Kenapa Aku Juga Terlibat?

2054 Words
“Aku pengin ikut ke Jember kemarin itu...” Nissa merengek. Dia menyesal tidak bisa ikut aku dan bunda untuk pergi ke Jember, sebab dia tidak mau harus menerima konsekuensi melakukan ujian harian sendirian di sekolah. “Soalnya ujian hariannya itu matematika, Grace! Aku nggak mau tah kalau sampai harus absen.” “Ya udah, sih. He he he…” Membiarkan Nissa yang masih terlihat kesal, secara sepintas, memori tentang perlakuan Malik tempo hari terlintas dalam ingatan. Tidak tahu ya, setiap jengkal aku di sekolah, aku mulai tampak merisaukan keberadaan Malik yang sering mengganggu pikiranku. Aku dan Nissa berjalan menuju koridor sekolah Dan kau hadir merubah segalanya Menjadi lebih indah Kau bawa cintaku setinggi angkasa Membuatku merasa sempurna Terdengar kegaduhan di koridor menuju kantin. Terlihat Malik dan kawan-kawan menciptakan keributan dengan mengadakan konser dadakan menggunakan alat seadanya. Dicky, salah satu sosok yang ada di situ, yang cita-citanya kelak ingin menjadi pemain drum terkenal seperti Jerinx SID, sementara harus menciptakan suara dari pantulan botol-botol plastik di kedua tangannya. Juga Edward, yang tengah menunjukkan kepiawaiannya dalam memetik gitar. Ditambah suara merdu Malik yang selalu mampu menarik perhatian kaum hawa yang lewat di hadapan mereka. Zidan juga ada di sana, perannya tidak se-keren namanya. Satu-satunya orang yang tidak kebagian peranan penting dalam konser dadakan itu. Namun, dia adalah makhluk yang paling semangat bertepuk tangan dan mengajak setiap orang yang lewat untuk ikut bernyanyi bersama. Bahkan, sesekali dia memanfaatkan keadaan untuk meminta saweran, terutama juga pada adik kelas yang lewat. “Sawerannya dong, Dek,” pinta Zidan pada seorang adik kelas yang baru saja lewat. Dengan takut-takut, siswa itu mengeluarkan selembar uang dari sakunya, lalu buru-buru pergi dari sana. “Malakin anak orang mulu sih!” sahut Edward. Jari-jarinya masih memetik senar gitar di pangkuannya. “Dih, beda, dong. Kalau malak itu kesannya maksa. Lah, aku sukarela yang ngasih aja,” jawab Zidan. Sedetik kemudian dia berteriak ke arah siswa yang baru saja pergi setelah memberikannya uang. “Woi! Udah punya banyak pattimura. Yang gambar lain nggak ada?!” Lalu siswa yang tengah hampir keluar dari koridor tadi membalikkan badan. “Ada! Yang gambar kelapa sawit, nih,” ledek siswa itu. Lantas siswa tersebut melengos dan bergegas pergi. “Sama aja, oey!” Dicky dan Edward geleng-geleng kepala melihat tingkah Zidan. Saat bahagiaku Duduk berdua denganmu Hanyalah bersamamu Ketika aku dan Nissa mendekat, lirik lagunya berubah lagi. Malik memperhatikanku sambil melemparkan senyum. Aku dan Nissa berulang-ulang saling tukar pandang karena menganggap si Malik pagi-pagi sudah bersikap nggak jelas. “Maaf, Mas. Saya nggak punya uang receh,” ledek Nissa ke Zidan yang terlihat ragu-ragu mau minta saweran. Mungkin aku telanjur tak sanggup jauh dari dirimu Ku ingin engkau selalu… Malik berdiri dari kursi yang sejak tadi dia duduki, dan berlagak mendekat ke arahku seolah-olah lirik yang dia nyanyikan itu untukku. Tuk jadi milikku Ku ingin engkau mampu Ku ingin engkau selalu bisa Tiba-tiba Mega muncul dari balik kantin dan ikut nyanyi bersama. Diikuti Rada yang ada di belakangnya. Juga siswa-siswi lain yang berhamburan dari kantin dan menuju ke kelas masing-masing. Bel masuk sudah berbunyi. Aku dan Nissa berpisah di ujung koridor dan kembali ke kelas masing-masing. Aku dan yang lain—Malik, Dicky, Edward, Mega, dan Rada—jalan serentak menuju kelas. “Eh, Malik. Habis ribut sama kakak kelas, ya?” Edward yang terkenal mulutnya rombeng itu membuka suara. *** Setelah pelajaran terakhir selesai, aku diminta Pak Bagus untuk menemuinya di ruang guru sebelum pulang. Sebelumnya aku bilang ke Nissa supaya nunggu aku di kelas, sebab aku ada panggilan. Tidak hanya aku yang disuruh menghadap, tapi beberapa siswa di kelas yang merupakan pengurus juga diminta menghadap. Ketika aku masuk ke ruang guru, terlihat guru-guru yang lain sudah pada pulang. Tersisa hanya Pak Bagus dan Pak Teo yang sama-sama guru olahraga—Pak Teo sedang menghadap laptop. Dan sialnya, aku mendapati Malik yang juga ada di sana. Yang lebih dulu menghadap ke Pak Bagus. “Permisi, ada apa, Pak?” Fyora mengawali. “Struktur pengurus kelas dirombak mulai besok.” Aku, Enggar, Fyora, Ica, dan Dicky sontak terkejut dengan gertakan itu. Nada Pak Bagus yang biasanya friendly, tiba-tiba menjadi agak tegas dan raut wajahnya semburat kesal. Aku memandangi Malik yang terlihat bersikap biasa saja. Kepalanya dan badannya tegak, tapi cara dia mengambil napas terlihat begitu berat. Beberapa dari kami yang baru masuk, tidak ada yang berani mengatakan sesuatu pada Malik. “Tapi, kenapa, Pak?” Dicky membuka suara. “Mulai besok pagi, kalian sebagai pengurus kelas, mengumumkan struktur kepengurusan baru kepada yang lain. Yang saya ganti adalah posisi ketua kelas. Yang tadinya dijabat oleh Malik, sekarang beralih pada Grace. Malik menjadi wakilnya,” tegas Pak Bagus. Aku dibuat kaget kedua kalinya. Aku segera ingin tahu alasan perubahan ini. “Yang lain boleh kembali pulang. Kecuali Grace tetap di sini. Ada sesuatu yang bapak akan sampaikan.” Setelah teman-teman yang lain pergi dengan wajah penuh ketidakpuasan karena rasa penasaran mereka tidak terjawab. Malik tetap diam mematung di tempatnya. Tidak ada sanggahan darinya seperti yang pernah dia lakukan padaku ketika pemilihan pengurus kelas dulu. Pak Teo kemudian juga menyusul keluar ruangan. Sekarang hanya tersisa aku, Malik, dan Pak Bagus. Senyap sekali. Aku dan Malik terlihat habis melakukan perbuatan skandal dan disidang oleh wali kelas. “Kalau kamu nggak mau menjelaskan, biar bapak yang sampaikan langsung ke Grace.” Aku terpaku. Merasa was-was. Mungkin ini ada hubungannya dengan pertanyaan Edward tadi pagi kalau Malik habis ribut dengan kakak kelas. Aku juga nggak tahu, siapa kakak kelas yang Edward maksud. Aku menoleh ke arah Malik, dia terlihat tegar. Seolah tidak melakukan perbuatan yang bisa mengancam statusnya di sekolah ini. “Malik telah menceritakan rentetan kejadian dari awal ke saya.” Pak Bagus mulai membuka suara disusul dengan napas yang sedikit berat. Jantungku semakin berdegup kencang. Semua itu bermula ketika usai pelajaran ekonomi tempo hari. Ada kakak kelas memanggil Malik sebelum masuk di jam pelajaran yang kedua. Malik disuruh datang ke dalam kelas XII IPA, yang kebetulan sedang tidak ada guru. Malik yang bersifat masih siswa baru, tidak tahu-menahu unsur dari panggilan itu dan tidak mengenal siapa yang memanggilnya. Terpaksa dia menurut, kiranya mungkin ada panggilan yang penting dan memang panggilan itu mengharuskan Malik datang. Malik mengikuti orang yang memanggilnya tadi dengan penuh tanda tanya. Sesampainya di ruang kelas XII IPA, ternyata dia bertemu dalang di balik pemanggilan dirinya itu. “Kamu berdialog bagaimana Malik? Jelaskan pada Grace.” Pak Bagus menghentikan ceritanya dan menyuruh Malik langsung menjelaskan dengan suara yang terdengar berat. “Saya pasti menceritakan padanya langsung setelah ini… Sebentar, ada yang tertinggal.” Malik berbalik arah dan langsung berlari menuju kelas. Aku tidak tahu dia mau melakukan apa. Sekitar dua menit, dia kembali. Napasnya tersengal. “Pada intinya, kamu sebagai ketua kelas baru, saya percaya kamu bisa mengorganisir kondisi kelas beserta teman-teman yang lain, supaya kelas terhindar dari masalah dan tidak menambah tugas saya,” tutur Pak Bagus. Aku tidak begitu paham, sekaligus mencurigai kalimat tersebut semacam satire atau tidak. Yang jelas, mulai besok, sesuai perintah dari wali kelas yang langsung ditujukan padaku, jabatanku beralih menjadi ketua kelas. Ini suatu kehormatan. Setelah itu, aku beranjak pergi dari ruang guru setelah berpamitan pada Pak Bagus. Malik mengekor di belakang. Aku tidak sabar segera menanyakan apa yang terjadi padanya. Sampai-sampai jabatan dia sebagai ketua kelas harus dicopot. Lagi-lagi terlintas di kepalaku, apakah dia berantem dengan Kak Tio? Kakak kelas yang tadi pagi dimaksud oleh Edward? *** “Nissa gimana?” “Nissa pulang pakai motorku.” Malik memboncengku menuju Kedai Mbak Devi. Dia masih menguasai perasaannya agar terlihat tetap tenang di depanku. Aku sedikt mencemaskan tentang dirinya. Dia sepupu temanku, dan dari kita berdua tidak ada yang benar-benar dekat atau perhatian dengannya. Setidaknya, aku bisa menemani dia dengan mendengar ceritanya. “Kenapa?” Dia memulai ceritanya. Malik terlibat kesalahpahaman dengan Kak Tio, sebab Kak Tio mengira kalau Malik punya hubungan denganku. Mungkin masalah ini dipicu ketika hari itu Malik dengan sengaja menggandeng tanganku untuk memanas-manasi Kak Tio. Lalu, perseteruan itu berdampak pada suasana eksul basket kemarin Malik seolah dihindari dengan Kak Tio beserta teman-temannya. “Ya, meskipun ada senior yang mampu mengerti untuk membedakan masalah pribadi dengan basket.” Mendengar penyebabnya, kepalaku jadi nggak tahan. Seolah pengin meledak. Aku sebenarnya nggak punya urusan antara keduanya, tapi gegara masalah sepele doang. Mereka hampir saja berantem. Mungkin ini alasannya mengapa Pak Bagus memanggil aku. Supaya aku bisa membantu membereskan masalah ini. “Kenapa aku ke bawa-bawa?” Aku memulai dengan nada kesal. “Sebelum ada kamu, aku nggak pernah terlibat masalah tahu!” Aku sudah semakin meninggikan suara. “Grace…” Nada Malik tiba-tiba melemah. “Pulanglah…” Aku sudah hendak mau menyangkal. “Dinginkan kepalamu. Maaf, telah membuatmu terlibat.” “Aku ditunggu Rendy di depan.” Malik beranjak dari duduknya dan keluar dari Kedai Mbak Devi setelah membayar pesanannya. Cara berjalannya tidak setegar biasanya. Begitu Malik sudah tidak terlihat, aku sadar aku telah kelewatan. Kejadian ini bukanlah kemauan Malik untuk melibatkanku dalam masalah. Semua terjadi mengalir. Kalau saja masalah ini bisa mempengaruh stigma guru terhadapku, aku bisa menyangkalnya. Kalau mau menilaiku, nilai isi kepalaku. Bukan hanya menilai aku dari masalah yang kebetulan bersifat kesalahpahaman. Sesaat aku merasa bersalah, aku melihat Malik di jalan yang tengah berjalan sendirian. Tidak ada Rendy. Aku menaiki motor dan menghampirinya untuk memberikannya tumpangan. Walaupun ada sedikit rasa kesal yang mengganjal, tapi aku paham bahwa itu adalah egoku yang seharusnya bisa aku tahan. “Aku anter kamu pulang.” Awalnya dia menolak, tapi akhirnya dia naik juga, sebab sedikit aku paksa. *** “Bunda… Bunda…” Karena pulangku sedikit terlambat, aku langsung menyergah. Bunda sedang di dapur dengan Bi Asih yang sedang sibuk menyiapkan makan siang. Aku menghampirinya di dapur dan terpaksa Bi Asih harus mengerjakan sisanya sendirian. “Bunda aku pinjem dulu ya, Bi… Semangat!” Aku gandeng bunda menuju sofa ruang tamu. “Kenapa, sih, Nak?” “Bunda inget nggak, sepupunya Nissa yang namanya Malik itu?” Bunda menerawang ke langit-langit. “Ingat. Tapi bunda belum tahu anaknya.” Agak sulit juga jelasin ke Bunda sementara bunda belum tahu anaknya, juga karakteristik Malik secara langsung. Bisa-bisa apa yang aku jelasin ke bunda kurang relevan dengan karakter Malik yang sebenarnya ketika berinteraksi dengan Bunda. Tapi aku mencoba menceritakan sejak awal pertemuanku dengan Malik. “Bunda nggak punya kewenangan buat menilai sikap dia. Tapi, dari cerita kamu, sepertinya dia punya niat yang baik. Entah ada niat apa bunda juga nggak tahu. Tugasmu memastikan itu. Kalau bunda masih muda, bunda ngebayangin kalau ada laki-laki yang nggak ingin perempuan di dekatnya itu didekati atau direbut laki-laki lain. Itu romantis loh, Sima. Kamu harus make sure maksud dia apa yang sebenarnya. Dan soal masalah itu, itu sepele, Nak. Kamu nggak usah terlalu mikirin itu. Itu soal kesalahpahaman. Juga, kamu harus paham, kalau ingin menyelesaikan kesalahpahaman seperti itu, kamu harus memprioritaskan satu orang untuk kamu jaga. Dan satu orang untuk kamu korbankan. Kalau tidak begitu, mereka akan semakin bertaruh sampai kapan pun.” “Tapi aku tidak mau memprioritaskan atau mengorbankan salah satunya, Bunda. Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan mereka…” Bunda hanya melengos. Nyekikik sambil menutupi wajahnya. Aku berbaring di paha bunda. Memuntahkan kegundahan. Membuang pikiran liar yang berkecamuk. Aku ingin seperti biasanya. Yang kalau setiap pulang sekolah, aku bisa langsung pulang. Yang kalau pergi ke luar kelas waktu istirahat, tanpa merasa takut bertemu dengan Kak Tio. “Bunda…” “Apa sih, Sayang?” “Gimana? Sima harus gimana?” Sambil mengusap-usap kepalaku, Bunda bertutur, “Sepupunya Nissa dan kakak kelasmu itu…” “Malik sama Tio, Bunda. Mereka punya nama…” “Iya-iya. Malik dan Tio itu sebenarnya nggak salah. Mereka nggak melakukan tindakan kriminal. Mereka hanya mencoba menjelaskan ketertarikan mereka sama kamu. Apa itu salah? Tidak, Sayang. Yang berpotensi salah itu kamu nantinya. Semakin kamu menghindari tanpa penolakan yang tegas, mereka akan semakin penasaran mau kamu apa. Tapi, kalau kamu bisa menolak dengan tegas mereka atau salah satunya, kamu terbebas dari masalah. Tinggal, kamu mikirin saja, siapa di antara mereka yang pantas buat kamu tolak. Atau dua-duanya memang pantas.” “Tapi, menolak itu kan, bisa saja memutus silaturahmi, Bunda. Dan hubunganku dengan mereka bisa semakin buruk. Menurutku, penolakan itu tidak bisa menyelesaikan masalah.” “Lalu, kamu mau dikejar-kejar mereka terus? Dihantu mereka terus? Tidak hanya di dunia nyata, loh. Tapi bisa juga di dunia mimpi.” Bunda menakut-nakuti. “Ih, Bunda!” Ngomong-ngomong soal mimpi, aku jadi teringat tentang mimpiku tempo hari. “Tapi, Bunda… Jangan ngeledek, ya…” “He he he… Iya…” “Tempo hari, Sima mimpi Malik.” Bunda memperlihatkan reaksi terkejut. “Wah, sejak kapan anak kesayangan bunda mimpi tentang laki-laki?” Bunda terlihat riang menanggapi itu. “Harud dikasih tahu ke ayah, nih.” “Ih, Bunda. Nyebelin…” “Kenapa kamu bisa sampai mimpiin dia? Bukannya sudah dapat jawabannya?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD