Bab 4. Rencana Lamaran

1518 Words
Asa menoleh ke belakang ketika ia dibawa menjauh dari ruangan Edo. Ia bernapas lega karena pamannya tidak mengejarnya lagi. Dan kini, ia merasakan tangan Bumi baru saja meninggalkan bahunya. Ia berdehem. "Thanks," ujarnya pada Bumi. Bumi melipat kedua tangannya di depan d**a. Ia mendengkus keras. "Kita perlu bikin kesepakatan. Aku tahu kamu butuh bantuan aku, tapi aku nggak bisa percaya seratus persen sama kamu setelah tadi siang kamu memeras aku." Asa merengut. "Aku terpaksa ngelakuin itu, Mas. Aku beneran butuh uang." "Oke." Bumi berhenti di dekat anak tangga. Ia pernah memberikan kartu namanya pada Asa dua bulan yang lalu. "Kamu hubungi aku lewat ponsel. Aku masih ada pertemuan penting di atas." Asa mengangguk. "Ya. Sekali lagi makasih. Aku janji bakal bikin mantan istri Mas hengkang buat selamanya kalau kita nikah!" Bumi menelengkan kepalanya. Ia masih merasa canggung dengan kata pernikahan. Setelah ia gagal di masa lalu, kini ia harus menjalani pernikahan karena kesepakatan. Sungguh gila. Asa melambaikan tangannya pada Bumi lalu menuruni tangga. Kedua mata Bumi mengikuti bagaimana tubuh gadis itu bergerak. Bumi menggeleng. Ia harus ingat, Asa bukanlah gadis yang bisa segera ia percayai begitu saja. *** Asa pulang dari restoran dengan menggunakan ojek online. Ia harus menahan dingin karena ia hanya memakai gaun seksi. Beruntung, tukang ojek itu berbaik hati dan mau meminjamkan jaketnya. Beberapa menit setelah Asa tiba di rumah, pamannya pun menyusul. Pria itu langsung mengetuk beberapa kali pintu kamarnya. "Asa! Asa! Buka pintu!" Asa membuka pintu cepat. Ia hanya mengeluarkan kepalanya. "Paman apa-apaan tadi?" "Harusnya Paman yang tanya! Kamu apa-apaan mau nikah sama cowok tadi?" Edo melotot sempurna. "Yang penting utang aku bisa lunas." Asa membuka lebih lebar pintu tersebut lalu bersedekap dengan lengan bersandar di kusen. "Paman nggak usah khawatir, aku kasih uangnya nanti." "Pria itu siapa? Apa dia lebih kaya daripada pak Toni yang mau menikahi kamu? Dan ... dari mana kamu kenal sama cowok tadi?" tanya Edo penasaran. Jika Asa bisa menikah dengan pria kaya, tentu saja ia ingin mendapatkan keuntungan. Ia sudah merawat Asa selama hampir dua tahun sejak adiknya meninggal dunia. "Bukan urusan Paman. Terserah aku. Aku nggak bakal ngerepotin Paman lagi kalau aku udah nikah, bukannya itu yang Paman mau?" tanya Asa. Edo berdecak kesal mendengar ucapan Asa. Namun, ia tak ingin bertengkar dengan Asa sekarang. "Kapan kamu dilamar? Pokoknya, Paman mau uang itu secepatnya. Jadi, jangan lama-lama!" "Oke!" Asa menjawab dengan penuh keyakinan. Padahal, ia belum bisa menghubungi Bumi. Nomor pria itu dialihkan terus ke kotak pesan hingga ia merasa cemas jika Bumi berbohong padanya. Namun, ia ingat Bumi ada pertemuan dengan klien. Mungkin Bumi memang masih sibuk. Asa kembali ke ranjang dan duduk dengan keras. Ia menatap ponselnya. "Ih, Mas Bumi! Dia beneran mau nikahin aku nggak sih? Jangan-jangan dia cuma bercanda?" Asa tidak bisa tidur nyenyak malam itu, ia memang tidak mencintai Bumi, tetapi entah bagaimana ia berharap Bumi bisa membantunya untuk keluar dari jeratan sang paman. Lebih baik ia memiliki suami muda yang kaya dibandingkan suami tua seperti Toni. Dan ketika Asa terbangun di pagi harinya. Ia terlonjak oleh dering ponselnya. Ia tersenyum ketika melihat nama Bumi di sana. "Pagi, Mas!" sapa Asa semanis mungkin. "Ehm, ya." Bumi menyahut di seberang. Bumi pun tak bisa tidur nyenyak. Ia berpikir keras semalaman. Bagaimana caranya memberitahu orang tuanya jika ia hendak menikah lagi? Desti sudah tahu, ibunya ingin ia bertanggung jawab pada Asa gara-gara salah paham. "Mas nggak bohong, kan? Mas beneran mau nikahin aku?" tanya Asa. Bumi mengangguk di seberang. "Setahun. Aku nggak butuh pernikahan lama-lama. Aku bakal bayar kamu sesuai yang kamu inginkan dan selama kita menikah, aku bakal mencukupi kebutuhan kamu." "Oke! Kapan aku dilamar?" tanya Asa lagi. Bumi mengangkat alisnya. Ia menebak Asa tak sabaran. Ia tak melupakan wajah ketakutan Asa tadi malam. "Nanti aku bilang orang tua aku dulu." "Oh, tante yang kemarin?" Asa tertawa kecil. "Bukannya tante itu nyuruh kita nikah. Pasti boleh!" Bumi membuang napas panjang. "Ya. Tunggu aja. Nanti aku kabari kamu. Dan kamu kirimkan alamat rumah kamu. Biar gampang nanti kalau aku ke sana." "Oke." "Ngomong-ngomong, kamu umur berapa?" tanya Bumi yang mulai penasaran dengan Asa. "19 tahun, kan Mas tahu aku baru lulusan dua bulan lalu waktu Mas nabrak Bayi," jawab Asa. Bumi menggigit bibirnya. Ia tak percaya ia akan menikah dengan gadis semuda Asa. "Oke. Kamu kuliah?" "Ehm, ya. Baru mulai," jawab Asa. "Oke. Aku harap kita bisa bekerja sama dengan baik," tukas Bumi. "Ya. Aku janji bakal jadi istri yang baik selama setahun ke depan," kata Asa dengan nada meyakinkan. Bumi menggigit bibirnya. Ia masih trauma dengan sosok istri di masa lalunya. Tentu saja wanita itu tak lain adalah Tantri. Namun, pernikahan pura-pura tentu saja akan berbeda dengan pernikahan pada umumnya. Ia hanya perlu berpura-pura, pikir Bumi. Jadi, pagi itu Bumi memutuskan untuk datang ke rumah ibunya karena ia libur. Ia agak cemas setelah ia ibunya salah paham kemarin. "Pagi, Ma!" Bumi masuk ke ruang makan keluarga ibunya. Desti yang baru saja menyiapkan sarapan langsung berkacak pinggang. "Kamu nggak angkat telepon Mama dari kemarin dan sekarang kamu baru datang? Ingat, kamu berutang penjelasan sama Mama!" "Aku ketemu klien tadi malam, maaf," kata Bumi. Ia menoleh ke kanan-kiri dengan gelisah, takut-takut jika ibunya sudah menyebarkan kabar tidak benar tentangnya yang pernah menghamili Asa. "Mama nggak kasih tahu papa kamu, tenang aja," kata Desti seolah bisa menebak apa yang dipikirkan oleh Bumi. "Tapi Mama mau kamu bicara jujur dan tanggung jawab dengan kelakuan kamu!" "Ma, aku tuh udah jujur. Aku emang nggak ngapa-ngapain Asa." Bumi melihat ibunya menyipitkan matanya. Jadi ia pun membuang napas panjang. "Tapi, aku bakal nikahin Asa. Mama tenang aja." Desti kini membelalak. Ia memukul lengan Bumi kuat-kuat. "Kamu beneran udah ngelakuin itu sama Asa? Kamu juga membayar uang satu juta biar Asa menggugurkan bayinya?" "Ma, serius, Bayi itu kucingnya Asa," kata Bumi. Ia mengibaskan tangannya malas karena sang ibu tampak tidak percaya padanya. "Terserah apa kata kamu. Yang penting kamu tanggung jawab dan belajar dari pengalaman masa lalu kamu," kata Desti dengan nada setengah kecewa. "Mama nggak akan cerita masalah ini ke papa kamu dan semuanya, jadi kapan kamu mau nikahin Asa?" Bumi tampak berpikir. Asa ingin mereka menikah secepatnya. Ia juga kasihan jika Asa dipermainkan oleh pamannya. Ia juga harus membuktikan bahwa ia memang akan menikah pada Tantri, jadi wanita itu tak akan menggatal lagi padanya. "Ya, bulan ini." Bumi menjawab mantap. "Aku mau ngelamar Asa minggu depan." "Kamu mau nikah, Bum?" Desti dan Bumi sama-sama menoleh ke arah wanita cantik yang baru saja masuk ke ruang tamu. Bumi menggaruk kepalanya yang tak gatal dengan canggung sementara Desti tersenyum lebar pada Cia. "Wah, menantu Mama! Pagi-pagi udah datang. Mana anak-anak?" tanya Desti seraya mendekati Cia. Cia menunjuk ke arah pintu depan. "Sama ayah mereka, Ma." Ia masih melirik Bumi dengan penasaran. "Beneran Bumi mau nikah, Ma?" Desti mengangguk saja. Toh, Bumi sudah berkata mau melamar Asa minggu depan. "Jadi, siapa yang mau dilamar Bumi tadi?" tanya Cia lagi. "Nanti kamu juga tahu," sahut Bumi. Ia mengeluyur dari ruang makan karena tak ingin ditanya-tanya lagi. Cia mendesis pelan karena tak mendapatkan jawaban pasti. Bumi tidak pernah berpacaran selama bertahun-tahun sejak ia bercerai lima tahun lalu dan bahkan menolak ketika dikenalkan dengan para wanita. Jadi, dengan siapa Bumi akan menikah, Cia sangat penasaran. Sementara itu, Bumi langsung keluar untuk melihat kedua keponakannya. Ia nyengir begitu lebar melihat Yola dan Xelo yang sedang berlarian di halaman. Yola sudah lima tahun sementara Xelo masih dua tahun. "Om Bumi!" Yola memekik senang ketika melihatnya. Bumi tertawa kecil lalu melambaikan tangannya. Yola dengan cepat berlari dan mengulurkan tangan untuk meminta gendong padanya. "Gendong, Om! Mau gendong, Om!" seru anak perempuan yang hari ini rambutnya dikuncir dua itu. "Ah, kamu datang-datang langsung minta gendong," ujar Bumi. Ia mengacak lebih dulu rambut Yola lalu menggendongnya. Kecupan lembut mendarat di pipi gembul Yola hingga gadis cilik itu tertawa. Tak jauh dari mereka, Soni ikut-ikutan menggendong Xelo, anak keduanya yang sedang hobi berlari. Karena ini hari Minggu, Soni sengaja mengajak putra-putrinya sarapan di rumah Desti. "Hai, keponakan Om yang paling ganteng!" sapa Bumi pada Xelo. Ia mencubit gemas pipi Xelo dan membuat bocah kecil itu merengut marah. Bumi tertawa. "Gimana kabar kamu, Bum? Kamu nyaman kerja di perusahaan baru papa?" tanya Soni. Bumi mengangguk. "Ya. Masuk, yuk. Mama udah masak." Begitu masuk ke rumah, Yola langsung merosot dari gendongan Bumi, begitu juga dengan Xelo. Keduanya berebut kakek dan nenek mereka dengan heboh. Sementara itu, Cia kembali menatap penasaran ke arah Bumi. "Yah, Ayah tahu nggak katanya Bumi mau nikah," kata Cia pada Soni. Soni mengangkat alisnya. "Beneran?" Bumi mengangguk saja. "Ya. Minggu depan aku mau lamaran. Doain, ya." Soni dan Cia bertatapan. Cia mengangkat bahunya karena ia masih belum tahu dengan siapa Bumi akan menikah. Tiba-tiba, terdengar suara deheman keras dan Joko ikut nimbrung dengan mereka. Desti berhasil menggiring anak-anak ke dapur untuk mencuci tangan sebelum sarapan, jadi ia yang telah mendengar kabar Bumi akan menikah pun langsung penasaran. "Jadi, dengan siapa kamu akan menikah, Bum? Papa belum dengar kamu dekat dengan wanita." Joko bertanya pada Bumi. Bumi merasakan tatapan penuh tanya dari semua orang. Ia melirik ibunya yang ada di dapur lalu membuang napas panjang. "Namanya Asa, Angkasa."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD