33

982 Words
Aku terlelap. Langit hari ini kurasa tak bersahabat. Cahaya meringkup di balik dinding-dinding tua. Suara burung tak kuasa menyerukan layaknya pembawa berita. Aku lemas. Leherku tak kuasa membantu kepalaku mendongak. Suaraku tak kuasa teriak. Kalah bersaing dengan suara perutku yang menyeruak. Aku hendak mengambil napas kuat-kuat, tapi leherku terlalu lemas. Gelap. Gelap sekali. Jujur, aku tidak takut apapun. Aku tidak takut gelap. Aku tidak takut diculik. Aku tidak takut hal-hal mistis. Aku tidak takut dibunuh. Aku hanya takut tempat asing ini menahanku terlalu lama. Bunda akan bereaksi seperti apa, aku cemas. Sebab, aku tidak pernah pulang sekolah terlambat. Aku menitikkan air mata. Bunda memenuhi isi pikiranku. Semakin aku tersedu, semakin aku mendapat kekuatan untuk memberontak. Tapi, suaraku dibungkam oleh selembar kain. Tidak ada pilihan lain selain menunggu biang keladinya muncul. Kupejamkan mataku. Manusia tahan empat hari tidak minum dan empat minggu tidak makan. Mungkin aku juga kuat dengan waktu segitu. “Kamu haus?” Ada suara dengan nada lembut keluar. Sosoknya tidak terlihat. Aku memicingkan mata. Tetap tidak menemukan. “Kamu haus?” Pertanyaan yang sama lagi. Tapi sosoknya tetap belum menampakkan diri. Terdengar suara langkah kaki seperti mendekat. Sepertinya hanya satu orang yang kemari. Aku ingat sebelumnya ada dua orang yang menghadangku. Yang satu berpura-pura menjadi seorang promotor, satunya lagi yang menyekapku. Keduanya dipastikan kerja sama. Aku masih ingat betul wajahnya. “Kamu haus?” Ternyata betul. Dia adalah salah satu orang yang kemarin menyergapku. Dia yang berpura-pura menjadi seorang promotor. Perawakannya seperti yang kubilang sebelumnya: kekar dan terlihat tangguh. Tapi, kulihat wajahnya seperti anak SMA yang sebaya denganku. Atau paling tidak, lebih tua dariku satu tahun. Dia mendekat ke arahku. Mengitari aku yang sedang duduk dan dalam keadaan dililit di kursi seperti kursi sekolah. Dia mengelus leherku dengan jari-jarinya. Meraba telingaku. Dan dia mendekat kemudian berbicara lagi. “Kamu haus?” Dia mengucapkan dengan nada lirih. Aku tidak berontak. Aku tetap tenang. Aku menunggu dia sampai berbuat yang berlebihan. Baru itu aku akan berontak. Kemudian dia menyentuh kain yang membungkam mulutku, dan menurunkan kain itu. Sehingga aku bisa mengambil oksigen dengan puas. Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. “Kamu haus?” Sudah berapa kali dia mengucapkan pertanyaan yang sama? Semakin dekat wajahnya dari wajahku. Hingga suara deru napasnya bisa kudengar. Aku memalingkan wajah. Sekaligus menyiratkan ekspresi muak. Lalu dia mengambil daguku. “Kamu haus?” tanya dia lagi. “Kamu bisa minum lewat bibirku.” Aku menggelengkan wajahnya, menolak. Aku mulai memberontak. Tapi reaksiku itu tak membuat dia berhenti. Dia memegang wajahku dengan agak kasar. Hingga aku tidak punya tenaga untuk memalingkan wajah dan memberontak. Aku hanya memejamkan mata. Aku menutup bibirku rapat-rapat. Lebih baik mulutku dibungkam kain tadi. Aku tak kuasa… Bibirnya semakin dekat ke bibirku… Braak!!! “Edward!!” Tiba-tiba tenagaku kembali memuncak setelah aku melihat Edward menendang pintu ruangan yang tertutup sebelumnya. Aku yang awalnya terkulai pasrah, kini emosiku menjadi memuncak. “Terima kasih, Ward.” Ada suara lain selain Edward. Malik muncul di balik pintu dengan jaket dan celana jeans kebangaannya. Orang yang hendak melecehanku tadi terkesiap dan menodongkan pistol ke arah Malik dan Edward. Sontak aku kaget dan takut. Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain hanya berteriak. “Kau menembak, aku menembak. Aku mati, kau mati. Semurah itu hidupmu hanya demi melakukan perintah seorang gadis?” Edward dengan dinginnya mengatakan itu sambil merogoh pistol di sakunya. Hah?! Sejak kapan? Pistol? Edward punya pistol? Seorang gadis? Apa maksudnya? Begitu banyak pertanyaan menyusup di kepalaku secara membabi-buta. Senjata pistol adalah senjata kontroversial apabila dipegang oleh anak muda khususnya pelajar, itu akan sangat berbahaya. Pikirku, kalau sampai Edward ketahuan membawa pistol itu, urusannya jadi panjang. Bisa berurusan dengan polisi. Tampaknya, melihat lawan di depannya membawa pistol, penculik yang ada di depanku sontak sedikit mematung—terkaget. Kemudian Malik meloncat dan tubuhnya berputar-putar lalu melayangkan tendangan tepat ke leher penculik itu. Keduanya tersungkur ke lantai. Malik dengan sigap menahan dan disingkirkannya pistol yang dibawa sang penculik. Sementara pemuda yang menculikku tadi terlihat tak berdaya dan merintih. Aku yang melihat aksi dua orang itu benar-benar terbungkam. Tidak bisa berkata-kata. Tendangan salto yang dilakukan Malik tadi seperti yang pernah diterapkan Serizawa di film Crows Zero yang pernah aku tonton. Sekaligus, karena membandingkan kebiasaan Edward yang terlihat konyol, tadi itu dia benar-benar cool dan sangat terlihat berbeda. Tapi aku masih penasaran ketika Edward menyerukan nama seorang gadis. Apa hubungannya? Siapa yang ada di balik penculikan ini? Edward bergegas melepaskan tali menyebalkan yang melilitku. “Edward, pistol itu?” Aku mengucapkan terbata-bata. Nadaky masih agak sedikit cemas, sesekali menampakkan ekspresi ketakutan. “Oh, ini?” Dia menudingkan pistolnya. “Ternyata idemu cemerlang, ya, Lik.” “Ha?” “Ini ide Malik. Aku disuruh antisipasi dengan membawa pistol mainan ini…” “Hah, jadi itu mainan?” Plak! Pistol itu dijatuhkan Edwar ke lantai. “Karena kalau seseorang dalam kondisi panik, dia cenderung bodoh. Dan, untuk ukuran seorang penjahat, dia masih amatiran,” sahut Malik yang masih sibuk menahan penculik itu. Suasana masih mencengangkan. Dalang di balik kerusuhan ini belum bisa kutemukan. “Bunda… Bunda gimana?” “Aku bilang ke Nissa sebelumnya untuk ngasih tahu ke bunda kalau kamu sedang ada di rumahnya, supaya beliau tidak khawatir.” Aku sangat lega mendengar Malik mengatakan itu. “Nissa?” “Ward… Panggil Ica, Fyora, dan Nissa kemari. Lalu kita bereskan dua orang bodoh ini.” “Hah? Mereka semua ada di sini?” “Kamu duduk saja di situ, tenangin diri sebentar.” Edward mengangguk takzim dan segera keluar. “Ward! Jangan lupa sekalian ambilkan minum buat Grace.” Aku melihat perlakuan hangatnya Malik itu dengan kekaguman. Untuk beberapa menit sebelumnya, aku melihatnya bukan sebagai teman biasa, tapi pahlawan. Dia penyelamatku. Aku kembali duduk dengan mata kosong. Aku melihat Malik yang sedang menindih penculik itu dengan tatapan berbinar-binar yang penuh kekaguman. Jantungku tidak henti-hentinya berdebar-debar. “Sebenarnya apa yang terjadi, Malik?” Nadaku masih lirih. "Sebentar lagi kamu akan tahu sendiri. Kamu akan jadi orang yang lebih waspada lagi dengan orang yang ada di sekitarmu. Dan dari kejadian ini, ada keuntungannya sendiri buat aku. Sesuatu yang berhubungan dengan yang mau aku ceritain ke kamu." "Apa?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD