Wanita itu duduk di sebuah ranjang hotel tempatnya bersembunyi selama ini, selama dia memutuskan untuk menjauh dari semuanya dan menenangkan diri ketenangan itu memang dia dapatkan seiring keputusan besar yang akhirnya menjadi sebuah pilihan.
Sebuah botol kecil bening berada dalam genggamannya tapi bukan parfum racikan yang ada di dalam botol itu seperti layaknya di mana botol sejenis biasa terlihat, cairan bening di dalam botol itu adalah sebuah racun tanpa rasa dan aroma.
Rasa itu terlalu sakit, sakit hingga membuatnya nyaris mati, hidupnya memang bukan hidup yang berharga tapi mati dengan luka yang Adam berikan padanya sungguh terlalu mengenaskan, saat ini Karin hanya ingin meluapkan semua emosinya, menyalurkan rasa sakit hatinya. Wanita itu hanya ingin Adam merasa sakit dalam tubuhnya saat aliran darahnya telah terkontaminasi racun yang akan membuat organ organ dalam tubuhnya hancur, Karin ingin Adam merasakan kesulitan bernapas seolah di dunia ini tidak ada lagi udara untuknya, Karin ingin Adam mengejang dalam rasa sakitnya dan dalam detik detik menjelang kematiannya Adam menyadari jika rasa sakit itu adalah karena perbuatannya menyakiti wanita yang sangat mencintainya.
Siang itu, Karin keluar dari hotel dengan sebuah taksi yang dia pesan dengan ponsel dan nomor telepon barunya agar tidak ada seorang pun yang ia kenal bisa menghubunginya wanita itu memasukkan racun itu dalam saku bajunya sambil menenteng sebuah Paper bag berisi barang barang yang dia pesan dari sebuah e-commerce.
Tujuan pertama wanita itu adalah sebuah dealer kecil di pinggiran kota yang menjual berbagai sepeda motor bekas, Karin sengaja membeli sebuah motor bodong dari sana karena jika menyewa di sebuah rental itu akan membuat identitasnya semakin mudah ketahuan.
Usai membeli sepeda motor butut itu Karin menuju sebuah toilet umum yang ada di pinggir terminal, bukan ke toilet umum yang ada di pom bensin yang pastinya di lengkapi dengan banyak CCTV, wanita itu mengganti pakaiannya di sana berpenampilan seperti seorang tukang ojek online berjaket hijau. Rambutnya yang panjang dia tekuk dan tutupi dengan topi hingga dia terlihat seperti seorang laki laki berambut pendek, sebuah celana jeans gombrong dia pakai untuk menutupi bentuk tubuhnya.
Karin mempersiapkan semuanya dengan begitu matang, ia sungguh ingin laki laki yang telah membuatnya begitu sakit hati meregang nyawa di tangannya.
Usai mengganti penampilannya Karin membeli sepaket nasi ayam geprek di pinggir jalan lalu menyiramkan racun yang sudah dia siapkan pada nasi dan ayam goreng berbalut sambal yang sudah dia beli.
Dengan penuh keyakinan dan kepercayaan diri wanita itu sama sekali tidak merasakan ketakutan saat mengantarkan makanan itu ke penjara, menitipkannya seolah makanan itu kiriman dari teman Adam. Karin tahu selama ini ada seseorang yang begitu dekat dengan Adam tapi Karin hanya tahu namanya saja.
Karin memasuki toilet umum lainnya dan kembali berganti pakaian di sana, wanita itu membuang pakaian penyamarannya di sebuah tempat pembuangan sampah pusat begitu juga sepeda motor yang dia beli, ia tinggal begitu saja di antara tumpukan sampah yang menggunung.
***
"Bukan aku yang jahat, tapi kamu yang keterlaluan. Rasa sakit yang aku terima jauh lebih besar dari apa yang kamu terima Adam. Bahkan kematian adalah hukuman yang terlalu ringan buat kamu tapi aku enggak akan bisa tenang kalau kamu enggak mati di tanganku sendiri!"
Karin menatap tajam sebuah cermin besar yang ada di hadapannya seolah yang sedang ia tatap bukanlah bayangannya sendiri melainkan Adam yang begitu dia benci.
"Kita akan ketemu di neraka Adam! Kita akan ketemu di neraka, dan di sana aku akan menggantikan malaikat untuk menghukum kamu, aku akan membuat kamu memohon untuk mati berulang kali karena kejamnya pembalasanku Adam!"
Malam itu Karin merasa puas karena telah berhasil menjalankan rencananya untuk menghabisi Adam dengan tangannya sendiri tapi tanpa wanita itu sadari jika dirinya juga telah kehilangan dirinya sendiri.
Wanita itu menghubungi sang sahabat untuk terakhir kalinya, karena setelah ini Karin berencana untuk menghilang selamanya. Mungkin memang bukan menghilang secara harfiah tapi menghilang dari kehidupan mereka semua.
"Hallo Rik, kamu udah urus semua dengan baik?" tanya Karin begitu Rika mengangkat panggilan teleponnya tengah malam itu.
"Karin, kamu ke mana aja selama ini? Please Rin, jangan ngilang ngilang lagi kayak gini, kita semua nyariin kamu," kata Rika, nada bicara wanita itu begitu di penuhi kekhawatiran.
"Perceraian aku sama Adrian gimana?" tanya Karin tanpa mempedulikan ucapan sang sahabat.
"Lancar, kalian udah resmi bercerai. Tapi tuntutan kamu ke Ad—."
"Aku enggak mau tau soal itu," kata Karin membuat Rika tidak bisa meneruskan ucapannya, Rika mengerti kalau Karin tidak ingin membicarakannya. padahal apa yang ingin Rika katakan adalah sebuah hal yang besar.
"Terima kasih buat semuanya, Rika. Aku pamit, kalau suatu saat kita ketemu lagi aku harap kita jadi orang yang enggak saling kenal," pungkas Karin lalu memutuskan panggilan, Karin kembali mengeluarkan kartu SIM dari ponselnya dan membuangnya ke tempat sampah.
Orang bilang, tempat terbaik untuk kembali adalah keluarga, orang tua adalah orang yang akan memaafkan dan menerimamu tidak peduli seberapa pun kamu bersalah, karena Karin memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya di Jogja.
Dengan sebuah bus yang dia naiki dari sebuah terminal bayangan di daerah penopang perekonomian ibu kota itu Karin ingin kembali pada kedua orang tuanya, kembali ke kampung halaman dia di besarkan walau dengan penuh ketidakadilan.
Jika suatu saat kasus keracunan makanan Adam di usut dan dia tertangkap sebagai pelaku setidaknya Karin sudah merasakan hidup tenang di kampung halaman meski hanya sesaat.
Wanita itu tidak memiliki rencana apa apa dalam hidupnya kini, wanita itu hanya ingin pulang.
Namun, rencana tetap tidak berjalan seindah harapannya, seolah dalam hidupnya dia tidak pernah di takdirkan untuk bahagia. Rumah tempatnya untuk pulang bukanlah rumah yang ingin dia kembali, keluarga bukan lah lagi tempatnya untuk pulang.
Ternyata tidak semua orang tua bisa memaafkan kesalahan anaknya, tidak semua orang tua membuka tangannya untuk memberikan pelukan saat anaknya terpuruk karena dosa.
"Kamu mau apa ke sini? mau mempermalukan kami dengan kehidupan kamu yang berantakan itu? Kamu mau kami bangga punya anak yang memiliki suami tapi hamil dengan laki laki lain?" tanya Pak Prasetyanto, laki laki itu menatap nyalang pada sang putri yang baginya telah melemparkan kotoran menjijikkan ke wajahnya.
"Mungkin memang benar seharusnya Mama enggak melahirkan kamu dulu," kata Bu Santi dengan lirih, ucapan itu
keluar dari mulut seorang ibu bagaimana hati Karin tidak merasa ribuan kali lebih sakit daripada di cabik cabik pisau tajam.
Wanita itu hanya bisa menangis merasa kalau hidupnya sudah tidak ada artinya lagi sekarang.
"Saya enggak pernah berharap kamu untuk datang ke sini lagi Karin, dari dulu kedatangan kamu ke dalam hidup kami hanya membawa masalah, lebih baik kamu pergi. Hidup dan mati kamu adalah pilihan kamu sendiri bukan? Seperti yang selalu kamu katakan dulu?" tanya Pak Pras sambil menatap wajah Karin yang bersimbah air mata dengan penuh kebencian.
Dari dulu memang mereka selalu berbeda pendapat, berbeda pandangan dalam kehidupan tapi tidak pernah Karin menyangka kalau kedua orang tuanya benar benar menginginkannya pergi dari kehidupan mereka.
"Kami sudah tidak peduli pada hidup atau matimu Karin tapi Saya minta kalau pun kamu mau mati jangan mati dengan meninggalkan rasa malu untuk kami!" kata Pak Pras dengan begitu tegas sementara sang istri yang berarti wanita yang telah melahirkan Karin itu hanya menangis sesegukan di samping sang suami yang terlihat begitu murka.
Karin menghapus air matanya menarik napas dalam dalam untuk menata perasaan lalu melangkah pergi meninggalkan rumah orang tuanya di mana dia telah terusir dengan begitu hina.
Tidak ada luka, tidak ada air mata bahkan tidak ada rasa, entah ke mana Karin akan membawa raga wanita itu bahkan tidak tahu kalau langkah itu akan membawanya pada kehidupan yang berbeda.