Aku sebagai Perempuan

2002 Words
Tidak ada jaminan untuk tidak merasa kecewa. Di dalam hubungan non legal, semuanya dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi: seks, perjanjian-perjanjian, apapun transaksi yang terjadi di dalamnya. Seluruh ucapan rayuan tidak terdengar puitis sekali pun. Maknanya hanya kosong, alibi, dan mungkin karena ada maksud lain. Perempuan perlu bukti. Bukti formal. Kerap kali yang diinginkan adalah pernikahan. Tidak ada jaminan pula bahwa pernikahan adalah sumber kebahagiaan. Sebab kalau iya, banyak pelajar memutuskan sekolah hanya demi mencari kebahagiaan dalam rumah tangga. Sekali pun begitu, masalah-masalah pun tidak sekali beres hanya dalam sebuah hubungan. Ekonomi, miskomunikasi, dan lain-lain. Kemudian, terlalu sering masalah itu muncul, banyak orang tidak berani menikah. Seorang gadis kali ini tidak diuntungkan. Para gadis bukan predator yang mencari mangsa. Mereka hanya menunggu. Para gadis bukan makhluk yang mempunyai insting berburu yang luar biasa. Mereka hanya titik-titik tertentu yang diburu oleh laki-laki hanya untuk memastikan banyak atau tidak signalnya. Kalau iya, mereka akan menetap sepanjang waktu. Mengakses informasi, mendapatkan pengetahuan, mengatasi masalah, hanya dijembatani koneksi stabil. Dalam kehidupan nyata pun sama. Perempuan hanya sebagai signal. Sebagai alat pengantar, jembatan, dan penyalur laki-laki untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Obat penat, penawar nafsu, dan alat untuk mencapai karir yang para pria inginkan. Betapa insting berburu itu sangat penting dan diuntungkan. Sebagai perempuan, ketidakpercayaan diri menguasai ketika aku menginjak usia enam belas tahun, ketika masa pubertas benar-benar mulai mengubah diriku secara fisik, dan karakter. p******a mulai membesar, gerak-gerik mulai terbatas. Hal ini kontras dengan masa pubertas laki-laki yang cenderung mengalami hal-hal yang lebih leluasa dan menguntungkan. Sesuatu yang dalam konsep feminisme liberal adalah perubahan yang diinginkan dan ditiru. Tapi, perbedaan itu tidak lantas membuatku menyerah dan menganggap entitasku sebagai perempuan adalah buruk. Di ruang makan, sesekali kayu bakar memercikkan api, seorang gadis duduk di atas bantal sambil memetik gitar. Dia memainkannya dan bernyanyi separuh untuk dirinya sendiri, karena dia melihat dirinya memetik gitar dan bernyanyi. Cahaya api berkilat-kilat di sepatunya, di badan gitar yang berwarna kemerahan dan di jari jemarinya yang putih. Seandainya gadis itu berada di kuar jendela dan menemukan dirinya sedang bermain gitar dan bernyanyi, betapa kagum dia pada dirinya sendiri. Masih dengan lembut dia memainkan instrumen musik tersebut, dia tidak lagi menyanyi, melainkan mendengarkan. Pertama kali dia melihat dirinya sendiri. Memujua-muji bahwa dia tak sendiri. Duduk di atas bantal dengan kaki kecilnya dan bermain gitar. Tuhan, gadis kecil itu tidak akan bisa melupakan. Gadis kecil itu mulai mengangkat kepalanya dan kembali berdendang. Bahkan bulan purnama pun terpesona. Akan tetapi, terdengar suara bantingan yang keras di bantu. Wajah gadis itu memerah. Dia segera ke sumber suara itu. Dia menemukan potongan cermin di atas mantel. Dia menekuk tangannya dan memandang pada bayangan wajah pucatnya di situ. Betapa dia merasa cantik, tapi tak seorang pun yang tahu hal itu. Gadis itu tersenyum, dan dia tahu betapa menakjubkan senyumannya itu hingga dia tersenyum lagi. Pemujaan diri sendiri seperti ini tidak hanya diekspresikan dalam diri si gadis melalui kekaguman pada bentuk fisiknya semata: dia berharap memiliki dan mengagungkan dirinya secara keseluruhan. Hal seperti ini adalah tujuan dari inti sari buku diary di mana dia dengan bebas mencurahkan isi hatinya. Si gadis berbicara kepada buku diary itu seperti sebelumnya dia berbicara kepada boneka-bonekanya: dia adalah teman dan orang kepercayaan: dia menanyainya seolah-olah buku itu adalah seorang manusia. Di setiap halamannya, tergoreskan sebuah kebenaran yang tersembunyi dari sanak kerabat, dari para orang tua, kawan-kawan, dan para guru, sebuah kebenaran di mana penulisnya tergairahkan dalam kesepian. Seorang gadis kecil yang berusia dua belas tahun yang menjaga buku diary itu hingga usianya mencapai dua puluh tahun membukanya dengan tertampak tulisan sebagai berikut: Aku adalah buku kecilmu, Manis, cantik, dan bijaksana Ceritakan padaku semua rahasiamu Aku adalah buku kecilmu. Yang lain hanya memperingatkan: “Dibaca hanya setelah kematianku” atau “Dibakar setelah kematianku.” Perasaan suka berahasia berkembang pada diri si gadis kecil saat masa-masa prapubertas kemudian meningkat. Dia membalut dirinya dalam suatu kesunyian yang muram, dia tidak akan mengungkapkan kepada orang lain mengenai ego tersembunyinya yang dia anggap sebagai kebenaran sejati dan kenyataannya hanyalah sebuah personifikasi imajiner saja: dia mungkin saja berperan sebagai penari layaknya Natasha Tolstoi, atau seorang suci seperti Marie Leneru, atau hanya merupakan sosok yang semata-mata tidak tertandingi yang ternyata adalah dirinya sendiri. Selalu ada perbedaan besar antara tokoh-tokoh ini dengan sosok objektif yang dikenal baik oleh para saudaranya dan para temannya. Dia merasakan bahwa dirinya sendiri semakin bertambah semangat, dia mabuk oleh kesendiriannya. Dia merasakan dirinya sudah berbeda, superior, dan luar biasa: dia menggerutu dan bersumpah bahwa masa depan adalah masa di mana itu akan menjadi ajang pembalasan dendam atas keadaan yang tak terlalu menggembirakan dari kehidupannya sekarang. Dari eksistensi yang kecil dan terlihat tidak berharga ini, dia melampiaskan dengan mimpi-mimpi besar. Dia akan selalu suka bermimpi, dan sekarang dia mencurahkan dirinya pada ikatan ini lebih dari sebelumnya, dia bersembunyi dari dunia yang menakutkan ini dengan menutupi melalui ungkapan-ungkapan puitis. Dia melimpahkan lingkaran cahaya bulan, awan merah muda, dan malam-malam beludru kepada laki-laki, dia membuat kulit tubuhnya menjadi kulit pualam. Dia berkisah pada dirinya sendiri dongeng-dongeng yang tak masuk akal. Dia kerap kali bergelut dengan kebodohan semacam itu karena dia tidak memiliki genggaman atas dunia. Seandainya dia musti melakukan sesuatu, dia harus melihatnta dengan jelas terlebih dahulu, namun dia bisa menanti dalam kabut. Laki-laki muda bermimpi juga, pada sebuah petualangan di mana berperan aktif. Si gadis kecil lebih menyukai sesuatu yang indah ketimbang sebuah petualangan: dia memancarkan secara samar-samar cahaya sihir terhadap semua benda dan semua orang. Sihir itu melibatkan pemikiran tentang sebuah kekuatan pasif, sebab dia sendiri terpuruk pada pasivitas, namun juga menghendaki kekuasan, si gadis kecil musti percaya pada sihir, tubuhnya akan membuat kaum laki-laki berlutut di hadapannya, keseluruhan nasib akan mewujudkan hasrat-hasratnya tanpa harus melakukan apa pun. Sebagaimana dalam dunia nyata, dia berusaha untuk melupakannya. Si gadis: Di sekolah terkadang aku lari dari pelajaran yang tengah diterangkan dan terbang ke tanah impian. Aku begitu larut dalam khayalku yang menyenangkan sehingga aku lupa pada realitas yang sesungguhnya. Aku terpaku di tempat dudukku, dan saat aku terbangun, aku terkejut mendapati diriku berada dalam empat tembok. Aku lebih suka melamun daripada menulis puisi. Untuk membentuk jiwa dengan cerita-cerita indah tanpa kepala atau ekor atau menciptakan sebuah legenda sementara memandang cahaya bintang di pegunungan. Itu jauh lebih menyenangkan karena memang lebih samar-samar dan meninggalkan perasaan tenang dan sejuk. Menurutku, melamun mungkin menjadi sesuatu yang tak normal dan menyelubungi seluruh eksistensi, sekarang aku akan memberikan contoh di bawah: Prita seorang gadis yang cerdas dan pelamun, yang memasuki pubertas di usia empat belas tahun, mempunyai krisis psikis dengan khayalan akan keagungan. Memaklumatkan bahwa dia adalah Ratu Inggris. Berlagak dengan congkak, menyanyi, memerintah ini-itu. Dan selama dua tahun, hal ini terus berlangsung pada setiap menstruasi: kemudian selama delapan tahun dia menjalani kehidupan normal namun tetap pelamun dan merasa getir dengan status sosialnya. Menjelang usia dua puluh tiga, dai bertambah buruk dan dikirim ke rumah sakit untuk sementara waktu. Di rumah, selama tiga tahun dia berbaring di ranjang, marah-marah, malas dan menjadi beban bagi keluarganya. Lagi-lagi dalam pelariannya, dia tidak memiliki gairah dalam kehidupan, namun pada periode-periode tertentu, saat menstruasi misalnya, dia bangun, berdandan, berperilaku sombong dan tersenyum pada semua dokter, sering juga bersikap e****s. Dia tenggelam lebih jauh ke dalam dunia khayalannya, tidak mempedulikan penampilan dan sering telanjang, namun memakai ornamen-ornamen ganjil, semacam mahkota dari kertas dan gelang karet. Pada saat memberikan komentar yang jelas tentang keadaannya, dia mengatakan kalau dia tak ubahnya seorang anak kecil yang sedang bermain-main dengan boneka-bonekanya dan mendandaninya, seolah-olah hidup dalam mimpi, seorang aktivis dalam dunia imajiner. Dia seolah berada dalam beberapa kehidupan dan dari semua kehidupan itu dia adalah tokoh utamanya. Dia memiliki sebuah rumah besar dan banyak mengadakan pesta. Dia hidup pada zaman manusia gua. Dia tidak dapat menghitung jumlah teman tidurnya. Dia pernah mempunyai banyak teman, ada banyak bunga dan parfum, mereka memberinya banyak hadiah mewah. Saat telanjang di tempat tidur, aku terbayang kembali masa-masa lama. Dia mengagumi dirinya sendiri di depan cermin, menjadi apa pun yang dia inginkan, bodoh, mabuk, memiliki banyak kekasih. Dia mengatakan kalau dirinya adalah gundik dari salah satu dokter. Dia mengatakan kepada dirinya sendiri kalau dia memiliki beberapa anak: salah seorang di antaranya sedang bepergian, dan ayah dari anak itu adalah seorang laki-laki tampan. Dia mempunyai banyak kisah semacam itu untuk dikisahkan, masing-masing merupakan kehidupan ciptaan yang dia khayalkan. Nah, kita bisa melihat kalau lamunan yang tidak lazim ini adalah cara untuk meredakan narsisme si gadis yang merasa hidupnya susah dan takut menghadapi kenyataan yang sebenarnya. Prita seolah-olah terbawa pada suatu proses pelampiasan yang ekstrem yang nyatanya justru biasa terjadi pada para gadis remaja. Kendatipun seperti ini, pemujaan diri sendiri secara diam-diam tidak cukup bagi si gadis. Agar mendapatkan pelampiasan yang dia butuhkan untuk eksis dalam kesadaran yang lain, dia kerap menoleh pada sejawat-sejawatnya demi bantuan dan kenyamanan. Ketika dia masih lebih muda, sahabatnya berperan sebagai penyokong dalam pelarian dari lingkaran maternal, dalam menjelajahi dunia—khususnya dunia seks. Kini sahabatnya itu sekaligus menjadi objek yang mendorong si gadis di luar batas-batas ego dan saksi yang mengembalikan ego itu padanya. Laki-laki secara seksual adalah subjek, dan oleh sebabt itu sungguh wajar apabila laki-laki masing-masing dibedakan dari berahi yang membawanya menuju objek yang berbeda dari dirinya sendiri. Akan tetapi, perempuan adalah objek absolut dari berahi, dan itulah alasannya mengapa begitu banyak persahabatan khusus tumbuh subur di sekokah-sekolah, kampus-kampus, dan studio-studio: beberapa dari persahabatan tersebut adalah murni platonik dan yang lainnya nyata sekali hanya bersifat jasmaniah. Pada yang platonik, khususnya persoalan antar sahabat yang saling mencurahkan isi hati kepada yang lain, saling bertukar kepercayaan dan bukti dari kepercayaan yang sangat besar ini adalah dengan menunjukakn buku diary kepada sahabat yang dipilihnya. Dibandingkan dengan pelukan seksual, antar sahabat ini saling memberikan tanda kesetiaan yang ekstrem ini dan menawarkan secara tidak langsung kepada masing-masingsebuah bukti fisik dari perasaan mereka. “Perempuan zaman sekarang, mampu mengunggah otonominya kepada publik. Juga ada banyak perlindungan hukum yang mampu menjaga kestabilan karakter kaum perempuan. Tidak hanya itu, sekarang banyak perempuan yang memilih mengambil beberapa karakter khas yang dimiliki oleh laki-laki sebagai upaya perlindungan diri betapa masyrakat sosial sangat dipengaruhi oleh d******i laki-laki. Sifat keras kepala, tegas, suka marah-marah, hal ini yang diadopsi oleh perempuan sebagai upaya untuk mengantisipasi monopoli yang dilakukan oleh laki-laki. Sebab, kalau tidak begitu, laki-laki akan terus-menerus menganggap kalau perempuan adalah kaum lemah yang musti terus menerus ditindas.” Dalam dunia orang dewasa, tidak disangsikan lagi, kekuatan barbar tidak memainkan peranan yang besar pada waktu-waktu normal: kendati demikian, dia membayangi dunia itu: aneka ragam perilaku maskulin muncul dari akar yang memungkinkan terjadinya kekerasan: di setiap pojok jalanan pertengkaran mengancam: biasanya hal itu memang kerap terjadi: tetapi bagi seorang laki-laki untuk merasakan kepalan tangan dan kehendaknya untuk penegasan diri sudah cukup untuk memastikan kekuasannya. Apalagi kalau beberapa hal aktivitas diklasifikasikan sesuai kemampuan gender. Pertarungan dan olahraga tidak boleh buat perempuan. Hal ini justru menjerumuskan sikap pasivitas perempuan menjadi objek langganan dari kebuasan laki-laki dalam hal ingin mengalahkan. Perempuan tidak mempunyai kemampuan bela diri, akan banyak sekali korban p*********n, sebab menurut laki-laki bahwa ketidakmampuan perempuan adalah target. Hal ini memang tidak menguntungkan kaum perempuan. Dalam segala aspek. Fisik, karakter, pasivitas, dan lain sebagainya. Aku bisa saja ikut bermain gasing dengan anak laki-laki, tapi aku musti mau diledek terlebih dahulu sebelum aku benar-benar bisa memperlihatkan kemampuanku bermain gasing. Aku pernah mencoba ikut bermain sepak bola bersama teman laki-lakiku, aku punya kemampuan menggiring dan mengumpan yang baik, tapi saat aku memasuki lapangan, gawang tim dibiarkan kosong, menandakan posisi itu adalah posisi yang pantas untukku. Lihat, betapa kaum laki-laki memenangkan segala posisi kehidupan. Bahkan sampai membahas masa depan pun. Laki-laki memiliki kemampuan meramal lebih baik. Kalau dia tidak bisa menjadi pegawai kantoran, dia masih bisa memperkirakan kalau ada kuli bangunan dan kuli panggul di pasar sebagai pekerjaan alternatif. Sebaliknya, kalau perempuan gagal menjadi pegawai kantor atau sekadar menjadi penjaga toko kelontong, dia tidak punya alternatif lain untuk menjadikan itu sebagai pekerjaannya. Dalam persoalan ini, perempuan masih bisa regenerasi dari waktu ke waktu untuk menguatkan posisinya sebagai makhluk yang bisa mengambil alih d******i kesewenangan dari kaum laki-laki. Tidak untuk mengadopsi perilaku kesewenang-wenangan, melainkan untuk menjaga kestabilan peran sesuai kapasitas gender masing-masing.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD