7. Siasat

1545 Words
Maura sangat terkejut karena ibunya terus berteriak, tidak mau mengganggu pasien lain. Maura pun memutuskan ke luar dari kamar sang ibu, diikuti oleh Elvan sang adik. “Kak, nanti biar aku yang bujuk ibu,” ucap Elvan seraya menunduk sedih. Maura sangat menyayangkan adiknya yang tampan ini harus ikut menanggung deritanya. Karena itu dia tak pernah tega melihat sang adik. Wajah adiknya memang sangat mirip dengannya mewarisi genetik dari sang ibu yang juga cantik, namun tinggi badannya mengikuti ayah kandungnya karena dia sangat tinggi. Di usia delapan belas tahun saja tinggi dia sudah mencapai seratus delapan puluh senti. “Kamu jaga ibu ya, pulang sekolah langsung ke rumah sakit, ibu mungkin akan tinggal selama seminggu di sini,” tutur Maura, merapikan poni sang adik. Adiknya terus menunduk membuatnya bertanya-tanya. “Sebenarnya aku sedang kerja free time kak sudah beberapa bulan ini, aku ... mau kuliah, jadi kakak enggak perlu ngeluarin uang lagi untuk aku, mulai sekarang aku bisa menghidupi diri aku sendiri kak, kerjanya juga enggak sulit kok, hanya jaga stand pameran saja,” ucap Elvan. “Kamu harus berhenti, kamu sudah kelas tiga, serius sama sekolah kamu, nanti setelah lulus baru terserah kamu jika kamu mau kerja sambil kuliah seperti kakak dulu,” ujar Maura dengan nada yang agak meninggi, sejujurnya dia terkejut mendengar adiknya yang bekerja, apa itu sebabnya adiknya selalu pulang malam? “Kak, aku bisa manajemen waktuku, di sekolah aku tetap berprestasi kok,” kilah Elvan. “Apa uang dari kakak kurang? Kakak akan bekerja lebih giat Van untuk kamu dan ibu, tapi tolong jangan bekerja lagi, kamu seharusnya menikmati masa SMA kamu,” tutur Maura dengan mata berkaca-kaca namun dia tidak mau menangis, dia paling anti menitikkan air mata di depan ibu atau adiknya karena dia tak mau membebani mereka, mereka hanya harus tahu bahwa dia baik-baik saja. “Uang dari kakak bahkan enggak pernah aku pakai sejak kerja, kakak sudah capek kerja hampir dua puluh empat jam dalam sehari, kakak enggak seharusnya bekerja lebih keras. Aku sudah besar Kak, aku bisa jaga diriku dan ibu.” “Apa itu berarti kamu sudah enggak butuh kakak?” ancam Maura seraya membalikkan tubuhnya. “Bukan begitu, kak astaga, jangan ngambek. Kakak sudah tua,” sungut Elvan membuat Maura hampir meledakkan tawanya, mengapa dia mengucap kata Tua? Hello, usianya baru dua puluh enam, ya empat tahun lagi kepala tiga sih, tapi kan masih lama? Maura mencebikkan bibirnya. “Berhenti kerja atau berhenti jadi adiknya Maura Lovata?” tanya Maura memberikan dua pilihan. “Berhenti kerja.” Elvan yang kini terlihat merajuk, Maura mengacak rambut adiknya dengan sedikit berjinjit. “Gitu dong, baru adiknya Maura, sekarang kamu masuk ke dalam dan temani ibu, besok kakak datang ketika kamu sekolah,” ucap Maura. “Ya,” jawab Elvan malas, Maura hanya tersenyum dan berpamitan pada adiknya. Mulai sekarang dia harus benar-benar mengencangkan ikat pinggang lagi. Ah dia tidak harus patungan membayar rumah bersama Daniel kan? Mungkin dia bisa mengalihkan pengeluaran itu untuk membayar tagihan kartu kreditnya nanti. Maura membuka ponselnya, awalnya dia ingin memesan taksi online namun ongkosnya sangat mahal, hampir seratus ribu. Jika naik ojek online, langit tampaknya sudah mendung dan mungkin sebentar lagi turun hujan. Karena itu dia memilih naik bus, dari halte ke kostnya hanya perlu berjalan sepuluh menit. Maura berjalan menuju halte bus, mengeluarkan kartu e-moneynya untuk membayar biaya bus itu. Maura hanya sangat penasaran apa yang membuat ibunya hingga terkena serangan seperti itu? apakah ... ah tidak mungkin kan Ardana menemui ibunya? Tak berapa lama, bus tiba dan Maura segera menaikinya, bus ini cukup ramai sehingga dia tidak kedapatan kursi, dia pun berdiri menghadap ke arah televisi yang berada di atas kepala sang sopir bus. Maura bisa melihat berita yang menunjukkan sebuah rumah sakit besar, lalu menyorot ke pada salah satu dokter yang sangat Maura kenal, Wisam. Pria yang selalu mengajaknya menikah setiap ada kesempatan. Pria yang sok dan sering menyombongkan hartanya. seandainya saja Maura dulu mengikuti saran dari guru biologinya untuk mendaftar di jurusan kedokteran, mungkin kini dia sudah memakai jas yang sama dengan pria berbadan tambun itu. Akan tetapi ... siapa yang mau membayar biaya kuliah kedokteran yang harganya mencapai ratusan juta itu? Maura mungkin bisa mendapat beasiswa untuk biaya semester, namun bagaimana dengan praktek dan lain sebagainya? Maura menggeleng sendiri, kembali memperhatikan Wisam yang kini diwawancarai, anak itu dulu memang cukup pintar namun tidak sepintar dirinya dan Ardana. Maura mengetuk kepalanya ke salah satu tiang di busway, mengapa selalu Ardana yang singgah dalam ingatannya? Lelah sekali dia mencoba melupakan pria itu sejak sembilan tahun lalu, dan di saat semuanya mulai tenang, pria itu datang lagi bagai badai yang memporak porandakan hidupnya! Sesampai di rumah, Maura segera mandi dengan air hangat, dia mencoba tidak peduli dengan kamar Daniel yang mungkin sudah tidak diisi, meskipun hatinya merasa sedikit kosong kini. Apakah dia benar-benar sudah mengabaikan Daniel selama ini? Dan kini dia harus menanggung akibat kelalaiannya. Maura membuka ponselnya, sebagian besar pesan grup untuk pekerjaannya, dia baru ingat besok dia ada shooting, lalu bagaimana dengan ibunya? Maura tidak mungkin izin karena dia yang menjadi ketua tim program ini. Ini adalah program pertama yang diketuainya sejak dia masuk menjadi tim kreatif beberapa tahun lalu. Dia tidak mau mengecewakan atasannya dan para penonton tentunya. Pada akhirnya Maura mengirim pesan teks ke adiknya, mengatakan bahwa dia tidak bisa menemani sang ibu besok karena urusan pekerjaanya. Sepertinya Elvan masih marah karena hanya menulis dua huruf, ‘ok.’ Maura sadar, bekerja di Media terlebih sebagai tim kreatif memang seperti pekerja rodi, namun itu lah yang memang dia cari, bekerja terus hingga dia bisa melupakan semua masa lalu dan kesakitannya. Selama ini dia selalu senang jika dia sibuk, karena itu berarti dia tidak punya waktu untuk melamun atau memikirkan semua permasalahan hidupnya. Namun tidak untuk saat ini, dia sangat ingin merawat sang ibu, dia sudah jarang bertemu ibunya yang selalu saja menatap sinis ke padanya, memperlakukannya seperti musuh. Dia ingin berbaikan pada ibunya, dia tahu hanya ibu dan adiknya yang dia punya di dunia ini. Saat tengah membaca chat pekerjaan di ponselnya, dia melihat di jendela pop up, ada pesan teks dari Diva yang mengirim gambar. Penasaran, dibuka pesan itu, rupanya Diva membelikannya banyak oleh-oleh dan memintanya datang ke cafe Sherly besok agar mereka bisa bertemu bertiga dan menceritakan malam pertamanya. Sinting memang! *** Rachel duduk di salah satu sofa di rumah mewah milik seorang politisi, seorang yang digadang akan menjadi kandidat kuat presiden periode mendatang. Sangat sulit mendapatkan jadwal temu dengan seorang yang sangat sibuk ini. Bahkan ini sudah pukul sepuluh malam dan dia baru bisa mendapatkan waktu pertemuan, itu pun karena ayahnya yang menelepon langsung ke pria bernama Adrian Raharja, yang merupakan salah satu sahabatnya. Pria bernama Bambang Raharja itu memang tidak terlalu tua, usianya baru lima puluh tahun, dia disebut kandidat termuda selama ini, karena banyak yang mencalonkan diri di atas usia enam puluh tahun. Dia mengenakan baju safarinya, sepertinya baru tiba atau mungkin baru selesai meeting di ruangan khususnya. Dia didampingi dua pengawalnya yang muda dan tampan. “Rachel, sudah lama sekali kita tidak bertemu, sepertinya terakhir ketika kamu SMA ya?” ujar Bambang seraya merentangkan tangannya. Rachel menyambut dengan memeluknya erat dan melepas pelukan itu. Sudah biasa dia dipeluk teman ayahnya karena memang sejak kecil dia sering diajak ayahnya serta untuk pertemuan-pertemuan non formal. “Iya, Om, sudah hampir sepuluh tahun lalu,” ujar Rachel seraya terkekeh, lalu Bambang meminta Rachel kembali duduk dan dia meminta salah satu pengawalnya menyediakan minuman untuk Rachel. “Maaf ya, Om sibuk sekali jadi belum bisa membalas surel kamu,” tutur Bambang dengan senyum khasnya. “Tidak apa-apa Om.” “Jadi bagaimana? kamu bilang mau menawarkan Om jadi bintang tamu atau bagaimana?” tanya Bambang dengan to the point. “Iya, Om. Kebetulan kami bisa membuat program khusus untuk Om sekaligus untuk kampanye, mungkin seperti talk show dengan pembawa acara dan juga politisi lain atau ahli hukum,” ucap Rachel percaya diri, duduknya sangat tegap dan memang postur itu lah yang dibutuhkan untuk berbicara dengan lawan yang memiliki kedudukan tinggi, tidak merendahkan dan juga tidak terlalu tegang. “Hmm, sebenarnya tadi sebelum kamu datang om sudah berdiskusi dengan penasehat partai, sepertinya tidak bisa jika dengan politisi lain atau ahli hukum, apalagi om ingin acara ini disiarkan secara live agar tidak terkesan ada settingan yang membuat citra om jadi buruk.” “Jadi bagaimana saran Om, sepertinya Om telah memikirkannya?” tutur Rachel dengan senyumnya, lalu seorang pelayan menyediakan dua gelas teh chamomile aromanya sangat harum. Setelah pelayan itu pergi, Bambang melanjutkan percakapannya yang terhenti, dia tidak bisa sembarangan berbicara meski di depan pelayan sendiri, karena politik masa kini cukup mengerikan. Kawan bisa jadi lawan. “Om ada ide dan juga ada seseorang yang mau om bawa untuk acara itu, sebenarnya ini demi kepentingan negara juga, dan sepertinya orang itu teman kuliah kamu,” ucap Bambang membuat Rachel penasaran. “Oiya, siapa Om? Saya akan mengusahakan untuk mengundangnya jika Om berkenan,” ujar Rachel penasaran. “Ardana Abiputra.” Nama yang disebutkan Bambang membuat senyum Rachel terkembang sangat lebar, lalu dia menunduk malu, tanpa disuruh pun dia akan dengan senang hati mengundang pria itu, mungkin ini jalan Tuhan untuknya, agar lebih dekat dengan pria itu. Ah dia tidak sabar untuk bekerja sama dengan Ardana. Siapa tahu benih cinta pun tumbuh di hati Ardana? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD