Aksi Intelektual Rada Bagian Satu

2164 Words
“Iri kenapa?” “Iri kalau aku kelihatan menonjol di kelas. Menonjol ini maksud dia kalau aku aktif di kelas, juga menurut dia itu aku pinter. Ya, dan sifat-sifat lain yang menurut dia itu menjadi nilai lebih dari aku. Apalagi dianggapnya kalau aku deket sama Malik. Dan kalau kamu tahu, waktu ketika pelajaran sejarah kan, yang paling aktif di kelas cuma aku sama Malik. Jadi ya, menuruku itu yang membuat dia tertekan mungkin, Nis.” “Dia ngomong gitu langsung ke Pak Bagus?” “Iya, ya setekah kalian disuruh keluar itu. Dan anehnya, setelah Rada bilang tentang alasannya itu, Pak Bagus langsung ketawa tahu.” “Hah? Masa iya? Yang tadinya raut mukanya nggak bersahabat kayak biasanya, langsung ketawa?” “Iya, Ca. Jadi, kan ada beberapa guru yang juga ada di situ toh? Nah, begitu Pak Bagus ketawa, langsung guru-guru itu menoleh semua. Yang tadinya suasana begitu canggung, senyap, mencekam, ya pokoknya suasana paling nggak nyaman yang pernah aku rasain ada di situ. Begitu Pak Bagus ketawa langsung plong banget.” “Kayak orang yang tadinya kesurupan terus sadar, gitu,  ya?” Fyora nyeletuk dan segera ditampol oleh Ica. Semua yang ada di bangku kantin Maf Arif menganggurkan minumannya. Es batu yang tadinya utuh, mulai berubah cair menjadi titik-titik embun yang menyelimuti di setiap sisi gelas. “Tapi kenapa orangnya ketawa?” tanya Nissa. “Orangnya bilang kurang lebih kayak gini, seumpama kamu Rada, ya, Ca…” “Apaan?! Nggak, nggak mau!” “Ish! Ya udah, gelas ini aja ibaratnya Rada,” ujarku. “Iya, soalnya dia tadi belum apa-apa udah keringetan sama kayak gelas ini,” gurau Fyora sambil melihat gelas yang dipenuhi tiitk-titik embun karena es batu yang mencair. “Oragnya bilang gini, perasaan iri itu manusiawi, apalagi iri terhadap kepintaran, d******i, tapi justru itu membuat saya senang. Sebab artinya kamu ke depannya akan bersaing secara intelektual dengan Grace. Tapi, bukan demi mencapai keuntungan itu, kamu mengikutsertakan cara-cara yang negatif untuk menebas lawanmu. Tetap sportif dan kalau bisa saling mengajari satu sama lain. Persoalan siapa yang lebih unggul, tergantung konsistensi dan kerja keras kalian. Gitu katanya…” “Ngomong-ngomong, Pak Bagus agaknya lebih cocok jadi guru BK atau sosiologi, ya. Daripada jadi guru olahraga. He he he…” Nissa nyeletuk. “Ha ha ha… Iya. Bener-bener.” “Oh iya, aku ke ruang guru dulu. Tadi disuruh Bu Ersa ke sana, soalnya.” “Cie orang sibuk…” Nissa menyahut. “Sibuk gundulmu…” “Duluan, ya. Jangan lupa bayar sendiri di Mas Arif…” *** “Malik belum ke sini, Bu?” Aku sudah masuk di ruang guru dan mendapati Bu Ersa yang juga ada di sana. Namun, aku belum tahu Malik ada di mana. “Nggak lagi sama kamu?” “Saya cari Malik dulu, ya, Bu. Mungkin di kelas.” “Enggak usah, Grace. Kamu bisa jelasin sendiri ke Malik nanti.” Bu Ersa mulai menyibak tumpukan kertas di depannya. “Jadi, konsep acaranya nanti kalian berdua akan jadi pembicara tentang tema sejarah feminisme. Kalian berdua akan saling membantu untuk membangun argumen. Dan kalian akan berhadap-hadapan dengan delegasi sekolah lain.” “Bukan seperti debat, ya, Bu?” “Bukan, Grace. Beda. Kalau debat itu lebih ketat dan aturan teknisnya terstruktur. Kalau dalam acara nanti, tidak ada batasan bicara. Tapi pembawa acara akan menghentikan argumen salah seorang pembicara kalau argumen itu dirasa terlalu panjang dan menyimpang. Meskipun bukan debat, tapi nanti sangat dimungkinkan kalau terjadi bentrokan argumen dengan delegasi sekolah lain.” “Jadi intinya, kami dan delegasi sekolah lain, bakal berdiskusi ya, Bu? Kalau misalnya saya tidak setuju dengan argumen yang dilayangkan oleh delegasi lain, saya bisa mengkritik?” “Iya, begitu.” “Lalu, peran guru-guru nanti bagaimana?” “Saya dan para guru di sekolah lain hanya mengevaluasi jalannya diskusi, kalau misalnya jalan diskusinya terlalu menyimpang, para guru akan membantu pembawa acara atau moderator nanti dengan meluruskan kembali jalan diskusi. Konsep ini untuk melatih para murid untul lebih siap secara intelektual sekaligus membiasakan tradisi diskusi sebagai upaya untuk membangun ide-ide baru. Yang sangat potensial, argumen-argumen kalian akan menjadi jembatan utama untuk menuju dalam suatu utopia tertentu seperti yang dikatakan Plato. Sudah pernah mendapat pelajaran tentang filsafat?” “Belum, Bu.” “Ya, sudah itu kapan-kapan. Kamu bisa kembali ke kelas dan nanti bisa jelasin sedikit ke Malik.” Kemudian aku kembali ke kelas dan mendapati Malik yang tengah asyik ngobrol dengan Edward, Dicky dan Krisna. Dia sibuk tertawa dengan yang lain sampai lupa kalau dia harus ke ruang guru menemui Bu Ersa. Aku tidak mempedulikannya dan kembali duduk di bangku. Ica dan Fyora kemungkinan masih di kantin. Tapi sebentar lagi akan kembali kelas karena sudah hampir waktunya jam masuk kelas geografi. “Eh, tadi udah ke Bu Ersa?” “Udah. Makanya, jangan ngobrol mulu. Lupa, kan, jadinya.” Aku agak ketus. “Ya itu si Dicky ngehayalnya ke mana-mana. Jadinya ya, ngikut. He he he…” “Nggak idealis. Nyalah-nyalahin orang.” “Ish, bedain idealis sama humor, ya…” “Pokoknya nanti kujelasin setelah pulang atau kalau lagi diskusi aja. Ini mau masuk kelasnya Pak Tinggar.” “Okay, see ya.” Tepat setelah bel masuk berbunyi, Malik sudah kembali ke tempat duduknya. Ica dan Fyora juga sudah melewati ambang pintu kelas dan duduk di tempat mereka masing-masing. Aku tidak mendapati Rada kembali ke kelas, sementara Pak Tinggar sudah terlebih dahulu masuk. Karakter mengajar Pak Tinggar tidak jauh beda dengan Pak Ridho. Apalagi tentang kedisiplinan, keterlambatan, dan keaktifan. Diupayakan oleh mereka berdua dalam konsep mengajarnya, kalau kondisi kelas tidak seperti kuburan—tidak dihuni oleh mayat, atau benda-benda mati—tetapi seperti forum yang audiens-nya selalu aktif dan mampu mengutarakan pertanyaan atau argumen lain, meski tidak semuanya yang mampu melakukan itu. “Sudah masuk semua?” Pak Tinggar mengawali. Suasana kelas mendadak menjadi senyap, tegang, dan mencekam. Masalahnya, dalam pelajaran geografi, sepertinya tidak ada murid di kelas yang benar-benar mampu related pada setiap materinya—beberapa faktor penyebabnya karena ketegasan Pak Tinggar yang diartikan oleh para murid sebagai amarah yang meledak-ledak yang menyebabkan kondisi mental dari para murid tidak stabil dan tidak tenang di saat mengikuti kelasnya, juga karena begitu banyaknya tugas yang diberikan oleh Pak Tinggar selama ini  yang membebani para murid untuk lebih baik menyalin jawaban di internet daripada membaca banyak buku, agar tugas rumah itu cepat terselesaikan, karena para murid juga harus belajar dan mengerjakan tugas dari mata pelajaran yang lain. Tapi, pada skala materi tertentu, kesannya jadi berbeda ketika di mana Pak Tinggar menyulap materi-materi rumit menjadi cerita-cerita yang asyik dan mudah dipahami. Meskipun begitu, memang harus tetap diupayakan dari para murid untuk konsisten menambah dan mempelajari literatur sendiri, supaya bisa mengimbangi penjelasan Pak Tinggar. “Sudah, Pak.” Seseorang menjawab. “Em, ada yang belum masuk kelas, Pak,” Aku memberitahu dengan agak skeptis. “Siapa?!” “Rada, Pak!” Ica menyergah dengan nada tinggi. “Ya sudah, kalau sampai lima menit tidak masuk kelas, kita mulai pelajarannya. Dia tidak saya absen.” Aku merasa tidak nyaman dengan suasana seperti ini. Mungkin sepertinya, Rada masih terganggu dengan masalah yang telah dia perbuat, makanya, untuk masuk kelas dia sepertinya ogah-ogahan. Atau juga karena dia sungkan padaku. Padahal aku sudah tidak mengungkit masalah itu sama sekali. Aku juga tidak punya banyak waktu untuk menyingkapi itu. “Kali ini bapak akan menjelaskan tentang topografi lahirnya peradaban Yunani. Sudah pernah mendapat materi tentang spesifikasi sejarah Yunani sebelumnya?” “Belum, Pak.” Semua serentak menjawab. Pak Tinggar menyalakan laptop dan menampakkan power point melalui layar lcd. Sementara aku yang masih terganggu dengan sendirinya karena Rada masih belum saja kembali. Sudah hampir lima menit. “Sudah lima menit. Kalau begitu kita mulai saja…” Tok… Tok… Tok. “Maaf, Pak. Saya terlambat.” Rada muncul di balik ambang pintu. Semua mata tertuju padanya. Khususnya Pak Tinggar yang sorot matanya seolah-olah menunjukkan kalau dia tidak ingin memberikan toleransi. “Waduh… Dari mana aja baru masuk?” “Saya ada perlu dengan kakak kelas tadi. Sementara saya nggak membawa jam tangan, jadi…” “Kamu nggak dengar bel tadi?” Rada hanya menunduk. “Kalau kamu ingin dianggap hadir dalam kelas saya, jelaskan apa yang kamu ketahui tentang peradaban Yunani. Kalau tidak tahu, silakan keluar sebagai hukuman kalau kamu tidak disiplin.” “Baik, Pak. Saya akan mencoba menjelaskan sepengetahuan saya.” Sepertinya tidak ada pilihan lagi bagi Rada. Memilih dikeluarkan dari kelas dan dianggap tidak punya kemampuan, atau memilih menjelaskan suatu materi yang kemungkinan dia belum kuasai bahkan mungkin terdengar sangat tabu baginya. “Berdiri di sini!” Pak Tinggar menyuruh Rada berdiri di depan papan tulis dan menghadap kami semua. Reaksi Pak Tinggar itu, membuat kami semakin merinding. Sebab selama ini, semua murid di kelas masih main aman ketika menghadapi para guru yang masih baru mengajar kami. Tidak ada yang suka bolos, terlambat, atau bahkan makan di kelas saat pelajaran. Tapi saat ini, Rada telah memecahkan rekor kelas atas keterlambatannya di saat pelajarang yang diampu oleh salah satu guru killer di sekolah ini. Benar-benar nasib yang kurang menguntungkan buatnya. Kami semua menunggu-nunggu Rada membuka suara. Sementara Pak Tinggar di bangkunya tidak terlalu menghiraukan, hanya berkutat sama laptopnya. Agaknya, Pak Tinggar sepertinya menduga kalau Rada tidak bisa menjelaskan apa-apa. Atau hanya sejengkal yang dia ketahui tentang peradaban Yunani dan kemungkinan dia akan menjelaskan dengan terbata-bata. Lagian, Rada termasuk siswi yang paling banyak izinnya selama kurun waktu tiga bulan ini. Oleh karena itu, stigma yang diluncurkan padanya kebanyakan negatif. Rada menoleh ke Pak Tinggar yang lebih sibuk dengan dirinya sendiri. “Kenapa? Silakan jelaskan.” Pak Tinggar menyuruh dengan ketus. Ekspresinya tidak bersahabat sama sekali. Murid-murid yang lain ada yang memperhatikan, ada yang menunduk dan seolah-olah membaca buku karena gugup. “Baik, saya mulai…” Rada membuka suara. Suaranya terdengar mantap, meski suasana agak tegang. Murid-murid yang lain sudah mulai bersiap menyimak. Ada sebagian murid yang sedang seperti membicarakan Rada. “Menurut saya, di antara semua sejarah yang selama ini saya pelajari, tidak ada yang begitu mencekam, dramatis, atau begitu sulit dijelaskan selain lahirnya peradaban di Yunani secara mendadak. Memang banyak macam-macam unsur peradaban ribuan tahun di Mesir dan di Mesopotamia, dan yang kemudian menyebar di negeri-negeri sekitarnya. Dan sepengetahuan saya, unsur-unsur tertentu belum begitu utuh sampai kemudian bangsa Yunanilah yang menyempurnakan.  Pencapaian mereka dalam bidang seni dan sastra yang lazim oleh khalayak umum ketahui. Namun, bahkan ada yang luar biasa dari arus sejarah yang pernah mereka lakukan yaitu dalam bidang yang murni intelektual. Lahirnya peradaban mereka, juga menjadi penyebab lahirnya matematika, ilmu pengetahuan dan filsafat, mereka jugalah yang pertama kali menulis sejarah yang berbeda dari sekadar tarikh…’ “Apa yang kamu maksud tarikh itu Rada?” Seorang murid bertanya. “Mereka melakukan spekulasi yang bebas mengenai asal-usul dunia, tujuan hidup, dan apapun tanpa terkontaminasi oleh kultur atau paham-paham yang cenderung kolot yang diwarisi oleh tradisi-tradisi mereka. Sebetulnya, peristiwa itu mengherankan dan menyebabkan sampai saat ini begitu banyak orang yang meledak-ledak dan tidak bisa berkata apa-apa ketika membicarakan kejeniusan bangsa Yunani yang berdasarkan mistik.  Akan tetapi, saya menyelami sejarah bangsa Yunani dan menurut saya tidak mustahil bagi kita untuk memahami perkembangan di Yunani  itu dari segi ilmiah, dan menurut saya itulah yang penting.” “Bukannya sebelum peradaban itu tidak ada pengetahuan, lalu siapa yang berperan dan mempelopori adanya pengetahuan itu? Seseorang murid yang lain kembali menggencarkan pertanyaan lagi kepada Rada. Nampaknya, para murid cukup antusias mendengarkan penjelasanan Rada yang lugas dan terkesan mudah dipahami itu. Pak Tinggar yang tadinya seperti mengabaikan, sekarang juga turut menyimak dan sesekali wajahnya terlihat kaku sekali. Seolah-olah Rada telah menampar Pak Tinggar dengan pengetahuan tidak terduganya—yang tadinya Pak Tinggar terlihat menganggap kalau kemungkinan Rada akan gagap menjelaskan, tetapi begitu Rada membuka suara, dia malah sampai mampu memakan jatah waktu Pak Tinggar mengajar. Tentu saja, hal ini sangat berdampak positif buat murid-murid yang lain. Daripada mereka membiarkan Pak Tinggar mengajar dengan penuh ketegangan, lebih baik membuat Rada seolah-olah terpaksa harus di depan untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai hipotesisnya tentang materi tersebut sampai jam kelas Pak Tinggar habis. “Kalau begitu, saya teruskan dengan asumsi tokoh filsafat pertama yang mengawali lahirnya peradaban Yunani..,” jelas Rada, setelah melirik Pak Tinggar yang terlihat tidak keberatan kalau Rada mengambil sebagian jam mengajarnya. “Filsafat Yunani diawali oleh Thales yang pin unggulnya dia bisa dilacak masa hidupnya dengan berdasarkan fakta kalau dia memang pernah meramalkan terjadinya gerhana matahari, yang menurut para astronom terjadi sekitar kalau saya nggak salah pada tahun 585 sebelum masehi. Filsafat dan ilmu pengetahuan yang semula menjadi satu dengan demikian lahir bersama di awal abad keenam sebelum masehi…” “Sebentar, mau nanya… Lalu apa yang terjadi di Yunani dan negeri-negeri di sekitarnya sebelum masa itu?” Seseorang kembali bertanya. “Saya rasa, jawaban apa pun dalam batas tertentu kemungkinan hanya bersifat dugaan, tapi arkeologi di abad sekarang itu telah menyumbangkan pengetahuan yang jauh lebih kaya dibandingkan yang dimiliki oleh nenek moyang kita…”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD