3. ONE NIGHT STAND?

2728 Words
Suara dering singkat pada ponselnya membuat Flo menggeliat pelan. Flo terbangun dari tidurnya dengan kondisi kepala sakit seperti dihantam benda yang sangat berat. Matanya begitu sulit dibuka dan tubuhnya terasa lemas. Belum lagi tenggorokannya terasa sangat kering dan tidak sabar meneguk air untuk membasahinya. Entah ia sedang bermimpi atau ini kondisinya saat ini adalah nyata. Saat Flo mencoba bergerak untuk bangun, perutnya terasa ada beban yang menahan. Matanya yang perlahan bisa terbuka, berusaha menetralkan pandangan. Akhirnya Flo mengedip beberapa kali sampai ia memberanikan diri melihat sesuatu yang melingkar di atas perutnya. Ia terkejut dengan apa yang sedang ia lihat. Matanya membulat, mulutnya terbuka, nyaris berteriak dan saat menoleh ke samping ia nyaris menjadi gila. “Damn!” pekiknya dalam hati. “Kenapa ada dia? Apa yang terjadi tadi malam?” Bian tengah tertidur pulas di sebelah Flo dan keduanya bahkan berbagi selimut yang sama. Dengan tangan gemetar, Flo melihat dirinya dibalik selimut dan lagi-lagi ia mengumpat dalam hatinya. “Astaga, Flo. Lo udah gila, pasti lo sedang tidak waras.” jerit Flo dalam hatinya. “Bagaimana bisa lo tidur dengan sahabat adik lo sendiri? Oh Tuhan, mimpikah ini?” Merasa ada gerakan halus di sebelahnya, membuat Bian akhirnya membuka matanya dengan perlahan. Ia terkejut melihat Flo kini tengah menatapnya dengan air muka yang tidak bisa Bian artikan. Namun, bisa ia tebak, pasti dalam hatinya Flo sedang mengumpat yang ditujukan kepadanya. “Sudah bangun?” tanya Bian santai. Flo melongo mendengar pertanyaan santai dari pria yang paling ia hindari di muka bumi lain Nino. Bagaimana bisa Bian tidak panik dengan keadaan mereka seperti ini. Rasanya Flo ingin terisap saja ke lubang hitam agar pria ini tidak melihatnya dalam keadaan menyedihkan dan memalukan seperti ini. Bukan kali pertama, tapi untuk ke dua kalinya Bian melihatnya dalam keadaan polos. Tidak mendapat jawaban, Bian justru menarik tubuh Flo kemudian memeluknya dengan lembut. Tidak itu saja, Bian dengan lancang mencium pundak Flo dengan lembut dan sensual. Benar-benar tidak peduli jika wanita di dalam pelukannya ini akan menelannya bulat-bulat. Bian hanya merasa tubuh Flo memikatnya. “Kamu kaget ya?” Tubuh Flo yang sudah kaku semakin dibuat menegang karena merasakan hembusan napas dari Bian di area telinga serta lehernya. Dengan sisa tenaga, ia segera menarik diri lalu menjauhkan tubuhnya dari Bian. “Bagaimana kamu bisa setenang ini setelah apa yang sudah terjadi?” tanya Flo dengan tubuh masih tertutup selimut serta wajah merah padam. “Memang apa yang terjadi Flo?” tanya Bian balik. “Masih nanya juga, ya jelaslah sudah terjadi…” lidahnya tiba-tiba kaku tanpa bisa mengucapkan kelanjutan dari kalimatnya. Bian bangun dari posisi tidurnya kemudian menyingkap selimut yang menutupi tubuh pria itu. “Aaaa…” teriak Flo sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Teriakan wanita itu sontak membuat Bian kaget. “Flo, kanapa kamu teriak?” “Kamu bisa nggak sih jangan sembarangan telanjang di hadapan saya?” ucapnya sambil tetap menutup mata. “Siapa yang telanjang, Flo?” tanya Bian bingung. “Kenapa kamu harus tutup mata?” Mendengar ucapan Bian, otomatis Flo mengintip untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, belum sampai ia melihat keadaan Bian, tiba-tiba ia kembali menutup mata karena tiba-tiba pria itu kembali mendekatinya. “Kamu mau apa?” Tangan Bian meraih tangan milik Flo dan membuatnya menyingkir dari wajah cantiknya. “Flo, kamu kira saya sedang telanjang? Kamu bisa lihat saya masih menggunakan celana. Hanya saja kemeja yang saya pakai, kamu lepas paksa.” “Apa?” tanya Flo yang langsung menyingkirkan tangan dan menatap Bian dengan mata membola. “Kamu nggak ingat apa yang terjadi semalam?” Flo mencoba mengingat, meski membuat kepalanya semakin sakit. “Saya lagi di klub dan minum sendirian. Setelah itu saya nggak ingat apa-apa.” “Semalam, Arga minta saya menjemput kamu di klub.” Kedua mata wanita itu melotot nyaris keluar dari tempatnya. Ternyata ini semua salah saudara kembarnya. “Kenapa Arga bisa tahu?” “Karena Mirah yang menghubungi Arga. Teman kamu itu tidak tenang kamu pulang sendiri dan akhirnya mengikuti kamu.” “Terus?” tanya Flo dengan raut wajah bingung. “Arga nggak bisa jemput kamu jadi dia minta tolong sama saya. Saya nggak bisa menemukan kunci rumah kamu dan akhirnya saya bawa kamu ke apartemen saya.” “Dan kamu memanfaatkan kepercayaan Arga dan kondisi saya yang tidak sadarkan diri akibat pengaruh alkohol. Begitu?” suara Flo meninggi. “Flo, maksud kamu apa?” tanya Bian dengan sikapnya yang masih sangat tenang. “Kenapa kita bisa tidur di tempat tidur yang sama dan dalam keadaan seperti ini?” Pria yang mendapat cecaran pertanyaan, hanya bisa menggelengkan kepala sambil menghela napas pelan. “Sepertinya kamu belum sadar juga. Kita hanya tidur biasa tanpa, making love, Flo. Kamu bisa lihat pakaian dalam kamu masih lengkap dan saya bahkan masih mengenakan celana dengan ikat pinggang yang melekat. Kamu juga bisa merasakan kan apakah bagian intim kamu apa ada yang aneh atau tidak? Semua bisa dibuktikan dengan mudah, Flo.” Flo berusaha mencerna apa yang coba Bian jelaskan kepadanya. Benar, Bian bahkan masih mengenakan celana dan ia masih menggunakan pakaian dalam. Bahkan bagian intim tidak terasa aneh karena Flo tahu dengan jelas bahwa dirinya belum pernah dijamah oleh pria mana pun termasuk Nino, kecuali hanya b******u. “Tapi bisa saja kamu mengenakan celana setelah kita berhubungan,” protes Flo, seakan harga dirinya tidak ingin direndahkan oleh pria yang kini sudah dalam posisi berdiri. “Kamu bisa saja mempersiapkan semuanya.” Bian tersenyum tipis ketika mendapat tuduhan dari wanita yang rambutnya dalam keadaan berantakan. Pria itu membungkukkan badan, mendekat ke arah Flo sembari memberi tatapan nakal. “Apa kamu sangat berharap kalau kita melakukannya?” “Nggak! Jangan sembarangan ngomong. Siapa juga yang mau melakukan hal itu sama kamu,” elak Flo dengan tajam. “Kalau kamu tidak mau, lantas kenapa tadi malam kamu memintanya sama saya? Bahkan hampir saja keteguhan hati saya goyah karena kamu begitu brutal mencium saya.” Sangat terlihat jelas senyum mengejek dari bibir pria itu. “Stop! Jangan diteruskan. Saya tahu kamu hanya ingin menggoda saya dan semua itu pasti tidak benar. Mana mungkin saya bisa melakukan hal gila seperti itu, bahkan sama kamu.” Bian kembali menegakkan badan, dan kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. “Benar. Bagaimana bisa seorang Florensia Alinka yang selalu menjaga jarak dengan saya malah meminta untuk disentuh? Benar-benah hal yang sulit untuk terjadi. Andai saja ada rekaman yang bisa menjadi bukti apa yang terjadi semalam sampai d**a saya penuh dengan tanda yang kamu buat, kamu pasti akan sangat malu.” Flo tidak mengerti dengan ucapan Bian. Ia merasa kalau saat ini tujuan Bian hanya untuk menggodanya saja. “Kamu pasti bohong, kan? Apa yang kamu bilang, cuma untuk menggoda saya, kan?” Flo masih belum terima dengan ucapan Bian meski ia tidak buta, area d**a pria itu penuh dengan warna merah keunguan. “Iya terserah kamu percaya atau tidak. Mana mungkin saya berani membuka pakaian kamu kalau bukan ulah kamu sendiri. Dan bagaimana bisa saya tidur di tempat yang sama kalau bukan karena kamu yang meminta untuk ditemani bahkan minta dipeluk sampai pagi. Percuma juga saya jelaskan meski sampai mulut saya berbusa.” “BIAN!” teriak Flo kesal. Ia tidak sanggup lagi mendengarkan kenyataan memalukan tentang apa yang ia lakukan tadi malam. Bukannya takut atau kasian, Bian justru tergelak puas. Sambil tertawa ia bicara, berharap perdebatan ini akan selesai. “Sebaiknya kamu mandi dan saya akan antar kamu pulang,” ucap Bian, lalu berjalan menjauh dari tempat tidur. “Kamu mau kemana?” tanya Flo tiba-tiba. Bian menoleh ke arah Flo. “Saya mau pesan sarapan karena di apartemen saya tidak ada makanan. Kamu tau kan saya baru kembali ke Indonesia dan jarang tinggal di apartemen,” jelas Bian kemudian berlalu dari hadapan Flo yang masih mencoba menenangkan pikirannya. Setelah kepergian Bian dari kamar tersebut, Flo mengacak rambutnya karena frustrasi bahkan ia ingin berteriak karena malu serta kesal. Ia menyapu pandangan ke sekitar, memperhatikan kamar tersebut. “Aku nggak akan mau ada di kamar ini lagi. Ini yang terakhir aku menginjakkan kaki di tempat ini,” gumamnya sebal. Perlahan Flo beranjak dari tempat tidur dengan melilitkan selimut di sekujur tubuhnya. Meski hanya sendiri, siapa jamin Bian tidak masuk ke kamar dan melihatnya dalam keadaan menyedihkan. Ia melangkah memunguti pakaian yang berserakan di lantai dan semakin membuatnya ingin menangis. “Gila lo Flo, kalau Mama dan Arga tahu, habislah lov di tendang ke planet pluto.” Sementara itu, Bian berjalan meninggalkan kamar dengan senyum mengembang di wajahnya. Ia benar-benar puas melihat ekspresi Flo saat tahu apa yang terjadi. Bisa-bisanya gadis itu marah padahal semalam begitu ganas untuk memaksanya. Sungguh gadis ajaib yang membuat Bian semakin penasaran. Apalagi ketika mengingat bagaimana bibir Flo terasa kenyal dan basah saat keduanya beradu penuh gairah. “Flo, andai kamu ingat apa yang terjadi semalam, apa kamu masih akan memaki saya?” gumam Bian sambil mengambil ponsel untuk memesan sarapan. “Tapi jujur, saya semakin penasaran dengan kamu.” Setelah kembali dari mengambil pesanan sarapan di lobi apartemen, kini Bian sedang menghidangkannya. Waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi dan ini waktu terpagi Bian sarapan setelah kembali ke Indonesia. Kalau saja Flo tidak bangun jam setengah lima pagi keduanya pasti masih menikmati kehangatan bersama. Bian menggelengkan kepala ketika bayangan semalam, muncul dalam ingatannya. “Jangan menyamakan Flo dengan wanita lain, Bian. Dia masih sangat naif dan sensitif.” Begitu burger, french fries, dan puding dari salah satu restoran cepat saji yang cukup terkenal serta teh hangat tersaji di atas meja, kini waktunya Bian memanggil Flo yang masih di kamar milik dirinya. Sejak tadi Bian belum melihat tanda-tanda Flo keluar dari ruangan itu, dan hal ini membuatnya sedikit penasaran. Saat sudah ada di depan kamarnya, hampir saja Bian langsung membuka pintu. Untung ia segera sadar kalau di dalam sana, sedang ada wanita paling sensitif yang pernah ia tamui. Tok! Tok! Tok! “Flo, apa kamu sudah selesai?” tanya Bian dengan suara sedikit keras. “Sarapannya sudah selesai. Ayo makan dulu.” Suara dari Bian membuat Flo ketar-ketir. Mengenakan pakaian yang kemarin tanpa mandi dan hanya mencuci muka, membuat Flo malu bertemu Bian. Bukan masalah belum mandi tapi ia tidak bisa mengenyahkan bayangan saat bangun tidur tadi. Selain itu, sakit pada kepalanya juga masih terasa, namun masih bisa ia tahan. “Apa aku bisa pergi dari tempat ini tanpa harus bertemu cowok itu?” gumamnya sambil duduk di sofa empuk di kamar itu. Flo terkesiap saat kembali mendengar ketukan pintu serta teriakan dari Bian. Alhasil, wanita itu bangun dari duduknya, lalu berjalan pelan ke arah pintu. Tangannya menekan gagang pintu, lalu membukanya dengan pelan dengan wajah ditekuk. Kening Bian seketika mengkerut melihat ekspresi wajah Flo. “Kenapa cemberut? Kamu kesal saya ketok pintu lalu manggil kamu? Dandannya jadi terganggu?” Wanita menghela napas, kemudian memutar bola matanya. “Siapa yang bisa dandan kalau situasinya seperti ini?” “Loh, memang ada yang salah?” “Saya malas debat sama kamu. Entah sudah berapa banyak energi hari ini yang terbuang sia-sia karna kamu,” sindir Flo dengan tatapan tajam. “Saya enggak mau sarapan. Saya mau pulang sekarang.” “Sarapan dulu Flo. Semuanya sudah saya siapkan.” “Siapa yang bisa makan setelah apa yang terjadi dengan kita?” Bian menarik tangan Flo begitu saja. “Lupakan sejenak, setidaknya selama sarapan. Semalam kamu mabuk parah, alangkah baiknya pagi ini isi dengan makanan.” “Bian!” protes Flo sambil berusaha menyingkirkan tangan Bian. “Kamu jangan maksa saya.” Tanpa mau menanggapi ocehan dari Flo, kini pria itu akhirnya bisa mendudukkan Flo di atas kursi meja makan. “Makan Flo walaupun sedikit.” Terlihat sekali Flo menahan kesal dengan sikap pemaksa Bian. Namun, rasa kesalnya kini teralihkan dengan menu sarapan yang ada di hadapannya. Matanya melotot, raut wajahnya menampakkan rasa terkejut. Bagaimana bisa Bian makan makanan seperti ini di pagi hari. “Kenapa heran? Kamu enggak suka?” “Memang ya, kebiasaan hidup di luar, sulit untuk diubah,” gerutu Flo pelan namun tetap bisa didengar oleh Bian. “Maksud kamu apa?” “Siapa yang mau sarapan dengan makanan berat seperti ini. Makanan ini bukan selera saya, apalagi untuk sarapan. Sebaiknya kamu saja yang makan.” “Mana saya tau kalau kamu tidak suka ini,” ucap Bian santai. Satu tangannya mengambil puding, kemudian diletakkan di atas piring milik Flo. “Rasanya yang ini masih aman. Lain kali saya siapkan sarapan yang sehat untuk kamu.” “Tidak ada lain kali karna ini akan jadi yang terakhir.” Bian tersenyum, sembari menyicipi burger miliknya. “Makan Flo, setelah itu saya antar kamu pulang.” Tidak ada yang bisa Flo lakukan selain menuruti ucapan Bian. Ia makan puding sedikit demi sedikit karena memang sedang tidak berselera. Apalagi ia harus makan di hadapan orang yang paling menyebalkan di muka bumi selain Nino. Untuk saat ini, di pikirannya adalah semakin cepat selesai, maka semakin cepat ia pergi dari tempat ini. *** “Flo, kamu baik-baik saja, kan?” Bian menoleh singkat ke arah tempat Flo duduk, lalu kembali fokus mengemudi. Flo masih diam, pandangannya terarah keluar jendela mobil. Seolah ia masih belum bisa menerima kalau Bian kembali melihat apa yang harusnya pria itu tidak lihat. Ia tidak ingin bicara apa-apa lagi dengan pria di sebelahnya. Mendadak Bian membelokkan mobilnya. Ia menepi agar bisa leluasa bicara dengan Flo. Namun, tindakannya justru membuat wanita itu terkejut, lalu menatap Bian semakin kesal. “Kamu ini kenapa, sih? Kenapa berhenti mendadak?” Bian melepas seat belt lalu mendekatkan tubuhnya dengan tubuh Flo. Tangannya refleks menangkap tangan wanita itu yang sibuk memilin tisu hingga tidak berbentuk. “Kenapa kamu diam saja? Kamu masih memikirkan hal yang terjadi?” “Kamu kira saya bisa melupakan semuanya begitu saja?” tanya Flo balik dengan nada tinggi. “Tapi kita tidak melakukan apa-apa.” “Tapi lagi-lagi kamu melihatnya tanpa izin. Saya ini masih ingat jelas kejadian dua tahun lalu dan semalam terjadi lagi bahkan nyaris saja kita making love.” Bian tersenyum sangat tenang, tidak peduli tatapan benci dari wanita di sampingnya. “Oke saya minta maaf. Harusnya saya yang sedang tidak dalam pengaruh alkohol, bisa mengontrol diri. Tapi jujur saya ini laki-laki normal, akan bereaksi melihat sesuatu yang menakjubkan di depan mata saya.” Flo melirik Bian yang masih menggenggam tangannya dengan lembut. Pria ini bisa-bisanya hadir dalam hidupnya, menjelma menjadi pria tampan tapi senyumnya sungguh nakal dan bisa saja memabukkan bagi setiap wanita yang menatapnya. Cepat-cepat ia menggelengkan kepala, menghalau segala pesona yang ditawarkan oleh pria di hadapannya. “Saya harap Mama dan Arga tidak tahu mengenai apa yang terjadi semalam. Kalau sampai ada yang tahu, ini semua pasti ulah kamu.” Bian kembali pada posisinya, ia menghela napas pelan dan kembali memasang sabuk pengamannya. “Saya tidak jamin Flo, karena kalau saya bersama Arga, sulit sekali menyembunyikan sebuah rahasia dengan adik kamu itu. Dia selalu bisa menggali hal-hal yang ingin saya sembunyikan.” “Jangan gila deh! Kamu ini laki-laki masa bawa mulut nggak bisa.” Flo tidak bisa menahan emosinya. “Bayangkan apa yang terjadi kalau mereka tahu saya sama kamu tidur bersama?” “Mungkin saya diminta menikahi kamu,” sahut Bian santai. “Dan itu tidak mungkin.” sambar Flo kesal. Bian kembali menoleh, mengeluarkan senyum manis dengan lesung pipi tercetak jelas, “Saya mau. Menikah dengan Florensia bukan hal yang buruk,” ucapnya. Jawaban Bian membuat kedua mata Flo membola sempurna. Itu bukan jawaban yang ia inginkan, meski Bian hanya bercanda. “Jalan sekarang atau saya turun di sini dan pulang sendiri.” “Tenang Flo, kamu akan sampai di rumah dengan selamat,” sahut Bian, kemudian kembali melajukan mobil miliknya. Setelah selesai membersihkan diri, kini Flo sedang menatap tubuhnya di pantulan cermin beras yang ada di kamarnya. Ia melihat beberapa tanda merah di area dadanya, yang merupakan ulah dari Bian. Malu, itulah yang Flo rasakan. Pria itu berhasil melakukannya, memberi tanda seolah ini adalah miliknya. Namun, sedikit perasaan beruntung Flo rasakan karena Bian tidak melakukannya di area yang bisa dilihat oleh orang lain. “Ini semua bisa bikin aku sinting. Nino sialan akar dari kejadian ini. Andai saja dia nggak kirim undangan dan bikin aku kembali membuka luka lama, nggak akan mungkin aku pergi ke klub. Kalau nggak pergi ke klub, Arga nggak akan kirim Bian buat jemput aku. Semuanya pasti akan beda cerita kalau bukan karna Nino. Dasar b******k! Enggak habis-habis bikin aku kesusahan!” ucap Flo dengan keras demi meluapkan rasa amarahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD