada Edward yang menemani mengobrol sejak tadi. Mereka berdua seperti tidak terlalu mengambil pusing. “Kamu kan deket sama Rada. Dia ke mana?” tanya Rafi datar. Seluruh anggota kelas ikut menyorot Malik yang masih terlihat tidak peduli. “Bukannya kalian semua mustinya juga tahu dia ada di mana? Emang ada jarak seberapa kalian sama Rada, kok harus aku yang ditanya?” timpal Malik sinis. Semuanya menyambut reaksi dingin Malik dengan sumringah dan takjub, kecuali aku dan Rafi. “Kan, kamu pacaran sama dia. Seharusnya tahu, dong.” Rafi ngotot tidak mau mengalah. Deg! Detak jantungku tiba-tiba seperti berhenti bekerja. Aku agak menunduk, tidak tahu kenapa. “Makan berdua di kantin, ngobrol bareng di kelas, itu bisa diartiin pacaran? Terus apa bedanya anda dengan Desi?” ketus Malik. Deg! Debar jantungku seperti kembali bekerja. Sontak yang lain termasuk aku, tertawa terbahak di tengah kepanikan. Walaupun pernyataan lugas Malik diucapkan dengan gaya sedikit dingin dan sinis, membayangkan Rafi pacaran dengan Desi saja sudah membuat kami tertawa. Asal kamu tahu, Desi ini adalah salah satu staf petugas kebersihan di sekolah yang berkulit hitam yang biasa menggoda Rafi kalau sedang latihan paskibra dan makan di kantin. Sepertinya ada sebagian dari kami yang tertawa bukan karena menganggap bahwa Desi tidak glowing, melainkan mengetahui kebiasaan Desi yang sering mengusik Malik. Rafi terdiam membisu. Alih-alih ingin menyudutkan Malik, malah dirinya sendiri yang tersudut balik. Aku nggak habis pikir, Malik termasuk orang yang tidak begitu banyak cakap, tapi sekalipun mengeksekusi lawan bicaranya, langsung dengan telak. Aku menerka-nerka bagaimana Edward yang selalu didekatnya ketika menemaninya ngobrol, apa saja yang diobrolkan, dan apakah Edward bisa mengimbangi cara berpikir Malik yang cenderung lebih bebas dan luas—itu masih menjadi pertanyaan. “Ada yang mau menggantikan Rada?” Pak Bagus menawarkan. Tapi, tidak ada yang mau mengajukan diri. Karena petugas pengibar bendera pusaka termasuk bagian yang paling rumit kalau belum pernah melalui beberapa latihan. Para murid dari kelas lain mulai serentak keluar kelas dan memakai atribut upacara masing-masing. Mulai dari topi, dasi, name tag, dan ikat pinggang. “Minta satu bantuan temenmu, panggil ke sini.” Pak Be menyuruh Rafi buat memanggil rekan satu ekskul paskibra untuk mengisi pos kosong yang ditinggalkan Rada. “Kalau misalnya nggak bisa datang, mbok ya, konfirmasi dulu semalem. Biar nggak mendadak begini. Peringatan buat yang lain. Kalau misalnya diberi amanah menjalankan tugas, kalau memang nggak bisa atau keberatan, ya bilang saja.” Pak Be mulai menggerutu—mengeluarkan unek-uneknya yang sejak tadi sepertinya dia tahan. Setelah Rafi kembali dari kelas XI IPA 2, kami segera berkumpul untuk berdoa bersama terlebih dahulu dengan harap upacara yang dipimpin oleh kelas kami berjalan dengan lancar. Meski sebelumnya, Pak Bagus akan memberikan kecaman ke Rada bila besok dia telah masuk. Reaksi itu membuat yang lain merasa ketar-ketir. Karena hal ini berbeda dengan gambaran umumnya. Pak Bagus cenderung sangat loyal ke murid. Sering bergaul dan biasa menemani para siswa—biasanya anggota futsal—ketika istirahat. Tapi memang, ketika ada salah seorang terdekatnya melakukan kesalahan fatal, Pak Bagus tidak segan-segan menggertak. Dan itu sangat kontras dengan gaya bicaranya yang biasa terdengar friendly oleh para murid. Kami berjalan menuju lapangan upacara. Regu pembawa bendera pusaka menenteng amunisinya—Bendera Merah Putih. Dicky tengah berjalan dengan teks Pancasila yang dijepit di ketiaknya. “Aku bilang seperti tadi, bukan semata-mata ingin mengejek Rafi, tapi biar kamu tahu saja. He he he,” tutur Malik. Tiba-tiba mengimbangi langkahku dan mengucapkan kalimat itu dengan nada lirih yang diakhiri dengan cekikikannya. Lalu berjalan setengah berlari untuk menyusul Edward. Aku menggelengkan kepala. Tingkah dia selalu ada saja. Tidak terlihat mencolok di depan orang lain. Namun begitu mengganggu ketika sudah didekatku. Rentetan alur jalannya upacara berjalan selama kurang lebih satu jam. Dengan cuaca terik khas kota Surabaya, beberapa peserta upacara ada yang pingsan. Dan masih ada beberapa murid harus rela terpinggirkan karena tidak memakai atribut perlengkapan upacara yang lengkap, padahal di setiap upacara sebelum-sebelumya sudah sering diingatkan. Barisan regu pembawa lagu-lagu kebangsaan mulai terdengar bising ketika pembina upacara menyampaikan orasinya. Para murid yang sebelumnya terlihat masih segar dan melakukan sikap sempurna dengan tangan mengepal di samping saku celana, setelah upacara berjalan dua puluh menit, sudah banyak yang mulai menguap, mengobrol sendiri bahkan tidak jarang suara cekikan keluar spontan, kedua tangan yang tadinya mengepal di samping saku celana, kemudian tidak terlihat lagi, karena sudah dimasukkan ke saku celana. Pembina upacara bukanlah Kepala Sekolah untuk hari ini, melainkan guru pengajar Bahasa Inggris yang identik tidak terlalu tegas dalam mengevaluasi jalannya upacara. Alhasil para murid yang ramai sendiri tadi tidak dikecam dengan tegas. Cuaca terik mengakibatkan bibirku cepat kering dan tenggorokanku cukup nyekat untuk menelan air liur. Untungnya, hal itu terjadi setelah aku selesai membacakan Undang-Undang Dasar 1945. Dan hatiku sedikit gembira karena pembina upacara mengapresiasiku walaupun masih dalam frasa yang biasa-biasa saja. “Pembaca teks Undang-Undang Dasar 1945 sudah baik, semoga untuk petugas-petugas berikutnya bisa dipertahankan, lebih bagus lagi kalau ditingkatkan.” Kemudian, setelah usai menyanyikan lagu mengheningkan cipta dan Enggar telah menutup rangkaian kegiatan upacara bendera dengan doa sesuai buku teks yang dia bawa, para guru yang ikut serta upacara dipersilakan meninggalkan upacara terlebih dahulu. Kecuali yang tertinggal di antara para guru adalah Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, dan Pembina OSIS. Hal demikian biasa dilakukan bila apa yang disampaikan oleh pembina upacara dirasa kurang spesifik atau memang dari pihak guru ingin menambahkan amanat lain yang bisa disampaikan secara langsung ke seluruh murid tanpa harus mengadakan pertemuan yang lain. Pesan dari kepala sekolah: “Asalamualaikum wa rahmatullahi wa wabarakatuh. Selamat pagi. Saya tidak akan mengucapkan anak-anak yang saya banggakan atau yang saya sayangi seperti sebelum-sebelumnya, karena kalian, khususnya peserta upacara, tidak mampu menghormati jalannya upacara. Ramai sendiri! Guyon sendiri! Dulu, para pendiri bangsa ingin mengadakan upacara sakral seperti ini butuh waktu ratusan tahun! Kalian malah guyon sendiri. Mengangkat tangan sampai bendera pusaka sampai di puncak tiang nggak kuat, hah?!” “Kuat, Pak!!!” teriakan para murid dari kelas sepuluh sampai dua belas menghempas rerumputan di lapangan. “Lalu kenapa tadi banyak yang mengabaikan sikap sempurna? Ngobrol sendiri, guyon sendiri?!" Para peserta upacara terdiam. “Terkait kedisiplinan, saya tidak segan-segan menskors bagi siswa-siswi yang tidak disiplin! Tidak memakai atribut upacara lengkap, datang terlambat. Kalau sampai di antara kalian melibih tiga kali kesalahan itu, saya tidak segan-segan bahkan harus merumahkan kalian!” “Camkan peringatan dari saya! Kemudian, terkait dengan event basket antar SMA se-Jawa Timur, sekolah kita akan menjadi tuan rumah. Pesan saya, jaga kredibilitas nama sekolah kalian, jangan berbuat sesuatu yang memalukan! Bagi anggota ekskul basket yang terpilih untuk ikut dalam pertandingan, jaga nama baik sekolah kalian! Kejar kemenangan! Apalagi bagi anggota ekskul basket yang sedang berada di tahun terakhir, buatlah penutupan yang indah selama kalian berkontribusi di sekolah ini. Semua paham?!” “Paham, Bapak!” “Yang terakhir, buat siswa-siswi kelas dua belas, sekarang tidak ada waktu buat main-main. Putuskan mimpi kalian. Belajarlah dengan giat! Selagi kamu masih merasa santai-santainya, ribuan bahkan jutaan pesaing kalian sedang begadang untuk belajar seharian! Paham semua?!” “Paham, Bapak!!!” teriakan dari gumpalan khususnya barisan anak dua belas semakin menderu. “Satu lagi, terima kasih buat petugas upacara yang mampu menjalankan masing-masing tugasnya dengan baik. Sekian dari saya, terima kasih. Asalamualaikum wa rahmatullahi wa wabarakatuh.” Upacara dibubarkan. Seluruh makhluk yang menggumpal di lapangan upacara bernapas lega. Semburat wajah para murid kelas dua belas menunjukkan kegigihan, tidak sabar ingin bertempur dengan soal-soal. Anggota ekskul basket antusias menyambut ucapan Kepala Sekolah yang menggelora semangat mereka, ekspresinya menunjukkan bahwa mereka tidak sabar ingin segera berlatih. “Ada istirahat sepuluh menit, mau ke kelas atau ke kantin dulu?” tanya Malik. “Aku mau ke kelas. Nissa soalnya juga mau balik kelas. Lagian aku nggak laper,” jawabku. “Malik! Ke kantin dulu, yuk.” “Kalau ditraktir mau. Kalau nggak, nanti aja waktu istirahat kedua, Ward.” “Ya udah, aku sama Dicky aja kalau gitu. Aku laper hemm..." Hanya beberapa anak yang balik ke kelas. Sisanya menggunakan waktu istirahat untuk membeli sarapan. Mungkin berangkat terlalu pagi, membuat mereka nggak sempat makan di rumah. “Baru kali ini aku lihat kepala sekolah suaranya bener-bener menggema banget.” “Dia itu termasuk orang yang nggak wacana, tapi tindakannya bener-bener sesuai omongannya.” “Kayak ancaman dikeluarin tadi?” Malik duduk di bangku Ica yang masih kosong sebab dia masih di kantin dengan Fyora. Agaknya, sekarang Malik sedikit berhati-hati untuk tidak duduk di sebelahku karena mungkin yang lain bisa saja mengira kalau aku pacaran dengannya. Sama seperti kesimpulan Rafi tentang Malik dan Rada. “Iya. Mungkin beberapa orang mengucapkan peringatan keras seperti itu hanya bertujuan sebagai gertakan aja, supaya yang diperingatkan mau menuruti perintah. Tapi kalau kepsek sih, dia nggak pernah main-main. Lagian, setahun sudah dia menjabat sebagai kepsek, baru kali ini dia bener-bener membuat peringatan yang mengerikan bagi murid yang suka menyepelekan atribut upacara sekolah. Mungkin dia termasuk orang pertama yang paling risih ketika melihat ada murid yang terlambat dan dipinggirkan waktu upacara.” “Yah, kita lihat saja nanti. Apakah lapangan sebelah timur itu benar-benar sepi pengunjung atau masih tetap ada satu makhluk yang kupingnya tebal. Sudah dikasih kecaman tegas, masih melanggar.” “At least, kita sama-sama tahu bagaimana kepsek mencari cara untuk meningkatkan kedisiplinan para muridnya.” Aku sebenarnya ragu mau bertanya. Walaupun aku tidak punya maksud apa-apa, tapi… “Kenapa wajahmu begitu sinis ketika ngomongin soal Rada tadi?” Aku kira, Malik akan menyambut pertanyaanku itu dengan wajah menyebalkan seperti biasanya—yang mana ini adalah penyebab kenapa aku ragu bertanya soal itu. Tapi, Malik justru tercenung. Malah mengelus pelipisnya dengan tatapan kosong. “Jangan sok-sok an senyum! Bukan gara-gara aku lagi, kan ini?” “He he he. Bukan…” “Jadi?” “Janji jangan marah atau mengambil kesimpulan sendiri, ya?” “Hah? Kenapa pakai gituan segala? Katamu nggak ada hubungan sama aku?” Dia senyum-senyum lagi ke arahku. Seriusan ini anak pasti udah belok kepalanya. “Jangan senyum-senyum aja. Pelipismu kenapa kamu pegangin terus?” “Iya, semuanya berawal dari munculnya lebam di pelipisku ini…” “Grace! Morning!!!” Ica menyapaku. Disusul Fyora, Edward, dan Dicky yang telah kembali dari kantin, menandakan pelajaran pertama akan dimulai. Cerita Malik tersendat di awal. Nyatanya, aku merasa tidak nyaman kalau misalnya ada yang menjanggal seperti ini. Kurasa, Malik mencoba berbohong kalau hal itu tidak ada hubungannya denganku. Malik tidak melanjutkan ceritanya. Dia kembali ke bangkunya setelah Ica dan Edward usai kembali dari kantin. Ica duduk di sebelahku karena Rada nggak masuk. Fyora mau duduk sendirian karena pelajaran pertama bukan matematika. Aku masih saling melirik dengan Malik untuk memberikan kode supaya dia melanjutkan ceritanya. Dan dia hanya menjawab iya dengan kedua alisnya. Di sela-sela pelajaran berlangsung, aku masih menerka-nerka apa hubungannya cerita Rada dengan penegasan Malik yang menyuruh aku jani untuk tidak boleh marah? Untung saja pelajaran pertama bukanlah matematika, melainkan Bahasa Indonesia. Jadinya, meskipun pikiranku ke mana-mana, aku masih bisa menyusul materi dan memahaminya dengan cepat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD