Asa pulang ke rumah dengan penuh senyuman karena ia berhasil mendapatkan uang sepuluh juta. Ia tak ingin memeras Bumi sebetulnya, tetapi ia terpaksa karena orang tuanya yang telah meninggal dunia ternyata meninggalkan sejumlah utang.
"Dari mana kamu?" tanya seorang pria yang menyambut Asa.
"Ehm ... kuliah, Paman. Emangnya dari mana lagi?" Asa menghindari tatapan Edo, pamannya yang galak dan sangat perhitungan.
"Kamu tahu, kamu harusnya kerja bukannya kuliah. Kamu cuma ngabis-ngabisin uang aja!" gerutu Edo.
"Aku juga kerja, Paman. Tenang aja. Aku kuliah nggak minta uang Paman," ujar Asa setenang mungkin.
Edo berkacak pinggang di depan Asa. "Kamu jangan lupa, di sini kamu itu menumpang. Dan kamu juga masih punya utang sama Paman."
Asa mengepalkan tangannya. "Aku tahu, aku cicil utang itu. Dan nanti ... aku bakal pindah ke kontrakan aja. Aku nggak mau ngerepotin Paman lagi."
"Kalau kamu cicil utang itu ... sampai Paman jadi tua bangka pun, kamu nggak bakal bisa ngelunasinnya," kata Edo dengan nada mencela.
Rasa kesal menjalari hati Asa. Karena ayahnya yang dulu sakit keras, ibunya terpaksa berutang pada sang paman dengan jumlah ratusan juta. Namun, ayahnya tidak sembuh dan justru meninggal dunia. Sementara ibunya tak lama pun menyusul sang ayah. Kini, ia yang harus menanggung beban utang itu.
"Aku cicil sekarang. Selebihnya aku bayar nanti." Asa mengeluarkan uang tujuh juta dari tasnya. Ia sengaja menyisihkan sebagian untuk keperluan pribadinya.
Edo menerima uang itu dengan mata menyipit. Tentu saja ia heran karena Asa tiba-tiba membawakannya uang yang sangat banyak. Ia menjilat ujung jarinya lalu mulai menghitung. Ia lantas mendengkus keras.
"Dari mana kamu dapat uang ini? Kamu jual diri?" tanya Edo dengan nada mencemooh.
"Paman jangan ngawur! Udah aku bilang, aku kerja!" gertak Asa.
"Paman nggak percaya. Kamu pasti aneh-aneh di luar sana," kata Edo. Ia memukulkan bundelan uang itu ke telapak tangan kirinya dengan keras. "Ini lumayan ... tapi Paman butuh lebih banyak. Kamu harus segera melunasi utang itu."
"Ya. Nanti aku kasih lagi," sahut Asa cepat. Ia bahkan tak tahu dari mana lagi ia akan mencari uang. Ia menjadi penjual es teh di pinggir jalan di siang hingga malam hari. Dan ia tahu itu tak akan cukup untuk membayar utang.
"Kamu nggak dengar? Paman mau segera, nggak nanti-nanti!" seru Edo jengkel.
Asa hampir menangis, tetapi ia tak ingin menangis di depan Edo. "Ya, Paman tenang aja. Aku bakal kerja keras."
"Kamu nggak perlu kerja keras kalau kamu mau bayar utang. Ikut Paman nanti malam, biar Paman kasih tahu kamu caranya bayar utang dengan instan," ujar Edo tersenyum miring.
"Maksud Paman apa?" tanya Asa tak mengerti.
"Pokoknya, kamu ikut aja!" Edo menepuk bahu Asa. Ia berniat untuk menjual Asa pada pria kaya yang menawarkannya banyak uang malam ini.
***
Malam pun tiba, Asa menurut ketika Edo memberinya gaun pendek berwarna merah. Gaun itu tak memiliki lengan dan hanya ada tali tipis yang melengkung di bahunya. Itu sungguh seksi hingga ia merasa waswas sepanjang perjalanan.
"Ini mau ke mana, Paman?" tanya Asa.
Edo melirik Asa yang duduk di sebelahnya. "Udah Paman bilang, utang kamu bakal lunas malam ini. Jadi, kamu nggak usah tegang gitu. Kamu bakal bebas dari utang mulai sekarang."
Asa mulai merasa ini tidak benar. Seharusnya ia tak menurut pada Edo dan menolak pergi. Namun terlambat, ia sudah terlanjur dibawa ke sini. Ia menatap restoran mewah yang sangat besar di depannya.
"Ayo. Kamu harus kenalan sama pak Toni," kata Edo.
"Pak Toni?" Asa mengerutkan keningnya. Ia tak mendapatkan jawaban dan malah ditarik ke dalam restoran. Langkahnya terasa berat, tetapi ia tak bisa memberontak karena cengkeraman Edo.
Dan kini, Asa baru saja dibawa masuk ke ruangan VIP. Hanya ada seorang pria berjas rapi di sana yang Asa taksir berusia lebih dari 40 tahun. Atau malah 50 tahun?
"Duduk di sini," kata Edo. Ia menyalami pria bernama Toni itu. "Ini keponakan saya, Pak. Namanya Asa."
Toni mengangguk. Ia menatap Asa dari atas hingga bawah. Tatapan itu membuat Asa merasa risih. Ia ingin sekali keluar dari ruangan ini.
"Cantik banget, masih muda dan bening. Pasti masih perawan. Kalau yang ini ... saya mau. Kapan saya bisa menikahi Asa?" tanya Toni.
Asa membelalak. "Paman apa-apaan?"
Edo berdehem pelan. Ia menoleh pada Asa yang memucat. "Udah Paman bilang, kamu bisa melunasi utang itu. Tapi, syaratnya kamu harus nikah sama pak Toni. Tenang aja, pak Toni ini pengusaha sukses."
Asa menggeleng. "Aku nggak mau!"
"Jangan bodoh, kamu terima aja. Kamu bisa hidup enak sama pak Toni," bisik Edo.
"Pak Toni udah tua dan kelihatan m***m! Tega Paman jual aku!" teriak Asa. Ia mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Edo, tetapi ia tak bisa. "Paman, lepasin! Aku mau pulang!"
"Asa Sayang, kamu jangan jual mahal gitu, dong." Toni membuka suara.
Asa mendesis pelan. "Sayang?" Ia merasa jijik.
"Kamu bakal hidup bahagia jadi istri ketiga saya. Saya punya banyak uang," kata Toni lagi.
Asa semakin jijik dibuatnya. Ia menendang kursi Edo lalu berdiri. "Aku nggak mau! Aku nggak bakal mau nikah dan jadi istri ketiga!"
"Lalu, dengan apa kamu mau bayar utang?" tanya Edo mencela.
"Nanti ... nanti aku bayar. Paman jangan keterlaluan! Aku mau pulang!" teriak Asa.
"Kamu udah janji mau ngasih Asa ke saya," kata Toni yang tak ingin kehilangan Asa.
"Tenang, Pak," ujar Edo seraya berdiri. Ia mendekati Asa lalu mengulurkan tangannya. "Kalau kamu menolak, nanti Paman lipat gandakan utang kamu!"
Asa menggeleng. Lebih baik ia mati dibandingkan menikah dengan tua bangka m***m seperti Toni. Ia membalik badan, tetapi Edo menarik lengannya. Jadilah ia menendang asal. Tubuhnya terdorong ke tembok, ia mulai menangis.
"Jangan!" teriak Asa frustasi.
Asa kembali tertarik ke arah meja, dan kali ini ia didudukkan di sebelah Toni. Pria tua itu merangkul bahunya, membelai dadanya lembut dan membuat Asa hilang akal.
"Dasar m***m!" seru Asa. Ia menggigit tangan nakal Toni lalu menyiramkan air ke wajah Edo. Ia tak mau kalah dari mereka lalu berlari dengan cepat ke arah pintu.
"Kejar calon istri aku!" teriak Toni.
"Baik, Pak." Edo menyahut.
Asa tak peduli. Ia membuka pintu lalu menyeruak ke koridor. Ia tak pernah datang ke restoran ini, jadi ia tak tahu ia ada di mana. Namun, kakinya secara spontan membawanya ke mana saja asalkan menjauh dari ruangan Toni.
Asa membelok, menaiki anak tangga hingga ia mendengar suara yang tak asing. Ia menahan napasnya lalu berhenti melangkah. Ia menoleh untuk memastikan Edo tak ada.
"Kamu jangan konyol, aku udah nggak cinta sama kamu," kata suara pria yang tak asing itu.
Asa mengintip di balik pintu ruangan VVIP di depannya. Ada seorang pria dan wanita yang duduk di sana. Ia mengenali pria itu sebagai Bumi, pria yang siang tadi memberinya uang sepuluh juta. Asa tak ingin peduli dengan Bumi, tetapi ia penasaran juga. Bumi terlihat tampan dengan kemeja abu-abu itu. Dan wanita yang duduk di seberangnya juga cantik.
"Mas, kamu jangan bohong. Kamu kangen aku, kan?" Si wanita bicara, tersenyum dengan menggoda ke arah Bumi.
Bumi menarik ujung bibirnya membentuk eskpresi geli. Bahkan, Asa juga merasa geli karena yakin wanita itu adalah penggoda.
"Nanti aku kenalin kamu sama Aldo, dia mirip banget sama kamu, lho, Mas," kata si wanita dengan tubuh dicondongkan ke arah pinggiran meja.
Asa yakin sekali bahwa Bumi sudah muak menatap si wanita.
"Kamu jangan ngaco. Nggak mungkin anak itu mirip sama aku, dia bukan anak aku. Jadi, berhenti omong kosong. Pergi sana, jangan ganggu aku lagi," kata Bumi.
"Tunggu! Aku nggak bohong. Lihat dulu fotonya," ujar si wanita dengan nada memaksa.
"Nggak perlu. Dan kamu jangan kayak gini lagi. Aku nggak punya waktu buat main-main sama kamu. Nanti calon istri aku marah."
"Apa? Calon istri?" Si wanita terlihat kaget, tetapi kemudian ia tertawa geli. "Kamu bohong, kan, Mas? Nggak mungkin kamu punya calon istri. Aku tahu kamu betah menduda selama ini karena kamu belum bisa move on dari aku."
Asa mencerna semuanya. Ternyata Bumi adalah duda. Padahal, Bumi masih terlihat muda. Apakah wanita itu adalah mantan istri Bumi?
"Aku nggak bohong. Aku emang punya calon istri!" gertak Bumi.
Entah bagaimana, Asa yakin Bumi sedang berbohong. Gelagat pria itu yang tampak resah ketika mengusap tengkuknya dan menghindari tatapan si wanita.
"Alah, aku tahu gimana kamu, Mas," kata si wanita lagi.
Asa menoleh ketika mendengar langkah cepat. Ia melihat siluet pamannya dan mendadak ia panik. Jika ia berlari melewati koridor, pasti ia tertangkap. Ia tak mau dinikahkan dengan p****************g seperti Toni. Jadi, cepat-cepat ia membuka pintu ruangan itu dan melangkah masuk.
Kedatangannya membuat Bumi dan si wanita terkejut. Bumi menyipitkan matanya lalu berdiri ketika melihat Asa melambaikan tangan padanya.
"Hai, Mas! Maaf, aku telat," kata Asa.
Bumi berdehem pelan. Ia tak tahu apa maksud Asa, tetapi ia merasa Asa datang di saat yang tepat. Ia sudah lelah dikejar-kejar oleh mantan istrinya—Tantri. Jadi, ia pun membalas lambaian tangan Asa.
"Kamu kenal wanita ini, Mas?" tanya Tantri bingung.
Asa mendekati Bumi lalu berdiri tepat di sebelahnya. "Tentu aja kenal. Aku calon istri Mas Bumi."
Bumi memutar bola mata. Gadis ini pandai juga berakting, pikirnya. Ini sungguh menyelamatkannya karena kini Tantri langsung memerah kaget. Ia merangkul bahu Asa. "Ya, ini calon istri aku. Namanya Asa."