9. Kenapa Harus Aku?

1653 Words
Tanpa terasa sudah seminggu ibu Maura di rawat, hari ini adalah hari kepulangan ibunya. Kondisinya berangsur pulih. Ketua rukun tetangga membawakan mobil untuk menjemput ibu Maura. Sementara itu Maura menuju kasir untuk menanyakan biaya administrasi karena perawat bilang Maura harus membawa kwitansi dari kasir untuk dapat meninggalkan rumah sakit. Kasir yang terlihat tidak ramah itu yang bertugas hari ini. “Atas nama siapa?” “Theana,” ucap Maura. Kasir itu mengetik nama ibu Maura dan layar komputer menunjukkan tagihan yang tertera. “Sepuluh juta rupiah pelunasannya,” ucapnya ringan. “Hah enggak salah? Kemarin kan saya sudah deposit tujuh jutaan?” tanya Maura. “Itu karena obat yang diminum paten, juga ada beberapa therapy yang dilakukan untuk pasien.” “Mbak, bisa di cicilkah?” tanya Maura. Sejujurnya dia benar-benar tidak ada uang sebanyak itu sekarang, limit kartu kreditnya saja hanya sisa dua jutaan. “Enggak bisa Mbak, coba dirundingkan dulu,” ujar kasir itu. Mengedikkan dagu ke arah belakang Maura karena sudah ada beberapa yang antri ingin membayar. Maura keluar dari antrian. Dia menggigit kukunya dan berpikir panjang. Dari mana dia harus mendapat uang untuk ibunya. Dia mencoba menelepon Daniel tapi panggilannya selalu di rejectnya. Sejak kasus program yang dihentikan karena hostnya terlibat narkoba, Maura tak ayal seperti wabah di kantor, banyak yang menjauhinya sebagai orang yang bertanggung jawab atas program tersebut. Maura akhirnya menelepon Sherly, panggilannya langsung diterima sahabatnya itu. “Sher, aku minta maaf sebelumnya,” ucap Maura. “Ada apa Ra? Jangan buat orang khawatir deh?” rutuk Sherly dari seberang. “Aku mau pinjam uang sepuluh juta boleh? Segera setelah Daniel membayar setengah uang muka rumah, akan aku balikin. Ibu aku keluar dari rumah sakit hari ini dan aku butuh uang untuk menebusnya,” ujar Maura seraya menunduk sedih. “Ya ampun Ra, aku pikir apa? Ya sudah aku transfer ya,” ucap Sherly enteng. Memang untuk urusan uang dia tidak pernah pelit, terlebih dia memang diberi kelebihan rejeki dibanding dua temannya. Mungkin sekarang Diva yang perekonomiannya lebih baik, namun Maura tidak mau meminjam pada Diva saat ini karena khwatir akan mengganggu keharmonisan rumah tangganya yang baru saja berlangsung. “Terima kasih Sher,” ucap Maura sedih. “It’s oke, aku matiin ya,” ucap Sherly. Tidak berapa lama ada notifikasi pesan bahwa Sherly sudah mentransfer uang ke Maura namun berita dari transferan itu yang membuat Maura hampir tertawa, bagaimana bisa Sherly menulis, “Dari om Bram hahaha.” Wanita itu memang paling bisa menghibur Maura. Maura kembali ke antrian dan membayar tagihan dengan kartu debitnya, setelah mendapat kwitansi pelunasan dia pun kembali ke ruang rawat dan menyerahkan ke bagian administrasi di lantai tempat ibunya di rawat, setelah pengecekan dan dibekali banyak obat, ibu Maura pun sudah boleh pulang. Maura mengantar ibunya sampai rumah, rumah yang sangat jarang dikunjunginya. Di rumah ini terlalu banyak kenangannya bersama sang ayah yang menyayanginya padahal dia bukan darah dagingnya. Ayah yang sering menjemputnya pulang sekolah dengan memakai jas hujan jubah ketika hujan tiba. Ayah yang tak pernah tidur sebelum Maura pulang dari lomba yang diikut sertakannya. Ayah yang sering memasakannya nasi goreng yang menurut Maura tidak ada tandingannya. Mata Maura berembun ketika melihat foto terakhir bersama sang ayah yang dipajang di dinding. Ayah dan ibunya duduk sementara Maura dan Elvan berdiri mengapit mereka. Senyum mereka tampak sangat cerah, foto itu diambil di studio foto sebulan sebelum sang ayah meninggal, seolah sudah pertanda bahwa hidupnya tak lama lagi, sehingga dia ingin membuat kenang-kenangan terakhir. “Kak,” panggil Elvan. Maura mengucek matanya berpura kelilipan. “Kakak mau nginap?” tanya Elvan, Elvan tidak mengerti padahal ke kantor Maura dari rumah ini hanya menempuh jarak dua puluh kilometer yang itu berarti dia bisa pulang pergi dengan motor atau angkutan umum, tapi Maura lebih memilih tinggal di kost. “Enggak, kakak harus kembali ke kantor,” ucap Maura. “Ya sudah kalau gitu hati-hati ya,” ucap Elvan, ibu mereka sudah tertidur di kamarnya. Hari masih siang ketika dia ke luar dari rumah itu, berjalan perlahan menuju halte bus terdekat. Berbagai pikiran berkecamuk di benaknya. *** Maura tiba di kantor sudah hampir sore, dia segera diterjang oleh Yosephine, memegang kedua bahunya membuat Maura terkejut. Wajah Yosephine benar-benar tidak bisa dikondisikan, sangat pucat seperti mayat hidup. “Kamu enggak lakuin kesalahan kan Ra? Jawab jujur,” ujarnya dengan kedua tangan tetap di bahu Maura. “Maksud mbak apa sih? Sejak kasus terakhir yang program kita gagal itu kan aku enggak pegang project apa-apa lagi,” sungut Maura. Yosephine tampak lega, lalu dia melepas pegangan di bahu Maura. “Masalahnya kamu dipanggil bu Rachel, kamu tahu kan? Anak dari CEO perusahaan kita, perbulan ini dia yang sudah menggantikan ayahnya menjadi CEO, dan kamu diminta menghadap langsung menemuinya di ruangan. Divisi lain semua heboh, aku sengaja enggak bilang ke kamu via telepon karena takut kamu melarikan diri,” cerocos Yosephine. Sejujurnya dalam hati Maura ingin tertawa melihat bosnya panik seperti ini, namun dia benar-benar tidak mengerti mengapa orang nomor satu di perusahaan ingin bertemu dengan karyawan rendahan sepertinya. “Aku diminta bertemu jam berapa?” tanya Maura. “Satu jam lagi, sebaiknya sekarang kamu bersiap diri, pakai parfum atau rapikan rambutmu, syukurlah kamu sudah pakai seragam,” ucap Yosephine. Maura menunduk melihat seragam kerjanya yang memang selalu di pakai dua kali dalam seminggu. “Baik Mbak, aku ke toilet dulu bilas wajah,” ujar Maura. “Pakai make up sekalian Ra, biar enggak terlalu kumal,” usul Yosephine. “Iya,” jawab Maura. Dia menuju toilet dengan membawa pouch make up yang memang sangat memprihatinkan. Bekas bedak tertempel di pouch berwarna hitam yang warnanya kusam itu. Setelah mencuci wajahnya, dia pun menyapukan bedak tipis di wajah dan memakai lipstrik, dia sedang menimbang perlukah dia memakai eyeliner? Namun kemudian dia memakainya secara tipis hanya untuk menghargai pertemuan dengan atasan, orang nomor satu di perusahaan. Maura menuju meja kerjanya, mengganti sepatu kets dengan flat shoes yang terkadang dipakai jika ada meeting formal. “Sudah siap?” tanya Yosephine. Maura mengangguk, Yosephine mendampingi Maura menuju lantai teratas di gedung RunTV tersebut. Namun sampai di meja resepsionist lantai itu, rupanya Yosephine tidak diperkenankan masuk karena hanya Maura yang dipanggil oleh Rachel. Yosephine berusaha mengerti, dia pun kembali ke ruangannya meninggalkan Maura. “Tunggu sebentar ya Mbak, ibu masih ada zoom meeting,” ucap resepsionist itu. Maura hanya mengiyakan dan duduk di salah satu sofa, kakinya terus saja bergerak karena sedikit terserang panik. Dia baru pertama kali menginjakkan kaki di lantai ini, apalagi bertemu dengan orang nomor satu di perusahaan tempatnya bekerja, tidak sembarang orang bisa bertatap muka secara langsung seperti dia. Lalu tampak sekretaris dari Rachel ke luar dan mengajak Maura ke dalam ruang kerja atasannya. Maura mengucapkan kata permisi, ketika memasuki ruangan itu. Rachel berdiri dari kursi kerjanya dan tersenyum ke Maura. Wajahnya benar-benar cantik, dia seperti dewi dari khayangan. “Silakan duduk,” ujarnya mengajak Maura duduk di sofa ruang kerjanya yang sangat luas itu. Maura duduk, berusaha bersikap santai meskipun dia tidak bisa. Di benaknya berkecamuk berjuta pertanyaan tentang, mengapa, mengapa dan mengapa? “Jangan tegang,” ucap Rachel seraya tersenyum, memberikan tablet ke sekretarisnya. Lalu dia memberi kode ke sekretarisnya untuk menyiapkan minum. “Kamu Maura Lovata dari tim kreatif kan? Sudah berapa lama kerja di perusahaan ini?” tanya Rachel, melipat kakinya dan bersikap santai. “Sudah hampir lima tahun, Bu,” jawab Maura. “Oh sudah lumayan lama ya, jadi saya akan langsung ke intinya.” “Iya silakan, Bu.” “Kamu tahu Bambang Raharja calon presiden di pemilu mendatang kan?” tanyanya yang mendapat anggukan kepala dari Maura, “well, saya ingin mengundang beliau untuk acara talk show di RunTV namun beliau meminta acara ini disiarkan secara live, terlebih beliau ingin mengajak seseorang untuk membantunya di talk show tersebut. Saya tahu hubungan anda dan orang ini adalah teman sekolah di SMA, karena itu orang ini meminta anda yang mengetuai project ini.” Maura mengerjapkan matanya, siapa yang dimaksud Rachel? Apakah Wisam? Semua pun tahu Wisam cukup terkenal di dunia kedokteran. Atau teman lain yang juga cukup sukses? Sekretaris Rachel memberikan teh hangat untuk Maura, Maura dipersilakan meminumnya. “Kedepannya saya harap kamu bisa mendiskusikan setiap pertanyaan dan tentang acara ini dengan orang itu melalui timnya, kamu kenal kan Ardana Abiputra? CEO Loona Corp, anak dari Randu Abiputra, dari Abiputra Group,” tanya Rachel, Maura yang sedang memegang cangkir itu sangat terkejut, tangannya bahkan bergetar, semula dia ingin meminum teh itu namun dia urungkan. “A-Ardana?” tanya Maura, satu yang luput dari penglihatannya, bahwa senyum Rachel tampak berbeda ketika menyebut nama Ardana. “Ya, dia didaulat oleh Pak Bambang untuk mendampinginya dalam membangun negeri ini, dia yang lulusan arsitek dan bisnis itu kabarnya sudah membuat perencanaan untuk membangun beberapa bangunan yang ramah lingkungan, pak Bambang ingin membuat negara ini lebih indah dengan tetap mengutamakan fasilitas publik yang ramah,” jelas Rachel, “silakan diminum,” ucap Rachel karena Maura sepertinya mengurungkan diri untuk meminum minumannya. Maura terpaksa mengambil cangkir itu dan meminum tehnya, meskipun rasanya sukar sekali tertelan. “Acaranya direncanakan kapan?” tanya Maura memberanikan diri. “Mungkin sekitar sepuluh hari lagi, kami sudah mengatur jadwal dengan beliau dan acara live akan tayang mulai pukul delapan malam sampai pukul sembilan, bicarakan tentang host dan lain sebagainya dengan tim Loona Corp ya, karena pak Bambang menyerahkan pada Ardana. Oiya saya sangat berharap acara ini sukses, saya turut menyesal dengan kuis yang kamu tangani kemarin, tapi siapa yang menduga? Namanya juga musibah. Untuk acara ini ... saya ingin kamu berjanji untuk mensukseskannya, tidak mudah mengatur jadwal dengan mereka berdua. Jika acara ini sukses saya berjanji untuk memberikan apa pun permintaan kamu, ” ucap Rachel. “Kenapa harus saya, Bu? Senior kreatif banyak yang jauh lebih kompeten dari saya,” ucap Maura yang diserang rasa tidak percaya diri. “Karena ... Ardana memilih kamu,” jawabnya seraya menyesap minumannya dengan santai. Maura memainkan jemarinya dengan gusar. Apa lagi yang direncakanan anak itu sebenarnya?? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD