Pelabuhan hati kerap membuat diri ini kian semakin terluka. Ujung dari sebuah kecewaaan ialah melepaskan, melawan takdir hanya dapat berujung dengan kenestapaan.
Rasanya sembilu itu sudah terbiasa nyaman berteman dalam sepi, raga tak lagi bersama dan jiwa entah melanglang kemana. Uraian kebersamaan hanya dapat berputar dalam ingatan yang semakin teringat maka semakin begitu memilukan.
Mengingatnya saja sudah begitu menyesakan, entah hal apa lagi yang harus Shaqilea lakukan untuk dapat melupakannya. Melupakan seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya, memenuhi segala ruang dihatinya, dan seseorang itu juga yang pernah memberi warna terang yang sesaat lalu berakhir hanya dengan warna gelap gulita.
Kedinginan sikap kepada sesama menjadi tolak ukur pondasi yang ia bangun agar lebih berhati-hati lagi untuk menaruh sebuah kepercayaan hatinya. Menutup hati untuk selamanya mungkin cara yang bagus bagi dirinya saat ini karena ia tidak ingin terluka lebih-lebih lagi dari yang pernah ia rasakan.
°
Pesawat yang ditumpangi Shaqilea saat ini akan landing beberapa saat lagi. Kedepannya ia sudah memutuskan akan tinggal menetap di Indonesia agar lebih dekat lagi dengan Kakaknya -Lovatalea.
Shaqilea sungguh benar-benar berterimakasih kepada Arkan, selaku lelaki yang kini sudah sah menjadi suami dari Kakaknya tersebut. Arkan kini telah menepati semua janji yang diberikan kepadanya untuk selalu menjaga dan merawat Lovatalea hingga benar-benar sembuh total dari gangguannya.
Shaqilea tak menyangka ternyata ada cinta yang begitu tulus diterima oleh Lovatalea, dan ia bersyukur akan hal itu, Kakaknya telah menemukan kebahagiaan hidupnya saat tak bersama dengan dirinya.
Mengingat Edsel … sepertinya orang itu juga sudah bahagia bersama dengan pasangannya, dengan kisah tulus yang mungkin tengah mereka jalin. Sejujurnya, Shaqilea juga tidak ingin mengingatnya kembali, karena rasanya itu sakit sekali dan ia juga ingin menemukan kebahagiaannya dengan caranya sendiri.
Negeri paman Sam yang dikira ia dapat menemukan kebahagiaan di sana nyatanya membuat hidupnya semakin keras. Pundak yang dipaksa harus kuat, pembelaan diripun tak mampu untuk ia andalkan sebab jika sudah terlibat salah, maka tak ada kata maaf untuknya. Hanya hukuman-hukuman yang dapat mentolerin dirinya dari para pelatih UFC.
Wanita kuat itu kini telah melepas semua beban pada pundaknya, kini saatnya Shaqilea menjemput kebahagiaan yang sudah menunggu dirinya di depan, beberapa hari sebelum pemberangkatan untuk kembali ke tanah lahirnya, ia telah lebih dulu menghubungi Zidan sahabatnya.
Zidan pria yang pernah menjadi musuhnya dikala dulu saat berada dalam ring pertarungan.
Kala Shaqilea menghubungi Zidan, respon lelaki itu sungguh begitu antusias mendengar kabar bahwa dirinya akan pulang dan menetap di negara yang sama lagi dengan dirinya.
°
Kaki jenjang wanita bak model menuruni anak tangga awak pesawat. Sorot matanya kian tegas menyelusuri lingkungan tepat ia berpijak. Ia menutup matanya sepersekian detik, meresapi aroma negara tempat ia dilahirkan. Puluhan tahun sudah ia meninggalkan negaranya, kini ia telah kembali yang diharapkan bisa membangun kebahagian untuk hidup kedepannya.
Kacamata hitam yang semenjak tadi bertengger pada kerah kemejanya, kini ia gunakan untuk melindungi matanya dari paparan terik matahari. Langkah kaki kian gontai menyelusuri area sekitar hingga dia benar-benar masuk ke dalam gedung Airport tersebut.
Disaat yang lain berjalan dengan cepat untuk segera mengambil barang-barangnya. Shaqilea dengan begitu santainya ia menunggu giliran. Ia malas jika harus berebut antrian.
Saat koper miliknya sudah didapatkan, lantas ia bergegas untuk segera keluar dari area tersebut dan mencari seseorang yang telah berjanji padanya akan menjemput. Shaqilea mengeluarkan ponselnya untuk dapat menghubungi sosok penjemput itu agar mudah untuk ditemukan.
“Dimana?” tukasnya to the point.
“Masih dijalan bentar lagi sampai.” Terdengar suara berisik tak tenang dari arah berlawanan. Shaqilea menyakini seseorang yang telah dihubunginya itu sedang mengemudi dengan kecepatan di atas rata-rata.
Tak ingin mengganggu konsentrasi sang lawan bicara, lebih baik Shaqilea memutuskan sambungan telepon tersebut. Samar-samar suara umpatan berdesis kecil terdengar di telinga. Shaqilea hanya dapat menggelengkan kepalanya saja sebelum sambungan itu ia putuskan sepihak.
Wanita itu kembali melanjutkan perjalanannya, ia akan langsung menuju ke lobi masuk utama meskipun itu akan sangat jauh, setidaknya mungkin di sana ia akan langsung bertemu dengan Zidan.
Dengan menarik koper semenjak tadi. Shaqilea bergegas keluar dari gedung tersebut, bertepatan juga kala Shaqilea menghentikan langkah, sebuah mobil sedan warna hitam berhenti tepat dihadapannya. Shaqilea sedikit tersenyum, meskipun hal itu tidak terlihat sedikitpun oleh siapapun itu.
Sang pengemudi mobil tersebut keluar dari mobilnya dan mendekati Shaqilea. Zidan! Ya dia pemilik mobil tersebut.
Zidan tersenyum lebar ke arah Shaqilea “Maaf, karena terlambat menjemputmu” Zidan memeluk Shaqilea yang langsung ditanggapi olehnya.
“Iya tidak masalah. Aku juga baru saja keluar.” Shaqilea melepaskan kacamata yang bertengger di sana.
“Ya sudah, hayok kita pulang.”
Shaqilea menggelengkan kepalanya, ia tidak menyetujui permintaan Zidan. “Eumzt … sepertinya aku lapar.”
Zidan mengusap lembut puncak kepala Shaqilea “Baiklah hayok kita cari makan dulu.” Zidan mengambil alih koper Shaqilea dengan tangan kanannya, lalu tangan kirinya ia gunakan untuk menggandeng tangan Shaqilea. Ia begitu memperlakukan Shaqilea seperti kekasihnya.
Zidan pernah memutuskan untuk tinggal di Amerika agar bisa dekat dengan Shaqilea, tapi wanita itu menolak jika alasan utamanya adalah dirinya. Lalu gantinya Shaqilea mengijinkan Zidan untuk sesekali menengok dirinya di sana.
Zidan mempersilahkan Shaqilea masuk ke dalam mobilnya yang telah ia buka, dengan hati-hati ia menutupnya kembali. Koper milik Shaqilea ia simpan ke dalam bagasi mobil yang ada di belakang.
Kini giliran Zidan yang masuk ke dalam mobil, menepati kursi pengemudi. Senang bukan main kabar yang ia terima bahwasanya Shaqilea akan menetap selamanya di Jakarta yang jelas akan satu kota dengannya.
Zidan melihat Shaqilea yang sedang memasang seatbelt ia pun juga mengikutinya untuk melakukan hal yang sama.
“Sha, rencananya kamu akan tinggal dimana?”
“Untuk sementara sih, mungkin aku akan tinggal bersama Kak Lova, dia sih yang nyaranin.”
“Kamu yakin, Kakak kamu kan sudah berkeluarga, nanti yang ada malah ngerepotin.”
“Aku juga mikirnya gitu, tapi ya sudahlah … toh ini juga sementara waktu saja.”
Zidan mulai menyalakan mobilnya untuk beberapa saat ia pun mulai melajukan mobil tersebut.
Pria itu melirik Shaqilea melalui kaca spion depan atasnya. “Sha, kenapa enggak tinggal bareng aku saja?” tawar Zidan dengan santainya.
“Enggak ah … aku bisa ko' cari tempat tinggal yang lain, dan kemungkinan aku akan nyewa apartemen sebelum beli rumah.”
“Kenapa enggak langsung beli rumah Sha?”
“Bisa aja sih, tapi aku disini belum ada kerjaan jadi, ya … aku harus bisa ngatur keuangan itu.”
“Ya, sudah kalau gitu tinggallah bersamaku, dan tentunya kamu enggak usah khawatir karena semua keperluanmu aku yang akan tanggung.” Zidan tidak main-main dengan ucapannya.
Beberapa tahun belakangan ini dirinya telah jatuh cinta kepada sosok wanita di sampingnya tersebut. Bahkan dirinya akan rela mengunjungi Shaqilea saat masih tinggal di Amerika setiap minggu jika wanita itu menyetujuinya. Tapi kenyataannya wanita itu menolak dengan tegas permintaan tersebut.
Shaqilea manatap lurus pria yang ada disebelahnya itu, “Kamu pikir aku ini istrimu, hingga mau memenuhi semua kebutuhanku. Sudahlah Zid aku bisa ko urus semuanya sendiri. Toh, selama ini juga aku selalu hidup sendiri.” Shaqilea spontan berbicara dengan tenang.
“Tapi Sha, sekarang kamu sudah ada aku. Aku akan selalu ada buat kamu, kapanpun kamu memerlukannya,” ucapnya dengan tulus.
“Iya terimakasih untuk tawarannya,” Shaqilea tersenyum kecil “lucu ya … padahal dulu kamu sangat membenciku bahkan ingin melumpuhkan aku di setiap pertarungan dalam ring.” Wanita itu sedikit mengingatkan masa lalu mereka.
“Hahaaa entahlah. Rasa suka kadang berubah-ubah ya. Bahkan yang dulu musuh suatu saat bakal jadi yang dibutuh. Seperti aku yang membutuhkan kamu untuk melengkapi sisa hidupku.”
Shaqilea speechless mendengarkan penuturan Zidan yang makin melantur entah kemana. Nyatanya Zidan hanya mengungkapkan ketulusan hatinya, tapi selalu dianggap angin berlalu begitu saja oleh wanita di sampingnya tersebut.
Tidak ingin memikirkan ucapan Zidan yang dikiranya semakin melantur, bola mata Shaqilea yang indah itu memutar ke arah yang lain. Shaqilea memilih untuk melihat bayangan semu yang dilewatinya. Keadaan ibu kota kian lama makin gersang, macet sudah tidak diragukan lagi.
Zidan tak merasa aneh lagi, jika dirinya membahas perihal tentang hatinya maka Shaqilea akan langsung mengabaikan. Hal itu bukan kali pertama ia sengaja melontarkan disela perbincangan, kecanggungan yang tiba-tiba selalu bisa Zidan atasi dengan caranya.
“Sha, kamu udah hubungi anak-anak Mozalo belum?”
“Mereka bukan lagi anak-anak, bahkan beberapa dari mereka sudah punya anak.” Spontan Shaqilea menyahuti.
“Hahaaa, iya juga … tapi tetap aja ada yang masih sendiri menunggu kepastian ckck.” ucapan Zidan langsung mendapatkan tatapan tajam dari wanita di sebelahnya.
Zidan menjulur tangannya untuk mencapai puncak kepala Shaqilea. “Entah itu harus berapa lama lagi, setidaknya tolong lepaskan sesuatu yang memang seharusnya sudah lama kamu lepas. Jangan paksa hati kamu untuk menekan terlalu dalam meskipun ingatan itu terlintas tanpa diijinkan.”
Ada saatnya Zidan yang menyebalkan itu muncul dalam sosok tubuh pria yang menduduki kursi pengemudi dan saatnya juga sosok Zidan yang begitu lembut hadir dalam tubuh si pria itu.
“Sudahlah jangan dibicarakan lagi. Aku sudah lupa, lantas kenapa kamu mengingatkannya lagi?” balas Shaqilea dengan melipat tangannya di depan d**a.
“Auwww ....” Shaqilea sedikit kecil berteriak saat pipi yang sering terkena serangan pukulan kini dicubit gemas oleh Zidan.
“Eh-eh sakit ya, padahal tadi pelan loh.”
“Hmmm.” Raut wajah Shaqilea berubah menjadi masam dengan lirikannya yang tajam.
Zidan mengusap kembali puncak kepala Shaqilea, “Maaf ya maaf. Makanya jangan kaya gitu mukanya. Kan ngegemesin.”
“Sekali lagi kaya gitu aku banting, mau!” tukas Shaqilea.
“Kebiasaan, ngancamnya gitu. Udah tau aku eggak pernah berlatih lagi.” Zidan menjauhkan tangannya dari tubuh Shaqilea. Ia pun mencoba untuk fokus mengendarainya saja. Meskipun itu hal yang mustahil untuk dirinya berkonsentrasi.
“Makanya sempatin waktu, setidaknya ya ... minimal satu minggu sekali-lah, enggak harus beladiri cukup olahraga kecil saja. Emang enggak malu tuh perut udah buncit ajah Ckck.” Sedingin-dinginnya sikap Shaqilea, ada waktu dimana ia akan melontarkan ejekannya yang diikuti gelak tawa. Hanya saja tak ia tunjukkan ke setiap orang yang dikenal. Zidan termasuk salah satu yang beruntung bisa bercengkerama lebih banyak dibandingkan dengan para temannya yang lain.
Mendengar ejekan Shaqilea, spontan tangan Zidan menyentuh perutnya yang memang benar sudah mulai membuncit. Mukanya kini berubah menciut tak berani membalas ejekan teman wanitanya tersebut.
“Ya sudah nanti kamu aja yang makan. Aku cukup menemaninya saja.” Pria itu terlihat merajut.
“Ya ampun gitu aja marah. Enggak seru!” tukas Shaqilea yang kini sudah kembali menatap jalanan di depan.
“Kan aku harus diet, biar perutnya enggak buncit.”
“Diet bukan berarti enggak makan. Cuman butuh cara mengatur pola makan dan hidup yang benar.”
“Iya, iya sayang. Nanti aku akan rutin olah raga lagi. Tapi kan kalau sekarang lagi banyak banget kerjaan ….”
Shaqilea tidak lagi menyahuti perkataan Zidan. Membiarkan pria itu berbicara panjang lebar hingga pria itu kewalahan dan memilih untuk fokus mengendarai mobilnya saja. Berdebat dengan Zidan memang tidak akan pernah ada ujungnya.
Belasan Tahun berteman, cukup tau Shaqilea mengenal detail pria di balik kursi pengemudi itu. Keheningan kini lebih banyak mendominasi keduanya, tidak! Hal itu terjadi karena Shaqilea enggan lagi menyahuti celotehan dari Zidan. Biarkan jarak tempuh menuju tempat yang dituju untuk melalui waktu berlangsung mereka.