Prolog
“Bisakah kita menyembunyikan pernikahan kita?” Wanita itu menunduk, setelah menuang teh hangat untuk pria yang telah menikahinya baru saja.
“Mengapa?” tanya pria di hadapannya.
“Biar bagaimana pun, kita berasal dari dunia yang berbeda, status sosial, kamu ... .”
“Maksud kamu? Status aku yang seorang direktur? Apakah itu membuatmu malu?” ujarnya dengan nada suara yang meninggi, tatapan tajamnya membuat wanita di hadapannya kian menunduk dalam.
“Bukan ... aku hanya enggak mau diliput media, aku khawatir ibuku tahu ... kamu tahu kan dia sangat membencimu?”
“Mungkinkah kita harus menyembunyikan pernikahan kita selamanya?” tanya pria itu, tingkahnya semakin dingin, diambil gelas tadi, menenggaknya sekaligus lalu dia meletakkan dengan cukup keras ke atas meja. Wanita itu hanya bisa menutup matanya lalu mata itu terbuka ketika merasakan jemari mengangkat dagunya. Lalu bibirnya dihisap dengan rakus, setelahnya tangan itu membelai pipinya dengan tatapan mata tajam.
“Lakukan sesukamu, maka aku akan melakukan semuanya sesuka hatiku!” ujarnya dingin, meninggalkan wanita itu dengan perasaan takut yang mendalam, seandainya waktu bisa diputar kembali. Mungkin dia akan memilih untuk tidak menghadiri resepsi sahabatnya. Sehingga kehidupannya tetap berjalan sebagaimana harusnya, tidak seperti ini.
***
Maura Lovata, wanita cantik bertubuh tinggi dan langsing, dengan rambut dikuncir ke atas tergesa memasuki taksi online yang dia pesan. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, hanya tersisa satu jam untuk menghadiri pesta pernikahan salah satu temannya di masa SMA. Sebagai tim kreatif sebuah televisi swasta di negeri ini dia memang kerapkali disibukkan dengan program-program pertelevisian.
“Pak,” panggil Maura ke arah pengemudi taksi online tersebut.
“Ya, Mbak?”
“Bisa bapak turunkan kacanya, saya minta maaf sekali tapi saya harus mengganti baju,” ringis Maura, wanita kelahiran dua puluh enam tahun lalu itu sudah membawa baju ganti, karena tidak mungkin dia hanya mengenakan kaos dan jeans ke pesta pernikahan sahabatnya.
Di kantor, dia menjadi penanggung jawab program yang baru saja selesai melakukan rekaman, itu sebabnya dia tidak bisa meninggalkan rekaman itu meskipun dia sudah meminta izin kepada atasannya. Padahal sahabatnya sedari SMA menikah hari ini, dia sudah pasrah jika Diva Prameswari, sang sahabat akan mencubitnya sampai membiru nanti.
Sopir itu menundukkan kaca, lagi pula dia tidak tampak tertarik karena dia harus mencapai tujuan tepat waktu, atau performanya akan turun, penilaian customer sekarang sangat penting, dia tidak mau hanya karena kesalahan sedikit, maka bintang yang didapatnya berkurang.
Maura mengeluarkan baju terusan dari plastik laundry yang dia ambil tadi. Menarik ke atas kaosnya, dia memang selalu memakai dalaman tanpa lengan sehingga dia tidak perlu merasa terlalu vulgar.
Dikenakan gaun berwarna silver itu, panjangnya menutupi lutut, dengan sedikit susah dia lepaskan jeansnya, berhasil. Dia menarik napas lega ketika berhasil mengganti pakaiannya. Baju atasan berwarna silver itu memang memiliki lengan mencapai sikunya.
“Sudah pak, terima kasih. Sekarang boleh minta tolong lagi untuk nyalakan lampunya,” ucap Maura tidak enak hati, driver itu hanya tersenyum dan menuruti keinginan penumpangnya.
“Terima kasih bapak baik hati,” ujarnya membuat driver itu tertawa. Maura kini memulas wajahnya dengan alat seadanya yang dia bawa. Biarlah setidaknya dia bisa menghargai sahabatnya dengan seperti ini.
Sesampai di depan gedung, Maura membayar ongkos taksi dan juga tipnya. Dari kejauhan sudah terlihat wanita dengan pakaian yang senada dengannya. Matanya melolot besar sekali, diiringi dengan lipatan tangan yang didekapannya. Menandakan bahwa dia sedang sangat marah.
“Terus aja telat!” cibirnya, wanita itu bernama Sherly Sifabela, mereka bertiga dengan sang mempelai adalah sahabat sejak sekolah menengah atas. Maura menitipkan tasnya ke bagian penerima tamu. Dia melihat banyak sekali hiasan bunga seperti yang disukai Diva.
“Rambut kamu!” ujar Sherly. Maura benar-benar lupa bahwa dia masih menguncir rambutnya. Ditarik kunciran itu dan dijadikan gelang olehnya. Lalu dia dan Sherly menata rambut dengan tangannya, beruntung rambutnya mudah diatur.
Para tamu masih memenuhi hall room gedung, Diva terlihat menyalami para tamu namun matanya terus mengarah ke pintu utama, dan senyumnya merekah melihat sahabatnya sudah tiba, meskipun kemudian dia membuang wajah, berpura merajuk.
Maura dan Sherly berjalan ke kursi pelaminan, Diva melipat tangan di d**a, tak mau menyalami sahabatnya.
“Aku akan nurutin satu permintaan kamu, apa pun itu, oke? Aku janji,” ujar Maura seraya mengacungkan jari kelingkingnya.
“Janji ya,” ucap Diva, malam ini dia sangat cantik dengan gaun putih dan rambut yang disanggul modern berhiaskan mahkota kecil. Dia sangat beruntung karena menikah dengan pria kaya yang ditemuinya di pesawat ketika dia menjadi pramugari, namun setelah bertunangan dia memutuskan berhenti dari pekerjaannya atas permintaan sang suami. Tentu saja dia tidak akan berpikir dua kali untuk berhenti dari pekerjaannya ketika dia menikahi seorang konglomerat kan?
“Sebenarnya,” ucap Diva menggantung kalimatnya. Para tamu undangan perlahan meninggalkan hall room karena memang waktu resepsi yang hanya tersisa setengah jam lagi itu.
“Apa?” tanya Maura.
“Ayo foto bersama, kita sudah lengkap,” ucap Sherly. Maura bahkan sampai lupa menyalami mempelai pria yang memang seusia mereka. Dia mengucap selamat sebelum berdiri kembali di samping Diva untuk foto bersama.
Setelah berfoto berlima, sang pembawa acara memanggil teman-teman Diva yang memang menghadiri pesta pernikahan ini, teman sekolah SMA yang juga teman Maura dan Sherly.
“Sebenarnya aku mengundang seorang yang mungkin enggak mau kamu temui,” ujar Diva pelan. “Permintaan aku ke kamu, aku meminta kamu maafin aku.”
“Maksud kamu?” tanya Maura. Ketika pembawa acara menyebut nama sekolah SMA mereka, berbondong-bondong teman sekolah yang diundang Diva maju ke depan, lalu pandangan Maura tepat ke pada satu sosok. Sosok yang sembilan tahun lamanya menghilang dari kehidupannya, dia pikir sosok itu sudah menghilang ditelan bumi.
Akan tetapi dia salah, pria itu masih berada di sana, tengah berjalan dengan langkah pasti, menatap ke arahnya seolah membidikkan busur panah yang melesat tepat ke jantung Maura.
Pria tinggi dengan rahang kokoh, alis yang tebal dan mata yang tajam, hidung mancung dan kulit putih, memakai setelan jas yang bisa dipastikan mahal. Tangan sebelah masuk ke sakunya namun tetap terlihat jam tangan mewah yang tersembul.
“A-Ardana?” ucap Maura.
“Maaf Maura! Aku akan jelasin nanti,” tutur Diva. Lintang, suaminya hanya tersenyum melihat Diva dan Maura yang kini saling tatap dengan ekpresi yang berkebalikan. Yang satu menatap marah, yang satu menatap penuh penyesalan.
“Jangan marah sama Diva, aku yang undang Ardana karena kami pernah satu kampus di luar negeri, aku pun baru tahu kalau dia teman sekolah kalian. Ya?” ujar Lintang.
“Kali ini kamu, aku maafkan!” dengus Maura membuat Diva menarik napas lega dan menggelayut manja di tangan sang suami.
Fotografer mengarahkan posisi untuk para tamu undangan berfoto dengan pengantin. Ardana sengaja menghampiri Maura membuat jantung Maura berpacu dengan cepat, namun beberapa wanita segera memotong mereka dan berdiri disamping Maura sesuai arahan fotografer. Ardana terpaksa tersisih dengan jarak cukup jauh. Namun Maura bisa memastikan bahwa laki-laki itu masih menatapnya kini.
Setelah foto bersama, Maura, Sherly dan teman sekelas mereka turun dari panggung pelaminan, mereka berkumpul di satu titik mengambil makanan yang tentu saja masih tersedia, berbincang sebentar yang sebagian menceritakan kesibukannya setelah lulus SMA sembilan tahun lalu.
“Ardana, sini dong gabung,” tutur seorang pria berkaca mata yang memang merupakan teman sekelas mereka.
“Ardana lagi ngobrol di sini, jangan ganggu deh,” cibir Inez, wanita yang memang menggilai Ardana sejak dulu kala, itu sebabnya dia tak pernah suka dengan Maura yang berhasil memiliki Ardana, namun hubungan mereka sudah lama berakhir kan?
Ardana menghampiri kelompok ketua kelas yang juga berisi Maura dan Sherly. Sementara Inez terus mengekornya seperti lalat.
“Sembilan tahun menghilang, enggak ada kabar, ke mana aja kamu?” tanya salah satu teman mereka.
“Kuliah bisnis, ambil program sampai magister, ya diisi belajar saja di Inggris,” jawab Ardana santai, kini ditangannya sudah memegang gelas berisi minuman berwarna hijau muda.
“Dari dulu selalu hobi belajar dan belajar terus, saingan sama juara kelas kita nih,” tutur sang ketua kelas menunjuk Maura yang sedari tadi ingin melarikan diri.
Sherly mencibir melihat Inez yang terus menempel pada Ardana seolah tak ingin tersaingi oleh Maura. Membuat Sherly sangat sebal. Seandainya Maura libur hari ini, ingin rasanya diajak ke salon, pasti penampilan Inez sekarang tidak ada apa-apanya dibandingkan Maura. Tidak dengan penampilan seadanya seperti ini.
“Oiya Maura mau nikah lho,” ujar Sherly dengan mulut besarnya. Ucapannya jelas menarik perhatian kelompok sebelah yang kini menoleh ke arah mereka.
“Sherly,” geram Maura.
“Oiya kamu mau nikah sama siapa?” tanya Inez.
“Sama tunangannya lah, manager general affair RunTV,” ucap Sherly jumawa.
“Belum sampai tahap pernikahan, kita masih membahasnya kok. Setelah rumah selesai baru kita akan menikah,” ucap Maura, dia dan kekasihnya, Daniel memang mengambil rumah bersama. Mereka sudah berjanji untuk mencicil bulanannya bersama setelah membayar uang muka yang mereka kumpulkan berdua sejak berpacaran beberapa tahun lalu. Ardana tersenyum sinis, menenggak minumannya hingga habis.
“Ah sayang sekali, ku pikir seorang Maura Lovata, primadona tercantik di sekolah dulu akan menikahi pria kaya raya, sekelas CEO perusahaan. Ternyata hanya seorang manager saja, padahal dengan modal wajah kamu, kamu bisa mendapatkan yang jauh lebih dari itu lho,” nyinyir Wisam. Pria berbadan tambun dengan mata sipit yang menjengkelkan. Sejak dulu Wisam memang mengejar Maura, namun Maura tidak suka dengan gayanya yang sok dan sangat sombong. Meskipun kini Wisam telah menjadi seorang dokter sekaligus pemilik rumah sakit warisan kakeknya, tetap saja tak sekali pun Maura tertarik, mungkin itu yang membuat Wisam kian mencibir.
“Aku ke toilet dulu,” ucap Maura, dia benar-benar ingin melarikan diri. Dia tak pernah menyangka bahwa di hari ini dia bertemu lagi dengan Ardana, mantan kekasih yang sangat ingin dilupakan dalam hidupnya. Karena Ardana, keluarganya hancur dan dia harus menanggungnya seorang diri. Kuliah sambil bekerja, juga menghidupi keluarganya dan itu tidak mudah.
Maura masih berdiri di depan cermin di toilet, setelah membilas tangannya dia menyapukan kembali lipstiknya. Hingga dia keluar dari toilet dan terkejut mendapati seroang pria yang berdiri seraya bersandar di dinding.
“Hai,” ujarnya dingin. Senyumnya seperti senyum iblis yang menakutkan. Maura menoleh ke belakang, tidak ada jalan lain karena tempat ini merupakan lorong, dia harus melewati Ardana jika ingin ke luar. Sementara Ardana terus berjalan menghampirinya hingga Maura tersudut. Maura diam tak berkutik ketika Ardana mengukungnya, dia merasa ini seperti mimpi. Dan secara tiba-tiba pria itu, melumat bibirnya dengan rakus, tak memberikan celah bagi Maura meski hanya untuk bernapas.
***