10. Masalah Lagi

3321 Words
Keesokan harinya, aku mendengar kesibukan dan canda riang kedua abangku di sebelah kamarku. Bang Reno sekolah lagi. Dari sholat sibuh tadi, mereka berdua sudah meledek aku yang mengeluh ngantuk, sampai aku ngamuk dan mama ngomel baru mereka berdua berhenti menggangguku. “Woi sarapan!!” jedaku mengetuk kamar bang Nino lalu aku turun ke bawah untuk sarapan. Di meja makan, papa dan mamaku sudah mulai sarapan. Dua bujang keceh baru menyusul turun tak lama kemudian dan masih bercanda. Semoga tanda bang Reno baikan. “Sekarang dengar papa!!” jeda papaku di sela sarapan. Kami anak anak serentak diam. “Papa gak jadi ke Amrik, dan eyang kung ke Amrik. Untuk itu, eyang ti akan di sini. Tugas Nino menemani eyang ti di rumah dan jemput eyang ti pulang sekolah nanti” kata papa. Bang Nino mengangguk. “Lalu kamu Ren, karena tante belum dapat supir untuk antar jemput Adis sekolah, jadi kamu yang kebagian tugas jemput dan antar Adis sekolah. Pak Min, om butuhkan selama om di Jakarta” kata papa. Kali ini bang Reno yang mengangguk. “Kalo udah ngerti, ayo berangkat anak anak, sudah siang” perintah mama. Kami menurut mencium tangan papa dan mamaku bergantian. “Nanti om kirim uang bensin mobilmu Ren” kata papa tepat bang Reno mencium tangannya. “Makasih om” kata bang Reno. “Wah, menang banyak, aku pah!!” kata bang Nino. “Eh, mamamu bukan isi trus bensin mobilmu?, tapi gak kamu pakai?, malah naik motor. Bensin motor masih bisa kamu beli dari uang sakumu” kata papa. Aku tertawa melihat bang Nino cemberut. “Slow bro, ada eyang Fey, palak!” kata bang Reno merangkul bahu bang Nino. Baru tertawa abangku. Malak trus kerjaannya sama eyang ti. Paling buat modal ajak cewek cewek kencan. “Abang…tas gue!!” jedaku karena biasanya tasku di bawakan papa atau supir. Berat tasku tuh, bawa buku pelajaran, belum buku aku les. “Mulailah penderitaan elo brother!!” ejek bang Nino saat bang Reno bergerak mendekat ke arahku lagi. Aku tertawa girang saat bang Reno membantuku bawa tas. “ASALAMUALAIKUM!!” salamku mewakili dua abang geblekku. “Walauikum salam” jawab mama dan papaku. Berlalulah kami sekolah, anteng dong aku di antar jemput bang Reno. Apalagi sewaktu pulang sekolah, ada eyang uti di rumah yang sudah makan siang dengan bang Nino dan mama. “Pasti elo cari muka sama eyang ti, tumben amat jam segini udah pulang sekolah” ejekku pada bang Nino. Eyang ti tertawa sambil mengusap kepala abangku yang makan. “Sirik Yang, biarin aja. Aku ganteng, jadi banyak yang sirik” jawabnya. Kalo aku bersorak, bang Reno menoyor kepalanya setelah mencium pipi eyang ti. Sudah jauh dari kata kesepian kalo eyang ti ada di rumahku. Sore selepas tidur siang, kami sudah nyanyi nyanyi dengan eyang ti yang memainkan piano. Lagu lagu klasik kalo eyang ti yang main. Jari jarinya seakan menari di atas tuts piano. Aku sampai takjub dengan kemampuannya main piano. Cuma bang Nino yang bisa mendekati level eyang ti main piano. Bang Reno dan aku masih jauh dari kata bagus. “Minggir, gue yang main, elo main gitar aja” usir bang Nino waktu bang Reno main piano. Aku tertawa berdua eyang ti, melihat bang Reno cemberut. “Elo jago karena sering latihan aja, lagian tetap kalah sama eyang Fey” sanggah bang Reno tapi menurut pindah. “Nyanyi apa Eyang?” tanya bang Nino. Bang Reno yang langsung main gitar. “Sometime love just ain’t enough” desis eyang ti mendengar petikan gitar bang Reno. Bang Nino tertawa lalu mengiringi dengan piano. Aku hanya mengawasi eyang ti bernyanyi. Suaranya bagus banget. Eyang duduk di kursi piano bersama bang Nino. Aku di sebelah bang Reno yang ikutan duduk di lantai sambil main gitar. “ But there's a danger in lovin' somebody too much. And its sad when you know it's your heart you can't trust. There's a reason why people don't stay where they are. Baby sometimes love just ain't enough” bang Reno mengambil bagian refrain dan eyang ti biarkan. Selanjutnya baru eyang ti dan bang Reno membagi suara karena ini lagu duet. Aku tau, papa dan mamaku sering nyanyi lagu ini. Bang Nino sepertiku yang hanya menikmati. “Cinta saja memang tidak cukup untuk menjalin suatu hubungan. Butuh kepercayaan, kesetiaan, dan rasa saling memiliki satu sama lain” kata eyang ti setelah bernyanyi. Kami bertiga mengangguk. “Kamu masih muda Ren, Nino dan Adis juga. Jangan terjebak dengan cinta buta. Pikirkan soal kepercayaan, kesetiaan dan rasa saling memiliki tadi. Kalo tidak punya tiga itu, cinta kalian hanya akan berakhir di tong sampah” lanjut eyang ti. Kalo aku dan bang Nino mengangguk. Aku lirik bang Reno, yang menunduk tapi dia tersenyum. “Nyanyi apa lagi eyang ti?, aku jadi ingat Noni aku nih, suaranya bagus banget persis eyang, cantiknya juga persis eyang, hanya mata dia biru, eyang ti hijau persis batu jade” kata bang Nino. Eyang ti tertawa. “Noni itu gadis bule Belanda yang kamu cerita?” tanya eyang ti. Antusias dong bang Nino kalo ada orang yang menanggapi ceritanya soal gadis Noni bulenya. “Iya eyang…kan aku tadi cerita. Mungkin karena bule Rusia kali jadi matanya biru, coba bule londo macam eyang ti, pasti matanya hijau juga seperti eyang” kata bang Nino. Aku dan bang Reno hanya tertawa. “Trus kapan kenalin sama eyang?” tanya eyang ti. “Lebaran gorilla!!” celetuk bang Reno dan aku ngakak melihat bang Nino melotot. “Eh begundal, jangan sok iye lo!!” omelnya. Aku ngakak lagi berdua bang Reno. Mana mau kalah si babang keceh kalo soal Noninya. “Elo bawa aja si Jejen apa kawan kawannya yang metal” tambahku meledek. “Yang kaya ulet keket kena bumbu somay” ejek bang Reno. “Lah oneng, kena garam kali” sanggah bang Nino. “Lah kan bule, jadi pantesnya bumbu somay” jawabku dan bang Reno ngakak lalu mengajakku high five. Aku tau maksud ledekan bang Reno, karena di sekolah tadi, bang Reno meledek si Jejen seperti ulat keket kena bumbu somay. Waktu aku tanya dia bilang seperti yang aku bilang tadi. Tapi kalo cewek lain yang di ejek, bang Nino malah ikutan ngakak. Beda kalo ledek Noni bulenya. Candaan kami terjeda oleh eyang ti. Bang Nino itu manja sekali kalo dekat eyang ti. Aku gak akan kebagian. Aku jadi menemani bang Reno main PS saat kami selesai makan malam. Bang Nino sudah menguasai eyang ti. Dia tiduran di paha eyang ti di sofa panjang ruang tengah. Eyang ti ngobrol dengan papa dan mamaku, dengan tangannya yang terus mengusap rambut bang Nino. Cucu kesayangan eyang ti. Tapi bang Nino juga sayang dengan eyang ti. “Elo tidur dewek Ren, tapi jangan bunuh diri. Gue mau tidur sama eyang ti” perintah abangku waktu mama menyuruh kami tidur. “MANJA!!” ledekku kompak dengan bang Reno. Dia tertawa. “Eh, nanti kalo eyang mau ke kamar mandi siapa yang temenin, kalo eyang kenapa kenapa, kita gak punya eyang secantik eyang ti, bukan begitu eyang sayang?” jawabnya. Eyang ti yang sudah dalam rangkulan bang Nino tertawa. “Schazt….” rengek eyang ti sambil mengusap pipi abangku, yang artinya sayang. Entah bahasa panggilan sayang darimana aslinya, soalnya mama bilang itu panggilan sayang dalam bahasa Jerman, tapi eyang asli Belanda. Mamaku juga niru panggil papaku itu. Kalo papa panggil mama liebie, sayang juga dalam bahasa Jerman, eyang kung panggil eyang ti, belle atau cantik dalam bahasa Perancis. Jadi alasannya bukan darimana panggilan itu berasal, hanya karena suka aja kali ya. Dan eyang ti panggil bang Nino itu. Alasannya, karena bang Nino di bilang mirip eyang kung yang romantis dan berkepribadian hangat. Hangat darimana?, kalo bawel baru benar. Jadilah bang Nino menemani eyang ti tidur selama eyang ti menginap. Aku di temani bang Reno walaupun pisah kamar. Tapi dia menurut tidak mengunci kamar bang Nino. Aku memang suka menyusul bang Nino di kamarnya, kalo aku takut. Adakali seminggu, aku di antar jemput bang Reno. Aku melihat dia semakin baik baik aja. Bang Nino juga mengajaknya keluar untuk hang out bareng di malam weekend. Aku gak di ajak, tapi aku biarkan. “Gue mau tau teman teman Reno, mau gue cari yang bikin dia teler” kata bang Nino. Jadi aku diam membiarkan abangku dengan usahanya menemani bang Reno. Walaupun aku harus menutup telingaku di hari sabtu pagi atau minggu, karena dua abangku adu balap molor. “Udah pulang subuh, masih aja bikin mama khawatir dengan menolak sarapan” omel mama sambil menarik selimut. Aku yang merasa terganggu jadi masuk kamar abangku. “Mah..kan aku tetap jawab telepon mama” jawab bang Nino masih terpejam. “Ngantuk tante” tolak bang Reno. Mamaku menggeram. “Cium mama dulu!!” perintah mama. “Tapi jangan ngomel lagi” kata bang Nino. “IYA!!!, BURUAN GAK!!” perintah mamaku galak. Bangun dong abangku lalu mencium pipi mamaku berkali kali. “Udah ya, udah kenyang kali di cium bujang tampan” jawab bang Nino lalu tiduran lagi. “RENO!!” perintah mamaku. Bang Reno menurut melakukan hal sama dengan mata terpejam. “Udah tante…ngantuk…” rengeknya lalu menyusul bang Nino tidur. Mamaku menghela nafas lalu berbalik dan mengajakku keluar kamar bang Nino. “Lah kok gak ajak sarapan?” tanyaku tepat mama menutup pintu kamar. Mama bukan jawab tapi merangkul bahuku untuk turun ke bawah. Terjawab pertanyaanku setelah aku duduk di meja makan. “Gak mabukkan?” tanya papa yang sedang ngopi. Eyang ti sudah pulang karena eyang kung sudah pulang dari Amrik. “Bau bir sih sama rokok” keluh mama. Oh jadi maksud mama minta cium itu. “Ya sudahlah, butuh berbotol botol bir kalo untuk buat mabuk. Namanya anak muda, sulit juga nolak tawaran teman temannya. Nanti di bilang anak mami. Anak anakmu, paling minum karena rasa tidak enak atau solidaritas antar teman. Biasa anak muda begitu, jangan terlalu khawatir. Mereka tidur panjang juga, baik lagi. Cukup awasi trus seperti cara yang papa ajarkan. Kalo kamu ngomel terus, anak anakmu malah akan semakin susah di pegang. Kamu pusing lagi. Nino dan Reno tetap jawab telponmu walaupun mereka nongkrong di luar dan bohong soal jam pulang. Tapi mereka tetap pulang ke rumah mau jam berapa pun mereka cape nongkrong, itu yang penting. Sabar kamunya” kata papa sambil meremas tangan mama. “Kalo mereka narkoba, semua berawal dari rokok dan minum schazt..” rengek mama. Papa menghela nafas. “Aku yang urus bagian itu, aku ambil bagian yang gak bisa kamu tangani, dengan cara lelaki tangani” jawab papa. “Cara apa pah?” tanyaku. Papa tersenyum. “Yang pasti papa tanya alasannya dulu. Kebanyakan remaja pakai narkoba karena pelarian dari rasa sepi,rasa kecewa, atau rasa kehilangan. Kedua abangmu, apa yang membuat mereka kesepian?, kalo mamamu dan kamu, ngomel terus, merengek manja tapi kalian berdua perhatian, jadi mereka tidak pernah merasa kehilangan teman berbagi. Jadi menurut papa, mereka tidak akan kena narkoba” kata papa. “Kalo tetap pakai narkoba?” tanyaku. Papa tertawa. “Berarti ada yang salah dengan teman teman mereka bergaul. Lihat Nino yang merasakan benar gimana pengaruh teman teman Reno yang gak baik, sampai Reno teler kemarin. Itu kenapa papa, selalu menyuruh mamamu, menerima siapa pun teman kalian di rumah, untuk ikut mengenali, mamamu pasti lebih bisa mengenali mana yang baik dan gak baik karena pengalamannya. Gak perduli buat repot, gak perduli buat pusing, karena biasanya anak muda kumpul, buat rumah berantakan. Di banding, abang abangmu lebih betah nongkrong di luar” jawab papaku. Oh jadi begitu alasannya, kenapa mama niat banget beli makanan, kasih teman teman abangku kalo mereka main di rumah. Terus juga ramah terima mereka. Jadi itu alasannya. Baiklah aku ngerti. “Bantu mama Dis, kawal dan awasi abang abangmu” kata mama. Aku mengangguk. “Putri Sumarin di bawah komando kanjeng ratu mama Sumarin” jawabku. Baru mamaku tertawa. Aku memang berusaha bantu mama kok awasi dua abangku. Aku tetap dengan telpon dan kirim pesan dengan bang Roland, apa aja aku cerita. Aku berharap dia ngerti, kalo papa dan mamanya sebenarnya sayang walaupun sibuk dengan diri mereka masing masing. Mamaku sepertinya lebih focus membuat bang Reno sibuk dengan tambahan tugas menjemput Kalila, kalo mamanya gak bisa jemput. Lebih seru kalo di tambah Kalila, walaupun otaknya cuma s**u kotak dan cemilan. Anteng aja nunggu aku pulang les berdua bang Reno di mobil. Kalo aku tidak les, aku minta bantuan Kalila buat bang Reno sibuk. “Trus kita ngapain kak Adis?” tanyanya setelah sudah sampai rumahku. “Kita mesti buat bang Eno sibuk, daripada dia galau karena putus sama pacarnya” jawabku. Kalila memang panggil bang Reno itu Eno, panggil bang Nino, Ino. “Biar gak isep rokok yang papa aku sita juga ya kak Adis?” tanyanya sambil menyedot s**u kotak yang dia pegang. Padahal habis makan siang. Gembul banget Kalila tuh. “Itu juga” jawabku karena pernah memergoki abang abangku menghisap ganja di kamar. Aku yang oon, tapi Kalila pintar bagian ini. “Ayo kita minta beli es cream!!” ajak Kalila. Aku setuju, jadilah aku mengganggu bang Reno di kamar bang Nino yang bersiap tidur. Bang Nino tidak ada, mama masih batas tolerasi marah sampai jam 5 sore kalo bang Nino belum sampai rumah. Bang Nino bilangnya suka main bola dulu di sekolah jadi telat pulang. “Elo kan udah minum s**u Kal” protesnya waktu aku dan Kalila merengek ke mini market. “Mau es cream, buruan gak!!, bilang papa nih, biar bang Eno yang di ajak latihan nembak” ancamnya. Dia berdecak tapi menurut mengantar kami ke mini market. “Buruan!!” omelnya. Aku dan Kalila tos diam diam di balik punggungnya lalu menyusulnya turun ke bawah. “Ke mini market dulu tante, ribet nih embul minta es cream” pamitnya pada mama. Mama tertawa lalu mengizinkan kami keluar. “Jalan aja bang, jadi bisa ke taman” tolak Kalila saat bang Reno beranjak ke mobil. “Adis gak kuat panas” sanggahnya. “Gue ambil topi” kataku masuk lagi ke dalam rumah. Biar aja deh, yang penting bang Reno sibuk. Jadilah kami jalan ke mini market dekat rumahku. Jauh juga sih, tapi karena Kalila terus berceloteh, jadi tidak terasa. Bang Reno yang kerepotan karena Kalila asal menyebrang jalan. “Astaga Kal…” desisnya kesel setelah berhasil menangkap tangan Kalila yang sudah berhasil menyebrang jalan tanpa menoleh kanan kiri. “Bang Eno lama” jawab Kalila. “Bokap elo bisa tembak kepala gue kalo elo ketabrak” omelnya. Aku tertawa. Jadilah dia memegang tanganku dan Kalila kanan kiri, persis bapak bapak menjaga anaknya yang nakal. Di minimarket, dia melayani Kalila yang ribut minta banyak cemilan coklat dan chiki. Aku hanya mengawasi, gimana bang Reno mengambil apa pun yang Kalila tunjuk. Tapi waktu aku di dekati cowok, dia buru buru menarik tanganku untuk bergabung. “Nino bisa hajar gue, kalo elo di cabulin orang” omelnya. Aku tertawa. Aku memang pakai hotpants dan kaos jadi dia ribet. Walaupun tetap di biarkan, beda dengan bang Nino yang mesti banget aku pakai celana panjang, minimal sebatas lutut dan harus pakai jacket kalo bang Nino. Alasannya takut aku di cabuli orang. Kalo bang Reno agak longgar, tapi ya itu, tetap tidak membiarkan aku jauh dari pengawasannya. Setelah jajan, dia menurut waktu Kalila mengajaknya ke taman. Jadilah kami bertiga duduk berderet di taman komplek rumahku. Kalo aku dan Kalila makan es cream, bang Reno makan coklat stick yang Kalila beli. “Aku mau ikutan belajar nembak kaya abang sama kak Alice” lapor Kalila sambil menjilat es creamnya. Bang Reno tertawa. “Elo minum s**u aja sama makan coklat. Masih kecil belajar nembak” jawab bang Reno. “Tau Kal, mending main Barbie sama gue” jawabku. Kalila menggeleng. “Kakak sama abang gak tau, jadi anak Jendral kaya apa” jawabnya. Aku jadi tertarik dan menatapnya. “Emang kenapa?” tanyaku. “Papaku bilang, mau masuk kesatuan yang berantas teroris, kalo aku gak belajar nembak, kalo ada yang culik aku, siapa yang bakal lawan penjahatnya” jawabnya. Kalo aku tertawa, bang Reno jadi gantian menatap Kalila walaupun orangnya santai makan es cream. “Emang jadi Kal, bukan mama elo gak kasih?” tanyanya. Aku gak ngerti, jadi aku diam. “Papa bilang demi bangsa dan negara jadi tentara mesti berani, gak boleh takut, eh jadi apa pun deh, kalo benar kenapa takut, papa bilang gitu” jawabnya. Bang Reno menghela nafas. “Yang suka buat bom itu, papa bilang semakin banyak. Jadi tentara sekarang bukan lagi harus lawan penjajah, karena udah merdeka. Yang mesti di lawan itu orang orang kita yang sesat. Aku gak ngerti sih, emang teroris itu apa sih bang Eno?” tanyanya. Aku dan bang Reno kompak terbahak. “Cape deh Lila” ledek bang Reno dan Kalila cemberut. “Aku cuma niru yang papa bilang. Aku mana tau teroris apa, mama bilang tukang bikin bom. Kurang kerjaan ya bang Eno tuh teroris, masa malah bikin bom, mending bikin kue apa peras sapi, jadikan aku gak mesti minum s**u kotak” protesku. Aku dan bang Reno kompak mengacak rambutnya karena gemas sambil tertawa. s**u sama makan doang otak Kalila. “Eh aku main ayunan dulu ya!!” pamit Kalila setelah es creamnya habis. Lagi lagi aku dan bang Reno tertawa. “Yang model gitu, mau latihan nembak, masih bocah banget” keluh bang Reno. Ya Kalilakan masih kelas 4 SD, masih minatlah main ayunan di tamat. Aku aja masih minat, tapi di taman gak ada anak seumuran aku, jadi aku tidak ikutan. “Pantes tante Anneke sibuk, pasti siap siap temanin om Edward naik jabatan” kata bang Reno. “Emang iya?” tanyaku. “Kalo tentara di pindah tugas ke satuan lain, pasti naik jabatan, minimal satu tingkat. Sekarang om Edward bintang dua, bisalah naik bintang tiga. Bokapnya Lila berhasil ngatasin pemberontak di Irian, kayanya gara gara itu dia naik kelas. Alice juga cerita sama gue” jawab bang Reno. Aku manggut manggut. “Resiko ya kerja kaya om Edward?” tanyaku. “Banget Dis, makanya anak anaknya di didik keras dari kecil. Alice aja jago gelud. Takutlah sering di tinggal soalnya, yang akan mengancam keselamatan keluarganya banyak, setelah gak berhasil ngalahin om Edward. Dia kan aparat negara yang serius mendesikasikan hidupnya untuk negara, wajar kalo banyak yang gak suka” jawab bang Reno. Bagus papaku pengusaha. “Jadi elo jangan protes kalo papa elo sibuk, beruntung loh, kerjaan bokap elo yang harus berhubungan dengan urusan hidup atau mati” tuh bang Reno aja ngerti. Tapi…jadi papaku tetap gak enak, untuk bagian menghadapi anak bujangnya. Selesai urusan bang Reno yang akhirnya di nyatakan baik baik saja pasca frustasi sama perempuan. Di hari selanjutnya, bang Reno total di perintahkan mama mengawal Kalila dan kak Alice. Aku jadi di antar jemput supir lagi. Bang Reno juga di izinkan pulang ke rumah om Narez, karena mama dapat laporan dari bang Nino, kalo bang Reno sudah tidak main dengan teman temannya yang sesat. Giliran bang Nino buat mama panik, dan imbasnya papaku. “Kemana Nino pah?, sudah mau jam 10 malam. Mama telepon teman temannya, katanya Nino urus Noninya yang sakit, masa sampai jam segini belum pulang. Kemana bujangmu?” keluh mama sudah bolak balik seperti setrikaan. “Tanya Reno sudah?” tanya papa. “Reno di rumah Edward dari pulang sekolah. Anneke bilang baru pulang, mana mungkin dia tau kemana Nino” jawab mama. Aku jadi ikutan cemas. “Sudah tunggu aja, bisa apa kalo handphone Nino mati. Ayo Dis tidur” kata papaku. Aku menggeleng. “Aku mau tunggu abang pulang” jawabku. Papa menghela nafas lagi. “Sambil boboan kalo gitu, besok kamu sekolah” kata papa. Aku menurut tiduran di sofa berbantal paha papaku. Hadeh…semoga gak mabuk dan teler seperti bang Reno. Bang Nino kemana sih??, masa iya sama Noni bulenya sampai malam. Memang mereka ngapain?. Masa iya check in juga?. Trus kalo….aku jadi sibuk dengan asumsiku sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD