Ngapain Kalian

1539 Words
Kamar Aurora berada di atas sebelah kanan, tentunya Kezie sebagai roommatenya. Di seberang kamar mereka adalah kamar Billy dan Joshep. Sedangkan Jessica dan Azka memiliki kamar sendiri yang terpisah. Sampai sekarang Aurora tidak menyangka jika Joshep adalah keponakan Billy. Walaupun sahabatnya, ia merasa malu dengan semua yang pernah ia ucapkan pada Joshep. ‘Tunggu... kenapa gue harus malu? Toh Joshep sahabat gue.’ Tidak terhitung berapa banyak Aurora mengekspresikan hayalannya. Dari mulai menggelengkan kepala, mengangguk-angguk, tersenyum, tersipu, hingga cemberut. Tidak masalah bukan, jika Aurora menyukai Om sahabatnya. ‘Mungkin kami juga bakal jadi keluarga bahagia hehee.’ Aurora seperti orang gila di dalam kamar, untung saja Kezie sedang tidak di kamar melihat keanehannya. ‘Gila... ntar Josh manggil gue apa, ya? Tante? Aunty? Gimana kalau dia malah manggil Bibi? Tuh bule sedeng kan suka cari gara-gara ama gue!’ Jika dihitung mungkin sudah dua jam Aurora memikirkan hal-hal random itu. Sedangkan yang lain sedang tidur melepas penat dari perjalanan tadi. Kesepakatannya mereka akan berkumpul nanti sore di taman belakang. Merasa tenggorokannya terasa kering, Aurora beranjak dari zona khayalan yang sudah ia tempati selama tiga jam lamanya. Aurora menuruni anak tangga itu satu persatu. Ia menuju ke dapur mengambil sebotol mineral dingin dari dalam kulkas. "Ara." "Ah!!- Uhukk hukk uhuk." Bukan hanya tenggorokannya yang perih tapi juga hidungnya karena tersedak. "Astaga. Maaf maaf. Aku nggak maksud buat ngagetin kamu," ujar Billy sambil menepuk pelan punggung Aurora untuk meredakan batuknya. "Ukhuk... G-gapapa kok, Kak. Udah mendingan juga, makasih." Aurora menoleh pada Billy. Jarak wajah mereka begitu dekat sekarang dengan posisi Billy di sampingnya. Tangan kanan Billy berada di punggung Aurora, sedangkan tangan kirinya berada di pundak sebelah kiri Aurora. Gadis itu menatap kedua bola mata Billy. Bola mata yang memancarkan kekhawatiran. “Perih, ya?" Tanya Billy lagi membuyarkan lamunan Aurora. "A-ah udah enggak kok, Kak." Aurora sedikit kecewa ketika Billy melepaskan rangukulannya. Sentuhan ringan yang mendebarkan. Dalam hati ia juga kesal bisa begitu berdebar dengan sentuhan kecil Billy padanya. ‘Gatel banget sih lo, Ra!’ "Ngapain di sini?" Billy tau itu pertanyaan bodoh, ia hanya merasa gugup hingga tidak tau mau bicara apa. Kegugupannya bertambah ketika Aurora tertawa kecil menatapnya. "Minum, Kak. Haus," ujar Aurora tersenyum sambil menunjukan gelasnya membuat Billy semakin salah tingkah. Padahal baru saja ia tersedak, Billy malah menanyakan tujuan gadis itu berada di dapur. "Kakak mau minum juga?" Lanjutnya. "Enggak. Aku mau siapin makan malam buat kita," ujar Billy yang mulai menjaga jarak pada Aurora dengan menyiapkan peralatan dan bahan untuk memasaknya. “Masak?” Tanya Aurora yang di balas anggukan oleh Billy. “Kakak yang masak?” Tanyanya lagi seolah tak percaya Billy benar-benar bisa memasak. “Iya, emang kenapa?” Kali ini Billy yang bertanya sambil tertawa kecil melihat wajah bingung Aurora yang tampak imut. “B-beneran bisa?” Tanya Aurora lagi. Otaknya blank melihat tawa Billy yang manisnya keterlaluan. “Bisa lah. Kenapa? Kamu gak bisa masak, ya?” Pertanyaan Billy membuat Aurora sempat terdiam lalu memperlihatkan cengirannya. Billy juga tidak berlama-lama menatap Aurora yang tampak semakin menggemaskan. "Ya udah. Kalau gitu aku bantu Kakak, ya." "Gak usah, kamu istirahat aja. Kalau udah jadi, ntar di bangunin sama yang lain juga." "Gak boleh nolak loh Kak kalau ada yang mau bantu. Ya? Ya? Ya?" Aurora memohon dengan wajah dibuat menyeramkan namun malah tampak menggemaskan membuat tawa Billy pecah seketika. "Hahaa... Oke oke. Jangan ngeliatin aku gitu. Kamu gak nyeremin sama sekali, malah gemesin. Jadi pengen cubit." Billy seolah tak sadar dengan apa yang dikatakannya. Aurora? Gadis itu tak bisa menahan senyumnya dengan munculnya semburat warna pink di pipinya. ‘Cubit aja cubit... ikhlas kok.’ "J-jadi ini kita ngapain dulu, Kak?" Tanya Aurora menyadarkan Billy yang juga terlihat terkejut dengan ucapannya sendiri. "Ehm... Kamu cuci ini terus potong kecil-kecil, bisa?" "Siap komandan," ujar Aurora sambil mengangkat telapak tangannya hingga ke depan pelipis, membentuk sikap seorang prajurit yang memberi hormat pada atasannya. Lagi lagi Billy tertawa kecil melihat tingkah Aurora. Gadis itu benar-benar pandai menghancurkan suasana canggung di antara mereka. Billy mulai mengiris, memotong, menumis, semua bahan yang diperlukan. Aurora sempat tercengang melihat kepandaian Billy dalam memasak. Tersadar dari lamunannya, Aurora mulai mencuci wortel kemudian memotongnya jadi dua. "Hei hei." Aurora yang hendak memotong wortel itu menghentikan kegiatannya lalu menoleh pada Billy. Billy memanggilnya bukan tanpa sebab. Ia menatap ngeri Aurora yang akan memotong wortel dengan posisi ujung yang lebih kecil berada di bawah. "Kenapa, Kak?" Tanya Aurora dengan wajah polosnya. "Gak gitu motongnya, kalau gitu yang ada wortel kamu malah terbang." Billy mendekati Aurora, mengambil pisau dan wortel yang ada di tangan Aurora. "Liat ya. Posisinya kayak gini, luas yang lebih gede yang kamu taruh di bawah. Jangan ditaruh kayak tadi, bisa-bisa wortel kamu terbang trus tangan kamu luka," ujar Billy sambil menatapnya cemas sedangkan Aurora hanya bisa tersenyum malu. Aurora memperhatikan cara kerja Billy dengan serius. Sesekali ia akan mengangguk-anggukan kepalanya saat Billy menjelaskan cara memotong dan yang lainnya. "Jadi gitu. Bisa? Jangan potong terlalu tebel ya, tapi jangan sampai terlalu tipis juga. Kamu potong dengan ketebalan yang sama, jadi ntar matengnya merata pas kita masaknya ntar," jelas Billy. "Iya, Kak." Aurora mengambil alih pisau tadi sambil tersenyum pada Billy. Deg Billy sempat terpaku melihat sepasang bola mata yang indah itu dari jarak sedekat ini. Jantungnya mulai berisik. Billy sedikit gelisah takut takut jika Aurora mendengar degupan jantungnya. ‘Aduhh.’ "I-ini coba dulu," ujar Billy memberikan pisau dan wortelnya ke tangan Aurora. Mereka memasak dengan perasaan senang. Jika ada sesuatu yang Aurora tidak bisa, Billy akan mengajarinya. Karena jujur, memang ini kali pertama Aurora berada di dapur untuk memasak. Bahkan beberapa kali Aurora hampir saja melukai jarinya. Billy yang melihat itu menyuruhnya untuk berhenti dan duduk saja melihatnya. Tapi bukan Aurora namanya jika tidak keras kepala. Aurora tetap ingin membantu Billy. Cukup dengan sedikit memelas dan menunjukan puppy eyesnya untuk membujuk Billy yang hanya bisa menghela nafas. Ia hanya memberikan Aurora tugas-tugas kecil agar gadis itu tidak mencelakai dirinya sendiri dan masakan mereka. Keasyikan memasak hingga mereka tidak sadar seseorang menatap mereka dengan tatapan terluka. Awalnya hanya ingin jalan-jalan karena matanya tidak mau terpejam. Seharusnya Joshep tidak turun, seharusnya ia diam saja di kamar, agar tidak melihat kedekatan Billy dan Aurora. Dan sekarang ia menyesali keputusannya. Pada dasarnya Joshep sedikit ragu dengan apa yang dirasakan Aurora pada Billy. Tapi setelah melihat kedekatan mereka ini. Ia takut. Joshep takut jika Aurora benar-benar menyukai Billy. Dan yang lebih ia takutkan jika Billy mempunyai perasaan yang sama pada Aurora. Tak ingin berlama-lama Joshep pun mengurungkan niatnya untuk jalan-jalan. Perlahan ia membawa kakinya melangkah kembali ke kamarnya. “Ara,” panggil Billy membuat Aurora menoleh. “Ya, Kak?” “Bisa bantu bentar?” “Bantu apa, Kak?” Aurora mendekat pada Billy. “Tolong kamu ratain ini ya, pelan-pelan aja. Kalau kekencengan ntar rusak,” ujar Billy lalu melakukan perkerjaan yang lain membiarkan Aurora menyelesaikan tugasnya. “Ok. Ini mah gampang,” ujar Aurora sombong lalu mulai melakukan apa yang disuruh Billy. Sambil membalik-balik masakannya, Billy sesekali melirik pekerjaan Aurora. “Sombong sih. Bukan gitu caranya, sini.” Billy berdiri di belakang Aurora dan menggenggam tangannya. Menuntun tangan Aurora bergerak seirama dengan tangannya yang menggenggam tangan Aurora. Mengolesnya dengan perlahan. Jika dilihat dari belakang, akan terlihat seperti Billy sedang memeluk Aurora. Dan beruntunglah mereka tak ada seorangpun yang melihat itu. “Nah gini. Kamu pelan-pelan aja. Gak usah buru-buru,” ujar Billy. Ia tak sadar dengan apa yang dilakukannya sekarang hampir membuat jantung Aurora meloncat keluar. Degg Tadi Billy dan sekarang Aurora. Degub jantungnya sungguh berisik. Jangan salahkan dia. Salahkan Billy yang membuat jantungnya berdetak tak karuan seperti ini. Membuat jantung itu tiba-tiba berdetak cepat, bahkan ia sendiri dapat mendengarnya. Ini menyiksanya. Tangan itu begitu lembut menggenggam tangannya. Dan jangan salahkan dia jika sekarang ia ingin lebih. Aurora menginginkan pria yang lebih tua itu. Bukan hanya sentuhan pada tangannya. Ia benar-benar menginginkan lebih. Aurora menginginkan hatinya, ia menginginkan pelukannya, ia menginginkan ciumannya. Aurora menginginkan Billy... menginginkan Billy menjadi miliknya. Perlahan Aurora menoleh ke samping. Menatap wajah Billy yang sangat mempesona. Wajah yang berhasil merebut seluruh perhatiannya. Rahang yang tegas, hidung yang mancung, mata teduhnya, kulitnya yang putih, dan jangan lupakan bibir yang imut sekaligus sexy itu. ‘Gila... Kok gue jadi m***m gini sih!’ “Kak?” Tanpa sadar Aurora memanggil Billy yang membuat jantungnya semakin memberontak. “Ya?” Billy menoleh pada Aurora. Ia sempat tersentak karena jarak wajah mereka sangat dekat. Apa lagi dengan posisi mereka yang seperti ini. “Aku…” “K-kenapa?” Tanya Billy jadi gugup melihat mata tegas Aurora menatapnya. “Aku... kayaknya aku suk-” “Bill.” Panggilan itu membuat Billy dengan cepat menjauh dari Aurora. Bahkan spatula yang ia pegang jatuh begitu saja, menimbulkan suara bising. Rona merah kini mulai muncul di kedua pipi Aurora. “A-ah ya, Jess. K-kenapa?” Tanya Billy sambil mengelus tengkuk lehernya. Padahal tidak melakukan apa-apa tapi rasanya sedang tertangkap basah melakukan sesuatu yang salah. “Gapapa. Cuma mau nanya, makanannya udah jadi belum? Kalau udah biar sekalian aku bangunin yang lain.” Jessica berjalan mendekati keduanya yang tampak salah tingkah. “Iya, ini tinggal ngangkat ke meja kok.” Billy sesekali melirik ke arah Aurora yang hanya menunduk. “Kalian abis ngapain? Kok aneh gini?” Tanya Jessica dengan tatapan menyelidik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD