Love Is Sinta Bab 8 - Cinta Sendiri

2280 Words
Sore harinya, mereka sudah sampai ke rumah barunya. Sinta sudah tidak kecewa lagi dengan eyangnya yang memberikan rumah baru hampir mirip dengan rumah lamanya. Hanya saja lokasinya sekarang lebih dekat dengan kantor eyangnya. “Enggak mengecewakan sih. Eyang selalu saja mengerti apa yang aku mau. Hanya kamu saja yang enggak pernah aku mau, dan eyang memberikannya padaku,” ucap Sinta dengan menghunuskan tatapan tajam pada Agus yang berdiri di sampingnya. “Suatu saat kamu akan mau, aku yakin itu. Mungkin saat aku akan pergi meninggalkan kamu, baru kamu merasakan betapa pentingnya aku dalam hidupmu, Sin,” balas Agus. “Itu tidak mungkin, Agus. Bagiku kamu tetap kacung, suruhan Eyang, dan seorang Sinta tidak akan pernah membutuhkan kamu!” sarkas Sinta. “Lihat saja nanti,” ucap Agus dengan berjalan membawa koper Sinta dan koper miliknya ke kamar utama. Sebenarnya Agus sudah tahu soal rumah ini, karena sebelum Agus di jodohkan dengan Sinta, Eyang Hadi sudah menyuruh Agus merancang rumah ini sebagus mungkin dan mirip dengan rumah Sinta yang dulu. Hanya saja rumah ini lebih terlihat modern dan klasik di bandingkan rumah Sinta yang lama. “Siapa yang menyuruh koper kamu masuk ke dalam kamar utama? Itu kamar ku! Kamu tidur di kamar tamu!” teriak Sinta. “Kamu mengatur? Aku suami kamu Sinta. Jadi kamu ikut aturanku!” tegas Agus. “Enggak! Aku enggak mau!” tolak Sinta dengan merebut kopernya. “Kalu enggak mau, ya sudah jangan temui Rangga!” tegas Agus lagi. “Sukanya ngancem, ya? Sekali enggak ya enggak. Ya sudah aku ke rumah Rangga saja, aku mau hidup sama Rangga, daripada satu kamar dengan manusia macam kamu!” sarkas Sinta. “Oke, aku tidur di kamar tamu, tapi kalau ada Eyang, kita tidur satu kamar.” Aku akhirnya mengalah, karena dia takut Sinta nekat ke rumah Rangga. “Gitu dong! Sana ke kamar tamu!” perintah Sinta dengan berjalan ke kamarnya. Agus melihat istrinya yang masuk ke dalam kamar dan melotot pada dirinya, serta menjulurkan lidahnya, karena merasa menang tidak tidur satu kamar dengan Agus. Agus hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya dengan berdecak lirih dan mengambil kopernya untuk di bawa ke kamar tamu. “Sampai kapan dia seperti itu. Seperti hidup dengan anak kecil yang sedang aktif-aktifnya dan susah sekali di atur. Di kerasin nangis, di biarkan ngelunjak,” gumam Agus. Agus menata bajunya ke dalam lemari pakaiannya. Agus tidak menyangka, dulu dia yang merancang rumah ini sebagus mungkin, ternyata dia dan istrinya yang akan menempatinya. Kamar tamu yang di pakai Agus sangat luas, mungkin luasnya hampir sama dengan rumah kontrakan Agus dengan Iwan, yang sekarang hanya dipakai Iwan. Sinta masih belum menata bajunya. Karena menunggu Minah dan asisten barunya yang kemarin dia meminta Devi untuk mencarikan satu asisten lagi. Minah masih ke super market, membeli bahan-bahan makanan dan lainnya. Sinta memang anak yang selalu di manja, menata pakaian dan kamar saja dia tidak bisa dan belum pernah sama sekali. Dia selalu menyerahkan semua itu pada Minah atau asisten yang lain. Sinta di rumah memang seperti Ratu. Apa-apa di layani oleh asistennya. Dan, yang setia pada Sinta hanya Minah, yang lainnya satu persatu pergi karena sifat Sinta yang pemarah dan arogan membuat semua asistennya tidak betah dan pasti keluar tanpa pamit. Sinta merebahkan dirinya di tengah-tengah hamparan bajunya yang ia keluarkan dari dalam kopernya. Dia tidak peduli kalau kamarnya masih sangat berantakan sekali karena baju-bajunya belum di tata. Agus mencoba melihat Sinta yang ada di kamarnya setelah selesai menata pakaian dan tempat tidurnya. Agus membuka pintu kamar Sinta yang sudah sedikit terbuka. Dia melihat istrinya yang sedang membaca buku sambil tiduran di tempat tidurnya. “Masya Allah, Sinta... kenapa ini  masih berantakan sekali?” tanya Agus dengan masuk ke dalam kamar Sinta. “Memang kenapa, Gus? Masalah buat kamu?” jawab Sinta dengan santai tanpa melihat Agus. “Memang kamu tidak bisa menata ini?” tanya Agus lagi. “Bisa sih mungkin, eh enggak bisa, aku tidak bisa menata ini, melipat baju saja aku tidak bisa. Dan semua selalu Minah yang menata, jadi aku malas dan tidak mau belajar menata atau melipat baju,” jawab Sinta dengan mengeliat yang membuat perutnya sedikit terlihat karena kaos yang ia pakai sedikit ketat. Agus menguhunuskan tatapan yang sedikit nakal karena melihat perut Sinta terlihat dan sangat mulus, putih, dan seksi. “Agus! Lihat apaan sih?!” Sinta melayangkan bantal ke wajah Agus. “Awwhh... kasar sekali kamu, Sin! Salah ya? lihat perutnya kamu? Kan bukan sepenuhnya salah aku, kamu juga yang gitu, main di lihat-lihatin sama aku. Lagian aku suami kamu, sah-sah saja sih aku lihat perut kamu yang seksi, seluruh badan kamu yang sedang polos juga enggak apa-apa, Sin,” ucap Agus sambil menaruh bantal di samping Sinta. “Enak aja lihat! Rangga pacar aku saja belum pernah melihat, kamu orang baru mau lihat! Bahaya juga kamu, Gus!” ucap Sinta. “Jangan berisik, Sin! Sana duduk di sofa, mau nunggu Minah datang yang ada kamar kamu tambah berantakan! biar aku beresi baju dan tempat tidurmu dulu,” ucap Agus dengan menyuruh Sinta duduk di sofa, sedang dirinya langsung melipat dan menata rapi baju-baju Sinta. “Baju-bajumu semuanya kurang bahan ya, Sin?” tanya Agus. “Maksudmu?” jawab Sinta dengan memandang Agus dengan tatapan tajam. “Ini, kecil-kecil semua, ya seperti kaos yang kamu pakai itu, Sin. Kekurangan bahan sampai perut kamu kelihatan. Untung yang lihat suami kamu, coba kalau laki-laki di luar sana, Rangga mungkin. Apa tidak mengundang syahwat, Sin?” jelas Agus. “Enggak usah urusin itu lah, Gus! Tinggal tata saja bajuku ribet amat sih jadi orang,” ucap Sinta sambil membaca buku. Sebenarnya Sinta sangat jenuh sekali, karena dia juga belum mendapatkan ponselnya yang masih di sita oleh eyangnya. Jadi pelampiasannya membaca buku dan bermalas-malasan. “Sudah rapi, Sin. Ini ponselmu,” ucap Agus sambil duduk di samping Sinta dan memberikan ponsel Sinta yang tadi pagi Eyang Hadi titipkan pada Agus. “Kok ada di kamu ponselku?” tanya Sinta. “Tadi pagi sebelum sarapan eyang menitipkannya padaku. Dan kata eyang semua data di ponsel kamu yang tidak penting sudah eyang hapus,” jelas Agus. “Maksudmu?” tanya Sinta. “Aku enggak tahu, eyang yang bicara seperti itu. Aku Cuma menerima saja, terus aku taruh di lemari, setelah itu aku bawa ke sini, dan aku kasihkan ke kamu. Ya, coba cek saja seperti apa,” jawab Agus. Sinta mengecek keadaan ponselnya setelah di sita eyangnya selama tiga hari sebelum ia menikah dengan Agus. Masih utuh semuanya, foto dan lainnya, hanya saja ada yang kurang. “Ini kenapa enggak ada nomor Rangga dan semua chat juga foto-foto Rangga sudah tidak ada?” tanya Sinta pada Agus. “Mana ku tahu, Sinta. Kan yang memegang ponsel kamu eyang, bukan aku. Baguslah, kalau tidak ada kontaknya Rangga lagi,” jawab Agus. “Kok kamu gitu, Gus!” ucap Sinta dengan kesal. “Lagian kamu, aku tidak tahu apa-apa di tanya. Ya bagus, biar kamu jauh-jauh dari laki-laki macam Rangga, yang gak jelas,” ucap Agus. “Yang gak jelas itu kamu Agus! Kamu itu siapa? Berani bicara seperti itu, hah?!” tandas Sinta. “Aku memang gak jelas asal usulnnya menurut kamu, Sin. Tapi, aku pilihan eyang kamu, dan aku suamimu. Aku hanya ingin hati kamu terbuka, Rangga itu siapa, dan seperti apa. Ya, meski nantinya kamu tetap tidak menerima pernikahan ini, dan tetap ingin mengakhiri pernikahan kamu. Aku hanya ingin hatimu terbuka dan melihat dengan jelas siapa Rangga sebenarnya,” jelas Agus dengan pergi meninggalkan Sinta. “Iya, aku memang ingin mengakhiri pernikahan ini, Agus! Dan aku akan membuktikan pada kalian semua yang menganggap Rangga itu laki-laki yang buruk!” ucap Sinta sebelum Agus keluar dari kamarnya. “Buktikan saja, Sin. Aku akan lihat semua itu. Aku hanya berharap mata hatimu terbuka saja,” jawab Agus. Agus keluar dari kamar Sinta. Dia selalu saja ingin marah saat Sinta menyebut nama Rangga. Memang Agus lah yang mencintai Sinta, dan Sinta sama sekali tidak mencintai Agus. Jangan mencintai, melihat Agus saja dia kesal sekali, dan ingin mengusir Agus dari hadapannya. “Memang cinta sendiri itu sakit. Tapi, aku harus sabar. Ini demi Sinta, agar tidak terjerumus dalam kungkungan cintanya Rangga yang mungkin nantinya hanya akan menyakiti Sinta. Aku akan terus mencari tahu soal Rangga, agar Sinta semakin yakin kalau Rangga adalah laki-laki yang tidak baik. Jika memang dia jodohku, dia akan terus berada di sisiku dan Semesta tidak akan memisahkan kita. Untuk soal cinta, aku tidak peduli Sinta mencintaiku atau tidak, karena cinta memang tidak bisa dipaksakan,” gumam Agus sambil menuju ke ruang kerjanya. Dia menata ruang kerjanya senyaman mungkin. Ruang kerja yang sangat luas dan sudah di lengkapi beberapa peralatan yang Agus butuhkan. Semua sudah Eyang Hadi persiapkan untuk cucu menantunya yang sangat ia banggakan. Sinta mencoba mengetik nomor Rangga yang sudah hafal. Dia langsung menelfon Rangga tanpa ragu. Cinta yang menggebu di hati Sinta pada Rangga masih belum bisa hilang. Meski sebenarnya dia sering di kasari Rangga dengan ucapannya yang tidak bisa kontrol. Tetap saja sinta mencintai Rangga dan hanya Rangga laki-laki yang baik menurut Sinta. “Hallo, sayang....” ucap Sinta. “Honey... kamu ke mana saja? Apa benar kamu menikah dengan laki-laki yang kamu bilang waktu itu? Iya, benar kamu sudah menikah? Kamu tega seperti itu, Honey...,” ucap Rangga yang langsung membrondong pertanyaan pada Sinta. “Sayang, maaf. Aku memang sudah menikah, tapi aku tidak mau, dia belum menyentuhku, Sayang. Aku masih menjaganya untuk kamu, karena aku hanya mau kamu yang mendampingiku. Bukan Agus,” ucap Sinta. “Oh, jadi namanya Agus? Baguslah, kalau kamu belum di sentuh dia. Kita masih bisa bertemu, kan?” tanya Rangga. “Itu pasti, Sayang. Kita masih bisa bertemu seperti biasa. Kau tenang saja, aku akan membuktikan kalau kamulah yang terbaik untuk ku, bukan Agus atau laki-laki manapun,” jawab Sinta dengan penuh keyakinan bahwa Rangga adalah yang tebaik untuknya. “Kamu yakin itu? Kamu yakin kalau kamu akan membuktikan pada eyangmu kalau akulah yang terbaik?” tanya Rangga. “Iya, aku akan buktikan itu. Dan, aku butuh kamu, Sayang, untuk lepas dari pernikahan laknat ini,” jawab Sinta. “Oke, nanti malam kita bisa bertemu?” tanya Agus. “Bisa banget,” jawab Sinta. “Oke, aku tunggu di Bar,” ucap Rangga. “Siap, nanti jam 7 malam aku ke sana,” jawab Sinta. Sinta mengakhiri panggilannya dengan Rangga. Sinta bahagia bisa mendengar kabar Rangga lagi. Entah apa yang membuat Sinta sampai cinta mati pada Rangga yang hanya ingin mengincar harta eyangnya saja, karena Rangga tahu, Sinta adalah pewaris tunggal kekayaan Hadiwidjaja. ^^^ Malam harinya, Agus sudah menyiapkan makan malam untuk istrinya. Dia memang melarang Nunuk asisten rumah tangga yang baru untuk memasak, karena dia ingin memaskan untuk istrinya. “Sinta, kamu mau ke mana?” tanya Agus yang melihat istrinya berdandan dengan cantik mengenakan dress selutut. “Mau bertemu Rangga, kenapa? Bukannya kamu mengizinkan, kan?” jawab Sinta dengan berjalan melewati Agus. “Aku melarang kamu!” tegas Agus. “Punya hak apa kamu melarang aku, Agus!” teriak Sinta. “Keluar atau aku memberitahu eyang kalau kamu akan pergi menemui Rangga?!” ancam Agus. “Eh kamu ngancam, Gus?!” ucap Sinta. “Gus, minta pengertiannya dong, aku enggak mau pernikahan ini, tapi aku hargai eyang dan aku nurut menikah dengan kamu. Kasih kesempatan aku, Gus. Untuk membuktikan kalau Rangga tidak seburuk yang eyang dan semua orang kira. Maaf aku harus menemui Rangga.” Sinta langsung keluar meninggalkan Agus dan menemui Rangga. Agus duduk di meja makan dengan mengusap kasar wajahnya. Dia melihat masakan yang ia buat untuk makan malam bersama Sinta, tapi Sinta malah pergi menemui Rangga. Agus mengambil ponselnya yang ia taruh di dalam kamar. Dia akan menghubungi seseorang untuk mengawasi Sinta. “Hallo, Sinta pergi dari rumah. Kamu tahu mobil Sinta, kan? Mungkin dia ke Bar milik Rangga. Tolong awasi Sinta, jika ada hal yang mencurigakan atau membuat Sinta terluka dan di perlakukan tidak baik oleh Rangga, segera hubungi aku,” ucap Agus pada seseorang yang Eyang Hadi titipkan padanya untuk mengintai Sinta, sewaktu-waktu Sinta berulah. Agus duduk terpaku di tepi ranjang. Dia tidak bisa membayangkan kalau Sinta sampai diapa-apain oleh Rangga, laki-laki yang b******k yang sering bergonta-ganti wanita. Itu yang Agus tahu dari beberapa teman dekatnya yang suka dunia malam dan suka mengunjungi Bar milik Rangga. Agus kembali ke ruang makan untuk membereskan semua makanan yang sudah ia tata tadi. Rasa laparnya pun seketika hilang karena Sinta pergi menemui Rangga. Tidak hanya rasa cemburu saja yang Agus rasakan, tapi dia takut kalau Sinta akan terjerumus dalam rayuan Rangga dan memberikan apa yang seharusnya Sinta jaga. “Pak, kok di tata lagi makanannya?” tanya Nunuk. “Iya, Sintanya pergi, Mbak. Minta tolong di masukan ke dalam lemari ya, Mbak?” pinta Agus. “Siap, Pak,” jawab Nunuk. Minah mendekati Nunuk yang sedang menata makanan ke dalam lemari. Mereka sebenarnya tahu dan melihat perdebatan Agus dan Sinta tadi, sebelum Sinta pergi untuk menemui Rangga. “Non Sinta itu keras kepala sekali, sudah di kasih laki-laki sebaik Mas Agus malah masih menemui Mas Rangga yang jelas-jelas sering gonta-ganti wanita,” ucap Minah. “Namanya juga Cinta, Mbak. Mau gimana lagi?” ujar Nunuk. “Ah... cinta tak sebuta itu, Nuk,” jawab Minah. “Sudah selesai tugasku, saya permisi mau tidur, Mbak,” pamit Nunuk. “Kamu yang betah di sini. Punya majikan macam Non Sinta, harus bisa sabar, dan sabarnya itu harus tingkat Dewa, Nuk,” tutur Minah. “Iya, aku tahu itu, Mbak,” jawab Nunuk sambil berlalu. Minah juga tidak tahu harus bagaimana, sebenarnya dia pun di titipkan Pak Hadi untuk mengawasi Sinta. Tapi, mau bagaimana lagi kalau Sinta tetap saja seperti itu, bilang dengan Pak Hadi pun, nanti malah menambah masalah menurut Minah.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD