Ardana memasuki kamarnya, meskipun ukuran kamar ini jauh lebih besar dari kamar di apartmennya namun dia tetap tidak nyaman di kamar ini, sama seperti di setiap sudut rumah ini. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman, namun dia merasa seolah dipenjara di rumah megah ini. Sejak dulu orang tuanya menganut paham otoriter dalam membesarkannya, membuatnya tumbuh menjadi anak yang arogant dan egois.
Ardana duduk di kursi putar menghadap meja kerjanya. Dia menarik laci dan mengambil satu buku agenda yang tersimpan rapi dalam laci yang terkunci itu. Dia membukanya perlahan, tampak olehnya foto yang sudah cukup lama. Sebuah foto berukuran tiga R, ada dirinya dan Maura sedang tersenyum lebar, dia ingat foto itu diambil seminggu sebelum kelulusan. Sang ketua kelas yang memiliki kamera digital mengambil banyak gambar termasuk fotonya berdua Maura.
Hari itu merupakan hari yang sangat membahagiakan bagi Ardana, dia tidak pernah jatuh cinta pada gadis sebesar cintanya dengan Maura. Kisah cintanya berawal dari kelas satu SMA, mereka yang harus bersaing dalam mendapatkan juara umum, karena mereka berasal dari kelas yang berbeda. Maura termasuk anak yang pintar, dia bahkan masuk kelas akselerasi sehingga usianya lebih muda dari usia teman satu angkatannya.
Di kelas dua SMA, Maura sudah mendapat jaminan untuk kuliah di kampus ternama dengan program beasiswa, di Inggris. Persaingan sehat mereka justru menimbulkan benih cinta di hati keduanya. Cinta Ardana tidak bertepuk sebelah tangan karena Maura pun membalas perasaannya. Gadis cantik dengan senyum yang indah, gadis yang tidak pernah bisa membuka tutup botol sehingga selalu mencari Ardana ketika ingin meminum cola atau s**u kedelai yang dibeli di kantin.
Hari itu mereka sedang mengadakan kegiatan liburan setelah ujian nasional berlangsung. Pada malam hari, Ardana mengajak Maura berjalan di sekitar villa, mereka memandang di kejauhan di mana lampu-lampu tampak seperti bintang, mereka berada di ketinggian. Mereka berjalan berdua tanpa sadar cukup jauh dari vila. Hingga hujan turun, mereka berlari menghindari hujan dan terpaksa berteduh di salah satu warung yang sepertinya sudah tidak dipakai. Hujan sangat deras kala itu ditambah dengan angin besar dan petir.
Ardana melihat Maura yang kedinginan, dia berusaha membuka pintu warung kosong itu dan pintu itu terbuka, hujan bercampur angin itu membuat baju keduanya basah.
“Ayo masuk sampai hujan reda,” ujar Ardana, memakai ponsel untuk menerangi tempat kosong itu. hanya ada satu tikar yang dibersihkan Ardana. Maura duduk seraya memeluk kakinya kedinginan. Bajunya basah.
Ardana mendekat ke arahnya dan memeluknya, mengusap lengan Maura agar tidak semakin kedinginan, bibir Maura memucat. Ardana sangat takut kekasihnya menderita hypotermia karena udara yang dingin.
“Lepas jaket kamu, basah, nanti bisa tambah dingin,” ucap Ardana. Maura melepas jaketnya, begitu pula Ardana. Ardana kembali memeluknya, Maura mendongak.
“Aku enggak kuat, dingin banget,” ucap Maura dengan suara bergetar menggigil kedinginan. Ardana mengecup bibirnya. Bibir itu terasa sangat dingin, entah setan dari mana yang merasuki Ardana hingga kecupan itu berubah menjadi lumatan yang dalam. Maura pun menyambutnya, rasa dingin membuat otaknya tidak bisa berpikir jernih. Mereka yang saat itu masih kelas tiga SMA, di malam itu melakukan hubungan yang tidak seharusnya mereka lakukan, tanpa mereka sadari.
Tubuh Maura menghangat setelahnya, meski matanya menitikkan air mata penyesalan. Ardana kembali memeluknya dan mengecup lehernya, mencium pipinya dan merapatkan kepala Maura di bahunya.
“Maafin aku, Sayang, aku janji akan menikahi kamu nanti, kamu pegang janji aku,” ucap Ardana.
“Bagaimana dengan orang tua kamu? Mereka enggak akan merestui kita, kita dari dunia yang berbeda Ar,” ucap Maura pilu.
“Aku akan berusaha meminta restu dari mereka, bagaimana pun caranya. Karena itu tunggu aku ya,” ucap Ardana tulus. Maura hanya mengangguk. Tidak lama hujan pun reda. Ardana mengajak Maura kembali ke Vila. Maura sedikit kesulitan melangkah, tubuh bagian bawahnya terasa perih. Ardana dengan sabar menggandeng tangannya, dia terus saja menggumamkan kata maaf, melihat kekasihnya yang sepertinya menderita. Dia tahu dia sudah melakukan kesalahan, dia khilaf. Seharusnya dia tidak menghancurkan masa depan Maura. Namun dia sangat mencintainya dan dia berharap hal ini bisa mengikat mereka hingga mereka menikah di usia dewasa nanti.
Ingatan Ardana beralih ke malam puncak perpisahan, semua murid kelas tiga merayakan kelulusan dengan memakai baju pesta yang indah. Menyewa salah satu gedung besar, sekolah Ardana merupakan sekolah elit yang sepuluh persennya diisi oleh siswa berprestasi. Maura masuk sekolah itu dengan jalur prestasi dan dia tentu saja tidak membayar biaya apa pun selama sekolah. Justru dia mendapat uang saku dari sekolah untuk sehari-hari. Perekonomian Maura meski terbilang cukup namun dia memang tidak seperti sebagian besar temannya. Bahkan hanya Sherly dan Diva yang mau berteman dengan mereka. Sherly juga berasal dari kalangan konglomerat sementara Diva adalah salah satu anak dewan guru sehingga meski tidak sekaya Sherly atau Ardana dan teman lainnya, dia tetap bisa sekolah di sana.
Maura tinggal bersama ibu, dan ayah sambung yang menikahi ibunya ketika dia masuk sekolah dasar. Dari sang ayah dia mendapatkan satu adik laki-laki bernama Elvan Raditya, Maura sangat menyayangi Elvan begitu pula Elvan. Ayah sambung Maura pun sangat menyayangi Maura meski bukan darah dagingnya.
“Mana Maura belum datang?” ujar Sherly ke arah Diva yang dapat didengar Ardana kala itu. Dia berusaha menghubungi Maura namun panggilannya tidak diterimanya padahal pesta perpisahan akan segera dimulai. Sherly dan Diva sudah memakai pakaian pesta yang indah. Ardana bersama pria lain mengenakan setelan jas yang sangat pas dengan tubuh mereka.
Ardana sudah mengirim gaun untuk dipakai Maura malam ini, dia yakin Maura akan sangat cantik memakai gaun berwarna hijau muda yang dipesannya khusus untuk kekasihnya itu. Malam ini Ardana ingin memberikan cincin untuk Maura sebagai tanda bahwa dia mengikat Maura dan berjanji akan menikahinya ketika dia berusia dua puluh delapan tahun. Menurutnya usia itu sudah cukup untuk menikahi sang kekasih.
Pesta berlangsung tanpa Maura, tepat di pertengahan pesta. Maura datang, tidak mengenakan gaun yang diberikan oleh Ardana. Dia justru memakai sweater berwarna hitam juga celana jeans. Wajahnya tampak kuyu dan kusut, matanya sembab.
“Maura? Ada apa cinta?” tanya Sherly. Beberapa pasang mata menatapnya dengan pandangan bingung. Ardana pun menghampirinya.
“Kamu kenapa?” tanya Ardana. Maura menatap Ardana dengan tatapan tajam.
“Ada yang mau aku bicarakan,” ucap Maura tegas. Ardana menggandeng tangan Maura menuju belakang aula. Maura mengempaskan tangan Ardana.
“Kita putus!”
“Ra, jangan ngaco, kita akan menikah, bagaimana bisa kita putus, aku bahkan membeli cincin untuk kamu,” ucap Ardana mengeluarkan kotak cincin yang terbuat dari beludru. Maura mengambil kotak itu dan melemparkannya ke taman yang dipenuhi rumput yang sepertinya tidak terlalu terawat, sangat jauh dari tempat mereka berdiri.
“Jangan pernah temui aku lagi, jangan ganggu hidupku lagi. Aku benci kamu Ardana Abiputra, mulai kini lupakan semua tentang aku dan aku pun akan melupakan kamu!” Setelah mengucapkan kata-kata itu, Maura pun bersiap pergi meninggalkan Ardana. Ardana menarik tangan Maura dan memeluknya.
“Apa yang terjadi sebenarnya?” tanya Ardana. Maura meronta dan melepaskan diri dari pelukan Ardana lalu dia mendorong Ardana menjauh.
“Jangan temui aku jika kamu mau aku tetap hidup!” Pelan ucapan Maura namun menusuk Ardana. Ardana tahu ada yang tidak beres dengan Maura. Dia membiarkan Maura pergi, malam itu untuk pertama kalinya seorang Ardana Abiputra menangis, berjongkok dan menutup wajah dengan lengannya. Dia tidak bisa mengejar Maura, dia juga belum bisa melindungi wanita itu. Ardana yakin peristiwa ini ada hubungannya dengan orang tuanya yang memang tidak pernah merestui hubungan putranya.
Dia pun segera pulang dan menemui sang ayah di ruang kerja rumahnya.
“Pa! Apa yang papa lakukan ke Maura!” sentak Ardana menggebrak meja ayahnya. Ayah Ardana meminta asistennya ke luar dari ruangan itu.
“Apa seperti ini cara kamu bicara dengan orang tua kamu?” tanya ayah Ardana tegas.
“Pa! Maura enggak salah, apa papa melakukan sesuatu yang buruk ke padanya! Pa sumpah demi aku, papa enggak melakukan itu kan? Pa aku sangat mencintainya Pa, kenapa papa tega?” ujar Ardana terisak karena ayahnya hanya terdiam seolah mengiyakan setiap tuduhannya.
“Bahkan kami sudah mengatur pernikahan kamu dan masa depan kamu Ardana, wanita itu tidak layak untuk kamu!”
“Pa, aku manusia bukan boneka, aku berhak atas hidupku sendiri!”
“Buktikan ke papa jika kamu berhak atas hidup kamu sendiri.”
“Bagaimana caranya? Aku akan ke luar dari rumah ini dan hidup sendiri tanpa bantuan kalian!” sengit Ardana.
“Kamu pikir papa akan melepas kamu begitu mudah?” cibir Randu Abiputra, ayah Ardana.
“Lalu?”
“Sekolah yang baik, belajar bisnis yang baik, buat perusahaan sendiri dan jadilah pesaing dari perusahaan papa, di saat kamu berhasil mengalahkan Abiputra group. Saat itu lah kamu bisa menjalani hidup kamu sendiri!”
“Tapi papa janji dua hal sama aku!”
“Ya, apa pun itu,” ucapnya sinis.
“Pertama, jangan memakai cara kotor untuk menjegal perusahaan ku nanti. Dan yang kedua jangan pernah sentuh Maura!”
“Kalau seperti itu papa juga ingin kamu berjanji.”
“Apa?”
“Jangan temui gadis itu jika kamu tidak ingin gadis itu mati,” ujarnya dingin.
“Pa!”
“Setuju?” Ardana hanya terdiam tanpa bisa berkilah, tatapan mata ayahnya sangat dingin seolah dia bisa membunuh siapa pun juga saat ini dan Ardana tidak ingin kehilangan Maura untuk selamanya.
“Sekarang kamu pergi ke luar negeri, papa sudah menyiapkan kampus dan kehidupan kamu di sana, jangan pernah kembali ke Indonesia sebelum kamu berhasil membangun perusahaan sendiri, modal awal akan papa beri untuk investasi, kembalikan setelah kamu berhasil membayar sepuluh kali lipat dari investasi papa dan papa tidak akan mendapat saham apa pun setelah itu,” ucap ayahnya berusaha berbisnis dengan anak berusia delapan belas tahun itu.
“Jangan sentuh Maura, aku pegang janji papa!” ujar Ardana seraya ke luar dari kamar sang ayah. Randu Abiputra hanya menyeringai lalu dia memanggil asisten dengan intercom di ruang kerjanya. Sang asisten datang ke ruang itu.
Ardana tidak dapat mendengar apa yang diucapkan ayahnya dengan orang kepercayaannya. Yang dia tahu ayahnya pasti terlibat. Dia tidak cukup kuat melawan ayahnya kini. Karenanya dia harus memegang janjinya untuk berdiri di kaki sendiri dan melawannya nanti.
Ingatan Ardana kembali ke masa kini. Diletakkan kembali foto itu di dalam buku agenda. Sebaiknya dia beristirahat di apartmennya dari pada di rumah ini, karena semua tentang rumah ini benar-benar membuatnya sesak. Dia sudah di indonesia dan dia akan menyiapkan amunisi melawan ayahnya dan Abiputra group. Dia sudah membangun perusahaan di inggris, kini dia bersiap memindahkan kantor pusat ke Indonesia.
***