45

1231 Words
Jangan lupa sematkan love-nya, ya, teman-teman. Hari-hari berikutnya, aku merasa bahwa tidak ada alasan yang kuat untuk tidak bersama dengan Malik. Dia adalah teman berpikirku, teman diskusi, teman berdebat, dan mencakup hal-hal lain ketika Nissa belum bisa menjadi selengkap itu selama aku berteman dengannya. Munculnya Malik, tentu saja segala hal di sekitarku jadi bermakna. Tentang bagaimana pandangannya tentang pengemis, tentang aku dengannya yang ngobrolin soal mahasiswa yang menjual suatu produk dengan alasan sedekah, sampai tentang kita yang selalu jahil satu sama lain ketika ketemu, dia yang kerap kali cubit aku, dan aku yang kerap kali membalasnya dengan merusak tatanan rambutnya yang tentu saja berhasil membuat dia kesal. Kalau dipikir-pikir lagi, aneh memang. Seseorang yang ketus dan suka menyombongkan diri itu pernah membentakku di kelas karena dirinya berhasil menyabet posisi ketua kelas. Hingga beberapa hari setelahnya, aku terpengaruh atas tindakannya itu dan menjadikan aku membencinya tanpa suatu sebab yang jelas. Berlarut-larut kebencian itu aku rasakan pada diriku dan selalu aku luncurkan padanya. Aku yang judes, nggak terlihat friendly, dan selalu suka memakai nada suara sedikit membentak ketika mengobrol dengannya. Pokoknya, kalau disuruh mengingat feedback yang aku tujukan dulu padanya, sepertinya aku benar-benar kelewatan. Malik yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan yang membuatku selalu ingin cepat kembali ke sekolah. Tentu tidak ada alasan lain selain bisa mengobrol panjang lebar dengannya. Dan baru dia yang mampu menepis keributan yang berkecamuk di kepalaku selama ini tentang konsep sayang dengan seseorang. Pada hari itu, aku kembali naik motor berdua dengannya. Dia yang selalu punya alasan untuk membuat tanganku melingkar di perutnya. Saat itu, panas sangat terik. Jalan raya penuh sesak. Tidak bisa mencari cekah untuk menyelinap dan menerobos beberapa mobil box di depan. Dia memutuskan mengajak menepi di sebuah pedagang pinggir jalan yang menjual es potong. Dia terlihat riang sekali ketika mendapati ada penjual es potong itu, sudah lama dia nggak merasakannya. Begitu pun aku. Yang juga perlu kamu tahu, bunda atau ayahku tidak membatasi aku mau makan apa. Tapi, aku musti mengerti takaran-takaran baik atau buruk dari makanan atau minuman itu. Tidak masalah siapa penjualnya. Kalau sekadar es potong, aku bisa memakannya sesekali. Malik membeli dua potong es krim. Satu potongnya harga dua ribu rupiah. Tentu kamu bisa menyimpulkan kalau dengan dua ribu rupiah, akan mendapat kepuasan seperti apa dari suatu makanan? Mungkin perkiraanmu, aku bakal batuk setelah memakannya. Tentu tidak. Kalau aku sudah tahu konsekuensi setelah memakan es krim potong itu adalah batuk, tentu aku tidak akan mau membelinya, meski aku ditraktir sekalipun. Justru karena aku menyukai es krim potong itu tanpa syarat, makanya aku mau memakannya. Paham seperti ini yang Malik terangkan padaku tentang menyayangi seseorang. “Aku tahu kandungan dari es ini bisa menyebabkan batuk. Tapi, aku suka es ini bukan karena masnis atau segernya, tapi justru karena mempertimbangkan dan menerima kandungan negatif dari es ini.” “Bukannya itu tetap saja buruk?” “Buruk itu kalau berlebihan konsumsinya. Rasa sayang pun begitu, semakin berlebihan kita sayang sama orang, justru itu akan menjadi buruk. Jadi, sama dengan kita makan es potong ini, rasa sayang pun juga punya konsep yang sama. Yaitu, tidak berlebihan, tapi secukupnya.” “Kenapa?”S “Kalau orang berlebihan sayangnya, dia akan menuntut banyak. Kalau tuntutan itu tidak sesuai pencapaiannya, bisa menimbulkan persoalan. Tapi kalau rasa sayang itu secukupnya, maka semua akan tetap bisa diusahakan baik-baik saja.” Malik menghabiskan es potong itu dengan wajah gembira. Angin berhembus kencang. Malik semakin cepat memakan es yang digenggam dengan diapit jari jempol dan telunjuknya itu. Jalan penuh sesak telah menyisakan tempat buat kami untuk pulang. Malik telah menghabiskan seluruh esnya dan beranjak dari duduknya. “Kang, tiga potong lagi, ya, dua ribuan semua.” “Eh! Katanya nggak boleh berlebihan, kok beli tiga potong lagi?” “Buat Bi Asih, Nissa…” “Bunda nggak boleh makan yang mengandung banyak gula.” “Bukan. Ini buat ibuku,” katanya setelah tadi omongannya aku potong. “Kamu kayak akang itu, deh. Suka motong-motong. Bedanya, akangnya suka motong es, kamu motong omongan orang. Ha ha ha!” Malik nyekikik. Sejurus kemudian, abang penjual es itu juga tertawa, dagangannya laris lima potong oleh Malik. *** “Sepuluh pemain telah dipilih! Malik masuk tim reguler buat turnamen basket pekan depan, Grace!” “Hah?! Tahu dari mana?” “Tadi anak-anak kelas sepuluh dapet info dari Pak Teguh, sudah ada rilis terbaru tentang tim reguler yang bakal diikutkan dalam turnamen pekan depan.” “Kok bisa?” Aku menggumam. “Hah?” “Enggak, maksudku, kok bisa Malik masuk tim reguler, sementara sebelumnya dia punya masalah dengan Kak Tio?” Sebetulnya, jumlah anggota ekskul basket mencapai dua puluh lima orang. Setelah proses seleksi, direduksi menjadi sepuluh orang. Sepuluh orang pemain ini dipercaya untuk turun menghadapi turnamen resmi yang diikuti oleh sekolah. Yang mana sepuluh pemain yang terseleksi ini disebut sebagai pemain basket reguler. Sekarang, masalahnya bukan pada siapa saja yang masuk dalam jajaran sepuluh pemain itu, tapi kenapa satu orang yang bernama Malik itu bisa berhasil masuk dalam tim reguler, sementara dia nggak pernah ikut latihan setelah insiden yang pernah terjadi antara dirinya dengan Kak Tio. Aku lekas masuk kelas setelah bel masuk berbunyi. Malik sudah duduk di bangkunya sambil bersenda gurau dengan Edward seperti pagi-pagi sebelumnya. Tidak ada yang terlihat aneh darinya. “Selamat pagi, anak-anak!” Bu Ersa masuk kelas dengan wajah penuh semangat. Baru kali ini, pada saat pelajaran sejarah, khususnya, aku ingin kelas ini bisa segera selesai. Agar aku bisa menanyakannya langsung pada Malik. “Kita lanjutkan materi berikutnya, ya…” Huft, penasaranku ini sangat mengganggu. “Dalam pembahasan mengenai hambatan sikap dan struktural yang menghalangi kemajuan perempuan, feminis liberal kontemporer kerap kali tidak setuju tentang langkah mengatasi kerumitan ini. Feminis liberal klasik yakin kalau seusai hukum dan kebijakan yang diskriminatif dihilangkan, sejak itu secara formal perempuan dimampukan untuk bersaing secara setara dengan laki-laki, tidak banyak hal lain yang dapat dilakukan tenang burung yang berbulu sama akan berkumpul bersama, tentang profesor senior laki-laki, misalnya yang akan cenderung dengan kandidat laki-laki daripada terhadap kandidat perempuan dengan kualifikasi yang sama. Kita mungkin berpendapat kalau satu-satunya pendekatan feminis liberal untuk melawan diskriminasi gender adalah pendekatan yang klasik dan berorientasi kepada kesejahteraan, yang keduanya sangat bergantung kepada penyelesaian legal. Tetapi, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, feminis liberal seperti Betty Friedan menawarkan pendekatan lain yang menggunakan ide androgini untuk melawan kecenderungan tradisional masyarakat agar menghargai secara tinggi sifat maskulin, dan merendahkan sifat feminin. Jika masyarakat mendorong untuk mengembangkan baik sifat positif maskulin dan feminin, maka orang tidak akan lagi mempunyai alasan untuk lebih merendahkan sisi feminin dirinya daripada sisi maskulinnya. Diskriminasi berdasarkan gender dan jenis kelamin biologis akan berakhir. Untuk membebaskan permepuan dan laki-laki dari kandang maskulinitas dan feminitas yang dikonstruksikan secara budaya, banyak feminis liberal selain Betty Friedan mengadvokasikan pembentukan kepribadian androgin. Beberapa feminis liberal lebih cenderung kepada monoandrogini, pengembangan tipe kepribadian yang ideal yang menubuhi sifat gender maskulin dan feminin yang paling baik. Menurut psikolog Sandra Bem, seseorang yang monoandrogin mempunyai kualitas tradisional perempuan yang penuh, penyayang, pengasih, lembut, sensitif, berkemampuan untuk berhubugan dengan yang lain, dan mampu bekerja sama , dan pada saat yang sama juga, memiliki kualitas laki-laki tradisional, agresif, berkemampuan memimpin, berinisiatif, dan mampu bersaing. Feminis liberal yang meresistensi monoandrogini dan sebaliknya, mengadvokasikan poliandrogini, pengembangan tipe kepribadian yang banyak, yang mana di antaranya adalah benar-benar maskulin dan yang lainnya benar-benar feminin dan bagian yang lainnya lagi adalah campuran. Apa pun yang diajukan oleh feminis liberal, baik monoandrogini maupun poliandrogini, feminis liberal cenderung untuk setuju kalau jenis kelamin biologis dari seseorang tidak semestinya menjadi alat untuk menentukan gender psikologis maupun sosialnya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD