Gadis Gila!

2071 Words
“Amanda hentikan!” “Enggak! Mas Aiman mau bela pelakor ini, iya?!” tunjuk ku pada wanita ganjen yang membuatku murka. “Kelakuanmu membuatku malu, Manda.” “Oh, jadi pelakor lebih terhormat dibandingkan aku. Begitu?!” “Bukan seperti itu maksudku.” Aku melepaskan tanganku yang menjambak pramugari yang baru saja terbang bersama dengan Mas Aiman. Sedikit mendorongnya hingga dia terjatuh ke lantai. Kini, aku tengah berada di bandara, semua orang yang ada di depan pintu kedatangan berkerumun melihat dan merekam aksiku melabrak pelakor. Malu? Aku sudah tak peduli lagi! Kekesalanku telah di puncaknya, jika tak di lampiaskan akan membuatku semakin menggila. “Ayo pulang, Mas,” ajak ku dengan menarik tangan Mas Aiman agar segera pergi dari bandara. Mobilku masih terparkir di depan karena aku meninggalkannya begitu saja. “Manda ...” “Jangan membuatku semakin ganas lagi, Mas! Aku bisa membuat pelakor itu menjadi rujak bebek jika kamu mau,” ancam ku dan Mas Aiman langsung menurut. Meski selalu membangkang, namun kesayanganku ini mudah sekali di ancam. Mungkin karena dia malu dengan teman-temannya karena aku selalu membuat keributan di bandara setiap minggu. Semua itu karena si pelakor tak punya harga diri. Sudah aku peringatkan berulang kali tapi masih menempel pada Mas Aiman seperti tokek. Jika soal, pria yang ku cintai aku tak pernah main-main. Wanita di sekeliling Mas Aiman akan aku singkirkan hingga dia mau menerimaku menjadi pasangannya. Mas Aiman menyuruhku duduk di kursi penumpang. Padahal, biasanya dia akan memintaku menyetir karena lelah. “Aku tidak mau membahayakan nyawaku. Masih single sudah menuju akhirat,” ucapnya. Siapa juga yang mau mati cepat! Enak aja, belum kawin sudah menuju ke alam baka. Suka seenaknya sendiri dia kalau bicara. “Kita langsung ke apartemenku.” “Hmmm,” jawabku. “Kamu belum pulang ke rumah?” “Gak sempat, keburu Mas Aiman ngamar sama pelakor.” “Amanda!!!” “Apa?! Aku benar ‘kan? Ckck, kelakuanmu makin hari semakin mengkhawatirkan saja, Mas. Hati-hati kena penyakit kelamin.” Takkk! Mas Aiman menjitak keningku. Menatapku tajam karena mobil tengah berhenti di lampu merah. “Ngawur saja kalau bicara!” “Memang faktanya begitu ‘kan? Mas Aiman kalau enggak ada aku pasti gak akan pulang ke apartemen atau rumah Mama Jazila. Tiap, libur langsung ngamar sama .... aaawwww,” teriakku ketika Mas Aiman menarik bibirku. Kejam sekali! “Aku tidak pernah tidur dengan wanita manapun, Amanda!” “Gak percaya aku tuh. Lagian ya, jika Mas Aiman tidak tertarik dengan semua wanita gatal itu pasti sudah menolaknya. Kenyataannya kamu menikmati saat di peluk, cium dan grepe-grepe. Di tempat umum saja berani begitu, gimana pas di kamar. Pasti makin berani melakukan adegan vanassssssssssss.” Mas Aiman menepuk kepalaku beberapa kali sebelum menjalankan mobil. Diapun terkekeh pelan, tak merasa bersalah sedikitpun. Aku memiringkan dudukku, menaruh kedua tangan di depan d**a. Memicingkan kedua mata ke arah calon pacarku. “Jelaskan sekarang juga, Mas!” Bukannya menjawab Mas Aiman malah tertawa dan bersiul. Setan mana yang merasukinya? Tadi saja terlihat kesal saat aku menjambak salah satu fans nya. Kalau sudah begini mana bisa aku marah lagi, dia terlihat sangat ganteng dan aku lebih suka menikmati wajah yang selama seminggu ini tak ku lihat. “Kedip ...” “Pengen aku gigit kamu loh, Mas!” “Silahkan, gigit dimanapun tempatnya boleh-boleh saja.” “Issshhh, keenakan kamu,” cibir ku. “Lagipula, aku gak mau dapat bekasnya para pelakor.” “Amanda, sudah berapa kali aku bilang, aku tidak ada hubungan dengan para Wanita yang kamu labrak dan jambak rambutnya.” “Terus, Mas pikir aku bakal percaya?” “Terserah kamu yang penting aku sudah bicara jujur.” Sebelum ke apartemen, Mas Aiman mengajakku mampir ke supermarket untuk belanja bahan makanan. Meski, lelah dan lapar dia akan tetap memasak sendiri. Berharap aku masakan tidak akan mungkin terjadi dalam waktu dekat. Kesibukanku di sekolah dan rumah sakit membuatku tak memiliki waktu untuk belajar memasak. “Mau makan malam apa?” Aku melihat-lihat sayuran segar sebelum menjawab. Sejak kemarin aku mulai rajin makan sayuran hijau karena pencernaan ku agak terganggu. “Capcay dan ayam woku sepertinya enak.” “Oke,” jawabnya. Mas Aiman berjalan di belakangku dan mendorong troli. Sementara, aku bertugas mengambil belanjaan. Brakkk ... "aduh!" Aku tertabrak troli di depanku hingga brokoli yang baru aku ambil menggelinding ke bawah. “Maaf, Mbak, saya tidak sengaja.” “Iya, gapapa. Lain kali lihat depan kalau dorong troli. Apalagi, banyak isinya seperti ini.” “Tadi, saya lihat sayur bayam jadi gak fokus jalannya.” Aku mengangguk, lalu mengambil brokoli dan memasukkannya ke dalam troli. Gelagat Mas Aiman terlihat aneh, dia pun mengajakku pergi ke bagian ayam, daging dan ikan. Padahal, sayuran untuk membuat capcay belum lengkap. Aku kok malah curiga dengannya. “Ada apa sih, Mas? Kayak maling kepergok yang punya rumah.” “Supermarket sedang ramai, aku takut nggak kebagian ayam.” Heh, mana ada nggak kebagian? Stoknya saja banyak sekali, jika hampir habis pasti langsung diisi kembali. “Aiman ...” panggil wanita yang menabrak ku tadi. Oh, aku tahu sekarang, Mas Aiman berusaha menghindar dari wanita ini. Baiklah, sepertinya akan ada aksi jambak part dua. Untungnya sewaktu di sekolah aku sudah makan banyak, jadi banyak cadangan tenaga yang ku miliki. “Kamu lupa denganku?” Aku mendengkus ketika wanita ini mendekati Mas Aiman. Dia bahkan tak sungkan memeluk lengannya. Hisss, dasar wanita tak punya malu! “Bukannya kamu pindah ke Aussie?” “Sudah dua bulan aku balik ke Jogja. Btw, kamu masih tinggal di apartemen yang dulu?” Mas Aiman melihatku sebelum menjawab, wajahnya terlihat khawatir. Pasti, dia takut jika aku menerkam salah satu wanita koleksinya saat ini juga. “Ehemmm, ayo Mas. Aku capek pengen segera pulang,” saut ku, sebelum dia membuka mulutnya. “Kamu, Adiknya ...” “Bukan,” jawabku, memotong ucapan wanita di depanku. “Aku ini calon Istrinya Mas Aiman.” “Amanda,” tegur Mas Aiman. “Apa?! Memang benar ‘kan?” aku menepis tangan wanita ganjen agar melepaskan pelukannya pada lengan kesayanganku. Aku saja belum bermanja-manja, seenaknya sendiri langsung nemplok. “Ayo lanjut belanja lagi,” titahku. “Aiman boleh minta nomor ponselmu? Aku ganti ponsel jadi semua kontak para Pilot dan teman-teman hilang semua.” “085xxxxxxxx, catat yang benar,” ujarku. “Jangan lupa diberi nama Amanda Calon Istri Aiman!!! Kalau ada perlu dengan Mas Aiman langsung chat aku, nanti akan ku sampaikan.” Dia pikir aku akan memberikan nomor Mas Aiman. Enak saja! Pasti dia berniat menggoda pria yang ku cintai. “Aku tidak minta nomormu,” ucapnya ketus. Ternyata sikap lemah lembutnya hanya untuk menarik perhatian Mas Aiman. Sekarang sudah keluar wujud aslinya. “Aiman ...” “Mas, buruan ih!” aku tidak mau kalah! Tak akan ku biarkan, wanita ini mendapatkan cela dalam hubungan abu-abu kami. “Aku capek, Mas,” rengek ku lagi. “Maaf ya, Nes. Aku tidak bisa memberikan nomorku dan harus melanjutkan belanja.” “Kenapa, Aiman? Hubungan kita berakhir baik-baik ‘kan? Harusnya kamu tidak bersikap dingin seperti ini. Terus, siapa dia? Sejak kapan kamu memiliki rencana menikah muda?” Pertanyaan beruntun dari ‘Nes’ entahlah nama panjangnya siapa. Mas Aiman hanya memanggil huruf belakang, membuat ku ternganga. Buat apa dia menjelaskan hubungan masa lalu dengan mantan temannya? “Suamimu bisa salah paham jika kita kembali berteman. Aku tidak ingin masa lalu terulang kembali, bukan hanya aku yang diteror suamimu namun teman-teman juga. Lebih baik kita bersikap seolah-olah tak pernah kenal saja.” Aku mengangkat sebelah alis ku, tersenyum miring pada ‘Nestapa’ mungkin itu namanya. Sangat cocok dengan nasibnya hari ini. “Aku sudah bercerai, makanya aku kembali lagi ke Jogja. Pernikahanku tak berusia lama karena suamiku sangat posesif, dia terus mengekang ku dengan banyak aturan. Beberapa kali melakukan KDRT ketika tengah cemburu.” Lah, buat apa dia curhat? Toh, aku juga tak peduli. “Mbak, maaf ya. Kami tidak membuka sesi curhat masalah rumah tangga.” “Sejak tadi kamu bikin aku emosi, baru juga calon Istri lagaknya sudah seperti Nyonya besar.” Yah, dia marah! Harusnya aku yang marah. “Aku ini, Nyonya Aiman, jika kamu belum kenal.” Wanita berpenampilan dewasa dan super sexy ini memindai ku dari atas sampai ke bawah. Kemudian memasang wajah songong dan tertawa mengejek. “Seperti ini seleramu sekarang Aiman?” Giliran aku yang menatap tajam ke arah Mas Aiman. Sampai dia salah menjawab akan aku jambak wanita di depanku. “Sudah lah, lebih baik kamu lanjutkan kegiatanmu.” Mas Aiman menarik tanganku dan mengajakku pergi. Sebelum pergi, aku menendang kaki bibit pelakor hingga mengaduh kesakitan. “Dasar gadis gila!” teriaknya, hingga orang disekitar melihat ke arah kami. “Papan triplek sepertimu tidak akan membuat Aiman bergairah.” Astagfirullah, mulutnya! Minta di kuncir pakai karet pecel. “Biarkan saja, gak usah ditanggapi,” bisik Mas Aiman. “Kenapa? Mas Aiman takut masa lalu terkuak kembali.” “Masa lalu apa, Manda. Ya Allah, sejak tadi kamu sama sekali tidak percaya dengan semua yang aku katakan.” “Lebih tepatnya sejak dulu aku tidak pernah percaya denganmu. Tidak perlu ku jelaskan pasti kamu sudah tahu alasannya.” Mas Aiman menarik tubuhku dan membentak wanita yang berusaha menyerang ku. “Agnes, stop! Jangan membuat masalah di tempat umum!” “Dia yang mulai duluan bukan aku. Harusnya kamu memberinya nasehat agar menghormati orang yang lebih tua,” jawab Agnes tak mau kalah. Aku maju, kini berdiri di depan Mas Aiman. Berkacak pinggang, menantang bibit pelakor berduel. “Mau pukul saya? Silahkan, tapi saya akan membalas lebih dari yang kamu lakukan.” Aku menepis tangan kanan Agnes yang mengarah ke pipiku. Sebelah tangan ku mencengkeram erat tangan kirinya karena berusaha menjambak rambutku. Kalau, hanya sebatas ini terlalu mudah untukku. “Sakit?” tanyaku, saat memutar tangannya kebelakang. Tak lupa, aku menendang tulang keringnya. “Lepaskan aku, kamu benar-benar gadis gila,” teriaknya. “Sudah tahu kalau aku gila masih saja mencoba melawanku. Sekarang tidak ada ampun untukmu! Aku tidak segan-segan memberi pelajaran pada semua Wanita yang mencoba mendekati Mas Aiman. Ingat baik-baik!” Mas Aiman memintaku melepaskan Agnes, dia pun mengajakku pergi meninggalkan super market dan tak jadi melanjutkan belanja. Kekesalanku sekarang semakin menumpuk, dalam satu hari bertemu dengan dua pelakor. Benar-benar playboy kelas kakap Mas Aiman. “Kita beli makan saja,” ucapnya, saat kami telah berada di dalam mobil. “Gak usah, aku sudah kehilangan selera makan!” “Marah?” “Mas pikir aku sedang bahagia setelah bertemu dengan para Wanita koleksimu. Hhhh, yang benar saja! Bisa-bisanya kamu memiliki pikiran seperti itu.” “Aku tidak memiliki koleksi Wanita. Sudah ribuan kali aku menjelaskannya padamu, Manda. Namun, kamu tetap tak mau mendengarkan ku.” Jelas saja, aku tidak akan mendengarkan pria modelan dia. Lembek sekali kalau menghadapi para w*************a. Lagipula, masih menolak ajakanku untuk pacaran dan menikah. “Mana ponselmu,” aku menengadahkan tangan ke arahnya. “Buat apa?” “Pinjam sebentar. Cepetan, Mas!” “Gak boleh, ponsel adalah benda pribadi.” “Ya elah, cuman ponsel. Aset berharga Mas Aiman saja aku pernah melihatnya.” “Amanda!!!” teriak Mas Aiman. “Tidak usah kamu ungkit lagi.” “Oh, harus. Sampai kapanpun akan aku ungkit terus.” “Buat apa?” “Kenang-kenangan kalau aku pernah bertemu dengan adik kecil Mas Aiman.” Cittttt ... aku terhuyung ke depan saat Mas Aiman mengerem mendadak. Dia menepikan mobilnya ke bahu jalan, setelahnya membuka seat belt. “Mas, apa-apaan sih! Bahaya banget, untungnya gak ada kendaraan lain di belakang kita,” omel ku. Dia tidak menjawab malah semakin mendekatiku. Saking gugupnya aku memundurkan badan hingga menabrak pintu. “Ini peringatan terakhir, Amanda. Jangan membahas soal itu lagi!” “Gak mau!” tolak ku, membuang wajah ke samping agar tak melihat wajah menyeramkan Mas Aiman. “Lagian, adek kecil bakal jadi punya aku. Buktinya dia mau menampakkan diri saat ada aku. Biasanya terbungkus rapi di dalam sana,” tunjuk ku pada bagian sensitif Mas Aiman. Dia langsung menutup dengan kedua tangan. Mendengkus kesal ke arahku. “Kamu datang ke apartemenku tanpa bilang dulu. Waktu itu, aku habis mandi dan belum memakai apapun.” “Berarti memang rezeki ku ‘kan? Udahlah, Mas. Gak usah diperpanjang lagi.” “Kamu yang membahasnya terus Manda!” “Habisnya aku suka sama bentuknya. Kecil, mungil, imut, lucu ...” Mas Aiman membungkam mulutku dengan telapak tangannya. Kedua matanya melotot seperti mau keluar dari tempatnya. “Dasar bocah gendeng!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD