16

568 Words
“Seperti yang aku bilang sebelumnya, kejadian kemarin ada hubungannya dengan asal mula pelipisku dengan lebamnya.” “Bahan diskusi kita masih banyak, jelaskan poin-poinnya.” Malik membuang napas berat. “Berawal ketika hari di mana aku dipanggil oleh kakak kelas setelah usai ujian hariannya Pak Ridho…” “Oh, yang waktu itu? Teman sekelasnya Kak Tio, kan?” “Iya.” “Lalu?” “Hari itu juga aku mendengar langsung darinya kalau dia mengincarmu. I mean, menyukaimu. Lalu, dia seolah-olah tahu kalau aku juga punya maksud yang sama sepertinya. Aku tidak menjawab. Dia hanya membuat semacam kesepakatan sendiri kalau kita hanya bisa bersaing di dalam sekolah. Oleh karena itu, di antara kita berdua tidak boleh untuk mengajak atau mendekatimu di luar sekolah. Misalnya, ngajak ketemuan dan ngajak jalan. Dan iya, aku tidak menjawab apa-apa. Diamku membuat dia sepertinya menyimpulkan kalau aku setuju. Padahal aku tidak secara langsung menegaskan ke dia atas pertanyaan-pertanyaannya. Jadi, menurutnya, detik itu juga kesepakatan yang sebenarnya dia buat sendiri, resmi berlaku. Berlaku buat dia, juga berlaku buatku.” Aku tercenung. Masih nggak percaya kalau aku memang betul-betul terlibat. Dan seolah diperebutkan, hingga konsekuensi dari persaingan itu menimbulkan perseteruan. Malik masih terhitung sebagai murid baru. Orang lain yang belum kenal dan belum pernah melihat dia, pasti hanya memanggil “sisw pindahan”, hal ini justru berbahaya buat dia. Dianggap umurnya masih cukup awam di sekolah dan tidak punya perlindungan. “Inget waktu aku pertama kali ikut latihan basket dan waktu itu kamu ngambil ponselmu?” Aku mengingat-ingat hari itu. “Rada, belum pulang?” “Eh, Grace! Belum, nih.” “Ah! Jangan-jangan Rada yang ada di balik semua ini?” Malik tercenung. “Aku ketemu dengannya di sekolah waktu itu. Waktu aku habis ngambil ponsel ke kamu. Dan kuingat-ingat ketika lihat ekspresinya, agak sedikit aneh memang. Dan jangan-jangan, hari itu kamu berduaan sama dia? Dan teman yang Rada maksud itu adalah kamu? Makanya, hari-hari setelahnya agak sedikit aneh di antara kalian. Kalian jadi lebih dekat. Sampai…” “Yang mengungkap aku atau kamu?” timpalnya. Aku diam. “Setelah dia tidak masuk selama beberapa hari itu, saat sekolah kita usai menyelenggarakan event, dia mengungkapkan kalau dia menyukaiku. Awalnya, dia masih terus menahan diri agar tidak terlalu memperlihatkan ketertarikannya padaku. Namun, dia jadi lebih agresif karena dia adalah teman dekatnya Tio. Dan Tio bercerita ke Rada kalau Tio mengincarmu. Semakin percaya dirilah mereka, termasuk Rada. Aku meladeninya bukan karena aku membalas perasaannya, hanya saja waktu itu aku agak sedikit kecewa karena kamu menolak ajakanku ke kantin dan memilih berduaan dengan Tio. Yang mana sudah kamu jelasin kalau aku telah salah paham. Nah, Tio bukan semata-mata orang yang menyebabkan pelipisku jadi lebam.” “Rada juga terkait?!” Emosiku sudah naik-turun. Napasku mulai menggebu-gebu, tapi sebisa mungkin kutahan agar ucapanku tidak terlihat ngegas di depan Malik. “Tunggu… Biar aku selesaikan.” Malik menyambar. Ternyata, mempunyai masalah seperti ini tidak sepenuhnya buruk. Dari riwayat hidup yang biasa-biasa saja sebelumnya, kemudian menjadi orang sibuk seketika. Honestly, mempunyai masalah kayak gini, justru membuat kita mampu lebih berkembang, juga lebih mawas diri pada orang-orang di sekitar. Betul memang, tidak ada segala sesuatu yang buruk adalah sepenuhnya buruk, begitu juga sebaliknya. Dan menjadi orang yang selalu benar, tidak menjamin kita bakal tetap di tempat yang aman, justru akan lebih mudah tersungkur dalam jurang kesombongan. “Cepat, aku nggak mau pembahasan ini jauh lebih lama, rumit dan menguras emosi daripada membahas sejarah,” ketusku. “Loh, ini juga bakal jadi sejarah tahu.” Malik nyekikik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD